"Tapi papa kamu memang nggak ada," kataku lagi.
Lalu tahu-tahu nenek masuk ke ruang tengah--- tempat kami dari arah dapur. Membawa nampan yang aku tidak tahu apa itu, tetapi aromanya harum sekali. Buah nangka kah?
"Katanya mau datang tetapi sampai sekarang papa kamu nggak muncul," gerutu nenek.
Aku yang mendengarnya tertawa, sedangkan Tasya sendiri meringis.
"Kata papa di sana ada duka dan lagi Evan ada pertandingan taekwondo makanya nggak datang dari kemarin."
Ia menjelaskan, aku tersenyum simpul ternyata hubungan antara Tasya dan papanya terjalin cukup baik apalagi hubungan Evan, adik tirinya.
"Papamu yang telfon?" aku bertanya basa-basi. Lantas mengalirlah obrolan ringan yang melibatkan kami.
Saat obrolan semakin jauh, kami berdua memutuskan untuk mengunci mulut kami masing-masing dan kembali serius untuk membaca buku.
Namun suara hujan yang jatuh perlahan-lahan mengalihkan segala atensiku pada buku. Suaranya yang khas menggodaku untuk merasakan bagaimana airnya yang dingin menyentuh seluruh kulitku. Aku melirik ke luar dengan penuh minat apalagi suara hujan semakin deras seolah merayuku lebih.
"Tasya, mandi hujan yuk," aku mengajaknya.
Ia terpaku beberapa saat seolah menimbang apakah ingin atau tidak tetapi gelengan kepala darinya membuatku agak kecewa. Setelah sekali lagi menawarkannya untuk bermain hujan dan dapat ditebak bahwa ia tidak ingin. Aku memutuskan untuk mandi hujan sendiri, di bawah pengawasan Tasya, aku melompat keluar merasakan titik-titik hujan yang dingin dan menenangkan. Sertamerta aku terbayang kembali euforia masa kecil yang membahagiakan sekaligus membuat rindu.