Air mancur buatan yang muncul dari genteng kala hujan menerpaku yang berdiri di bawahnya, dinginnya air membuatku bergumam dan menggigil tetapi aku tidak ingin mengakhirinya lebih awal. Aku malahan menangkap raut tidak percaya darinya, barangkali ia memikirkan tingkahku yang tak ubahnya seperti bocah.
"Kak Yessi pernah mandi hujan di kos, nggak?"
Aku langsung menggeleng. "Kamu?"
Gantian Tasya yang menggelengkan kepala. "Nggak pernah sih, lagipula kosan tempat yang agak asing menurutku. Jadi malu kalau hujan-hujanan di sana."
Aku mengangguk mengerti, setelah terdiam beberapa lama, ia pamit masuk ke dalam meninggalkanku aku yang dilingkupi hujan.
                     ...
Di cuaca seperti ini, tidak afdol rasanya tanpa mie kuah panas ditambah telur yang menyertai. Maka selepas membersihkan diri, aku dan Tasya lekas memasak mie instan.
Aku menatap penuh minat pada mangkuk di depanku. Lantas kembali melirik Tasya yang sedang memakan mie dengan antusias.Â
Astaga! Urusan makanan memang selalu menjadi prioritas. Walau makanan kami kelihatan sederhana tetapi faktanya mie instan menjadi makanan penyelamat anak kos di akhir bulan.
Sekali lagi bukan ide yang buruk untuk berlibur di kampung halaman, menemui sanak keluarga, melihat pemandangan alam yang membentang terutama bernostalgia pada kenangan masa kecil yang telah lewat. Bukankah semuanya sepadan? Memang kota menjanjikan kemewahan dan kemudahan tetapi kampung halaman adalah tempat yang tepat untuk pulang.
Saat makan seperti ini, mulut gatal rasanya untuk tak mengurai kembali hasil bacaan. Jadi aku mengajak Tasya untuk berdiskusi tentang novel yang sedang aku baca dan kebetulan sekali ia juga menguasai isi dari novel ini.