Mohon tunggu...
Yesi Ningrum
Yesi Ningrum Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sejarah Kebudayaan Islam di Kuwait

11 Mei 2019   10:38 Diperbarui: 11 Mei 2019   12:49 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  1. Profil Negara Kuwait

Kuwait adalah negara kecil yang berada di kawasan Teluk dimana posisi ini sangat strategis di  jalur lintas perdagangan minyak dan militer kawasan. Berbatasan dengan Irak di sebelah utara dan Arab Saudia ada disebelah baratnya. Negara ini terletak di pesisir Teluk Persia, semenanjung Arab Timur Tengah. Kuwait adalah negara yang kaya akan minyak. 

Menghasilkan minyak bumi terbesar di dunia dengan jumlah produksinya sebesar 2,562 juta barel per hari. Negara ini juga memiliki cadangan minyak terbanyak di dunia yaitu 104 miliar barel (data 1 Januari 2016). 

Penduduknya pada tahun 2014 sekitar 4,2 juta jiwa, 1,3 juta jiwa termasuk negara Kuwait dan 2,9 juta jiwa merupakan orang-orang pendatang.

 Karena berbatasan lansung dengan dua wilayah yang kaya akan minyak, menjadikan Kuwait ini menjadi negara yang diperebutkan. Terdapat beberapa dinasti yang menguasai wilayah ini. Ada Dinasti Buyid dari Persia pada abad ke 10, Dinasti Seljuk dari Turki abad ke 11, Bangsa Mongol di awal abad ke 14 dan Turki Utsmani pada abad ke 17.[1] 

Negara Kuwait ini meskipun kecil namun banyak yang ingin menetap dan bekerja disini. Kebanyakan orang pertama dari Arab Turki menyebut wilayah ini dengan nama Kuwait atau benteng kecil sebagai tempat berlindung dan mencari penghidupan.

Negara Kuwait ini terbagi menjadi beberapa kegubernuran, antara lain Al Ahmadi, Al Farwaniyah, Al Asimah, Al Jahra, Hawalli, dan Mubarak Al-Kabeer.[2] 

Sistem pemerintahan yang digunakan oleh negara ini adalah Monarki Konstitusional, artinya sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Sultan atau Raja dan dipilih oleh anggota keluarganya. 

Sebagai negara konstitusi ini memiliki sebuah badan legistlatif yang disebut sebagai Majelis Nasional. Majelis Nasional ini terdiri dari 65 kursi dan memiliki masa jabatan 4 tahun.

Untuk mengetahui lebih jelasnya profil negara Kuwait, marilah kita melihat berikut ini[3] :

Nama                                                        : Kuwait

Nama Resmi                                          : Dawlat al-Kuwait

Ibu Kota                                                    : Kuwait City

Lagu Kebangsaan                                 : An-Nasid al-Watani

Bentuk Pemerintahan                         : Monarki Konstitusi

Kemerdekaan                                          : 16 Juni 1961 (dari Inggris)

Kepala Negara                                        : Emir Sabah al-Ahmad al-Jabir al-Sabah (sejak 29 Januari 2006)

Kepala Pemerintahan                          : Perdana Menteri

Bahasa Nasional                                      : Arab

Agama                                                         : Islam 76,7%, Kristen 17,3%, dan   agama lainnya 6%

Luas Wilayah                                            : 17,818 km2

Mata Uang                                                 : Dinar Kuwait

Zona Waktu                                               : Waktu Standar Arab (AST) (UTC+3)

Kode Domain Internet                          : .kw

Kode Telepon                                            : 965

Pendapatan perkapita                           : US$71.300,-

Pendapatan Domestik Bruto Nominal : US$301,1 miliar  

[1] Shafeeq Ghabra, Kuwait at the Crossroads of Change or Political Stagnation, Middle East Institute, Policy paper Series, May 2014.

   

[2] Dickson, "Profil Negara Kuwait", diakses dari https://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-kuwait/, pada tanggal 6 Maret 2019, pukul 08.13 WIB

[3] Dika, "Informasi tentang Negara Kuwait", diakses dari https://benderajuang.blogspot.com/2018/10/kuwait.html?m=1, pada tanggal 20 Maret 2019, pukul 14.34 WIB

B. Masuknya Islam di Kuwait

Hubungan pertama kali antara islam dan Kuwait ini yang dulunya masuk ke dalam Irak sudah ada sejak masa Rasulullah saw. Islam masuk ke Irak melalui beberapa fase. Pertama pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq beliau mengirimkan Khalid bin Walid. 

Kedua masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, masa ini dipimpin oleh Mutsanna bin Haritsah, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin Umar ats-Tsaqafi, Jarir bin Abdullah, dan Sa'ad bin Abi Waqqas. Ketiga pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab lagi, dimana masa ini dipimpin oleh Iyad bin Ganam.[4] 

Fase ketiga inilah islam mulai berkembang lebih luas lagi. Tidak hanya pada daerah itu saja, namun sudah mulai merambah ke kota-kota penting yang ada di daerah tersebut, seperti Harran, ar-Raqqah, dan ar-Ruha. Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah pusat pemerintahannya ada di Baghdad termasuk ke dalam wilayah Irak. 

Mulai saat itu islam menjadi pusat peradaban. dinasti yang ada di daerah Kuwait ini seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Safawiyah dan Turki Utsmani.   

[4] Muhammad Syafi'I Antonio dan Tim Tazkia, Eknsiklopedia Peradaban Islam di Baghdad, Jakarta : Tazkia Publishing, 2012, hlm. 47-48.

C. Kekuatan Politik Islam di Kuwait

Mayoritas penduduk Kuwait beragama islam. Sekitar 75 persen mereka menganut madzhab Sunni, Maliki maupun Hambali. Madzhab ini begitu berpengaruh pada semua kalangan yang ada di Kuwait, baik dari kalangan kelas menengah, ulama maupun elite monarki. 

Selain itu terdapat 15 persen penduduk Kuwait menganut madzhab Syiah. Kelompok Syiah sendiri dibedakan menjadi Syiah Arab dan Syiah Kuwait. Maka wajar apabila islam dijadikan sebagai sumber hukum negara.

Dinamika politik yang ada di Kuwait ini tidak lepas dari sistem monarki dan komunitas sosial-politik yang tumbuh pada abad pertengahan 20. Politik Kuwait ini diwarnai dengan dinasti As-Sabah dengan komunitas suku maupun dengan kelompok oposisi yang dipelopori oleh islam. 

Hal ini terlihat ketika pengambilan keputusan yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Terdapat tiga kelomopok utama yang menjadi aktor dalam kancah politik Kuwait menurut Ghabra, yaitu elite monarki, komunitas suku, dan kelompok oposisi baik dari kalangan islam maupun liberal.[5] 

Emir merupakan simbol negara yang memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan dewan menteri serta membubarkan parlemen sesuai dengan keputusan konstitusi. Generasi Mubarok As-Sabah inilah menjadi emir dan berkuasa untuk mengambil alih kekuasaan pada akhir abad ke 19. 

Sedangkan perdana menteri menjadi pengendali kabinet dan pemerintahan tersebut diambil alih oleh putra mahkota atau pangeran dalam unsur monarki. Tahun 2003 terdapat desakan yang menjadikan perdana menteri terpisah dari struktur monarki, meskipun posisi tersebut masih ditunjuk oleh Emir dinasti As-Sabah. 

Awal kemerdekaan Kuwait ini, monarki dipimpin oleh Syeikh Abdullah As-Salim As-Sabah dari generasi salim yang berkuasa tahun 1965. Generasi ini merupakan generasi yang menjadi pelopor lahirnya konstitusi 1962 dan menjadi dasar prinsip demokrasi. 

Dinasti ini membentuk badan legislatif, eksekutif, dan sistem peradilan yang independen. Setelah itu posisi ini diduduki oleh Al-Jabir As-Sabah. 

Konteks politik nasional ini terbagi menjadi tiga kekuatan utama antara lain, kelompok oposisi islam, gerakan popular yang terdiri dari Kuwait Democratic Forum, National Democratic Alliance, Progressive Kuwaiti Movement. 

Sementara itu, kelompok-kelompok idependen ini terdiri dari aktivis, baik intelektual maupun pemuda dan suku yang memiliki pandangan kritis terhadap pemerintah.[6] Meskipun begitu, mereka memiliki tujuan yang sama dalam hal reformasi politik.

Politik islam ini menjadi kajian kontemporer yang sangat menarik untuk dikaji. Karena islam bukan hanya sekedar agama namun juga dipandang sebagai sebuah ideologi politik. Tidak hanya seperti itu, islam sering dipandang sebagai ideologi, nilai, maupun doktrin yang menjadi pondasi bagi gerakan sosial, jadi tidak hanya sebagai agama saja. 

Karena hal inilah negara Kuwait tertarik menggunakan islam untuk melegitimasikan kebijakannya, baik dalam kancah politik, hukum maupun ekonomi.   

[5] Fakhry Ghafur, dkk, Resume Penelitian Problematika Kekuatan Politik Islam di Arab Saudia, Kuwait, dan Uni Emirat Arab, Jurnal Penelitian Politik, Volume 15, No. 1 (Juni 2018): hlm 105.

[6] Ibid, hlm 105-106.

 D. Nasionalisme Kuwait    

Nasionalisme di Kuwait ini dipicu dengan adanya perjanjian antara Inggris dan Perancis. Mereka membuat perjanjian sykes picot terjadi pada tahun 1916. Perjanjian tersebut merujuk pada nama Marks sykes dan Francois Georges-Picot. 

Inggris dan Perancis melakukan pembagian wilayah dari bekas wilayah Turki Utsmani yaitu Irak, Libanon, Suriah, dan Yordania. Inggris mendapatkan wilayah kekasaan di Irak dan Yordania, sedangkan Perancis mendapatkan wilayah kekkuasaan di Libanon dan Suriah.[7] 

Pengaruh dari barat ini sudah cukup kuat ada di Teluk Persia dan Yaman. Tahun 1934 mulai ditemukannya minyak di daerah Kuwait ini. Maka mulailah pula pengeboran untuk mendapatkan minyak yang terkandung di daerah Kuwait. 

Wilayah Kuwait ini sendiri bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk pengeboran minyaknya. Karena terdapat sumber minyak yang melimpah, maka wilayah ini menjadi negara yang kaya. Bahkan tahun 1953 Kuwait ini menjadi negara yang mengekspor minyak terbesar di Teluk Persia.

Mulai perlahan-lahan pihak Inggris memberikan kemerdekaan kepada Kuwait. Kuwait ini menjadi negara pertama kali yang diberikan kemerdekaan oleh Inggris.[8] Setelah itu Inggris memberikan kemerdekaan kepada Bahrain, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab. Kemerdekaan Kuwait yang diberikan oleh Inggris ini terjadi tahun 1961. 

Akan tetapi, Inggris masih tetap menempatkan militernya di Kuwait untuk membantu mengamankan negera kecil tersebut. Setelah mendapatkan kemerdekaan dari Inggris, Irak mengklaim bahwa Kuwait termasuk dalam wilayah kekuasaan Irak. 

[7] Abdurrohman Kasdi, Fundamentalisme dan Radikalisme dalam Pusaran Krisis Politik di Timur Tengah, Jurnal Penelitian, Vol. 12, No. 2 (2018):hlm 391.

[8] Nashih Nashrullah, Jatuh bangun Timur Tengah di Tangan Barat, diakses pada tanggal 31 Maret 2019, pukul 14:18 WIB.

E. Persinggungan Negara Kuwait dengan Dunia Barat

Latar belakang terjadinya perang antara Irak dan Kuwait ini tidak lepas dari perang yang terjadi antara Iran dan Irak yang disebut dengan perang Teluk I. Sedangkan perang antara Irak dan Kuwait ini disebut dengan perang Teluk II. 

Perang antara Iran dan Irak tersebut, sebenarnya Irak tidak ingin melancarkan perang secara total. Kejadian yang memicu perang tersebut adalah dicabutnya perjanjian antara kedua negara tersebut. Akhirnya mereka mengadakan perang selama 8 tahun pada tanggal 22 september 1982-20 Agustus 1988. 

Iran menghancurkan ladang-ladang minyak milik Irak di daerah Fao, Khoral al-Amayah, dan Khoral al-Bakr, serta ladang minyak di Basra dimana daerah tersebut mampu menghasilkan 140.000 barrel perhari.[9]

Kejadian tersebut menjadi faktor yang melatar belakangi terjadinya invasi Irak ke Kuwait. Jadi karena faktor ekonomi (minyak) Irak yang semakin memburuk maka terjadilah invasi tersebut. Selain itu, Baghdad sebelumnya menuduh Kuwait merampok sumber minyak Irak di daerah Ramallah yang dipersengketakan Irak dan Kuwait, senilai 2,4 milyar dollar AS. 

Tuduhan lainnya bahwa Kuwait dan Uni Emirat Arab (UEA) telah menusuk dari belakang. Mereka dapat membanjiri minyak diseluruh dunia yang mengakitbatkan kerugian sebesar 14 milyar dolar AS di Baghdad. Akibat dari pelanggaran kuota OPEC yang dilakukan antara Irak dan Kuwait tersebut, mengakibatkan jatuhnya harga minyak sampai 15 dollar per barrel.

Posisi Irak yang berada di daerah land locked country atau negara yang tertutup ini mengakibatkan kerugian yang besar bagi Irak. Apalagi Irak mengandalkan komoditi minyak saja.  Presiden Saddam Husein dengan cara menginvasi Kuwait ini diharapkan mampu memulihkan perekonomian negaranya dengan cara jalan pintas seperti ini.

Tanggal 2 Agustus 1990 pukul 04.30 waktu setempat terdapat 300.000 tentara Irak dengan didukung 3500 tank, puluhan rudal Scud, Mic-29 dan beberapa pesawat Mirage menyerbu Kuwait.[10] Hanya dalam waktu 4 jam saja Irak mampu menguasai seluruh Kuwait. 

Kejadian  ini tentu dapat terjadi karena pengalaman tempur pasukan Irak pada saat perang Teluk I. Adanya perimbangan kekuatan yang mencolok antara Irak dan Kuwait. Saddam Husein mengangkat Gubernur di wilayah Kuwait untuk mengumpulkan sukarelawan supaya bertempur mempertahankan Kuwait, gubernur tersebut yaitu Ali Hassan Al-Majid.

Operasi pembebasan Kuwait yang diberi nama Operation Desert Storm (Operasi Badai Gurun) yang terjadi tanggal 17 Januari 1991 dimulai dengan dilancarkannya serangan udara melalui pesawat-pesawat tempur F-15 dan pesawat gabungan pasukan multinasional. 

Tembakan rudal Tomhawk dari kapal-kapal Multinasional di teluk menjadi pendukung serangan tersebut. Serangan pertama multinasional ini menggerakkan serangannya pada sasaran-sasaran sebuah pabrik yang diperkirakan memproduksi gas syaraf dan gas mostar yang terletak di sekitar 40 km barat daya Kota samara. Pabrik tersebut adalah pabrik terbesar yang ada di Irak.

Serangan pertama Irak tidak melakukan pembalasan. Tanggal 18 Januari 1991, barulah Irak melepaskan 8 rudal Scrud ke Israel dan Arab Saudi. Serangan ini dilandaskan dengan maksud untuk memperluas wilayah perang Teluk II dengan melibatkan Israel. 

Mereka ingin supaya tim multinasional pimpinan dari Amerika Serikat (AS) ini pecah dan negara-negara Arab mau membantu Irak. Tetapi Israel sudah di lobby terlebih dahulu oleh AS, maka Israel tidak membalas serangan Irak.

Tanggal 29 Januari 1991, tank-tank Irak berhasil memasuki kota Khafii di Arab Saudi dan mendudukinya selama 2 hari. Karena hal ini maka tim multinasional semakin gencar untuk membalas serangan dari pasukan Irak. Tanggal 13 Februari, bom-bom dari Amerika Serikat ini menghantam bunker-bunker sipil Irak yang menewaskan 300 orang penduduk sipil Irak.

Pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat melancarkan ultimatum terhadap Irak yang berisi bahwa pasukan Irak tidak segera ditarik mundur dari Kuwait, maka perang darat akan pecah, kejadian ini terjadi tanggal 23 Februari 1991. 

Namun pasukan Irak menyatakan siap untuk berperang. Tanggal 24 Februari 1991, perang darat pecah. Hari berikutnya, pasukan multinasional berhasil menawan 20.000 pasukan tentara Irak dan menghancurkan ratusan tank. 

Tanggal 26 Februari 1991, Irak menyatakan siap untuk menarik mundur pasukannya dari Kuwait. Tanggal 27 Februari 1991 panglima tentara pasukan multinasional, yaitu Jenderal Norman Schwarzkopf mengatakan bahwa paling tidak 29 devisi Irak dan lebih dari 300.000 tentara Irak berhasil dilumpuhkan. Tanggal 28 Februari 1991, tepat pukul 05.00 GMT, George Bush memberikan perintah supaya menghentikan serangan dan menandai berakhirnya perang Teluk II.

[9] Ismah Tita Ruslin, Memetakan Konflik di Timur Tengah (Tinjauan Geografi Politik), Jurnal Politik Profetik, Volume 1, Nomor 1 (2013):hlm 18.

[10] Isawati, Sejarah Timur Tengah (Sejarah Asia Barat) Jilid II, Yogyakarta:Ombak, 2018, hlm 48.

DAFTAR PUSTAKA

Dickson.  "Profil Negara Kuwait", diakses dari https://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-kuwait/, pada tanggal 6 Maret 2019, pukul 08.13 WIB. 

Dika. "Informasi tentang Negara Kuwait" diakses dari https://benderajuang.blogspot.com/2018/10/kuwait.html?m=1, pada tanggal 20 Maret 2019, pukul 14.34 WIB.

Ghabra, Shafeeq. 2014.  Kuwait at the Crossroads of Change or Political Stagnation. Middle East Institute, Policy Paper Series.

Ghafur, Fakhry, dkk. 2018. Resume Penelitian Problematika Kekuatan Politik Islam di Arab Saudia, Kuwait, dan Uni Emirat Arab. Jurnal Penelitian Politik, Volume 15, No. 1.

Isawati. 2018. Sejarah Timur Tengah (Sejarah Asia Barat) Jilid II. Yogyakarta:Ombak.

Kasdi, Abdurrohman. 2018.  Fundamentalisme dan Radikalisme dalam Pusaran Krisis Politik di Timur Tengah. Jurnal Penelitian, Vol. 12, No. 2.

Nashrullah, Nashih. Jatuh bangun Timur Tengah di Tangan Barat, diakses dari https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/, pada tanggal 31 Maret 2019, pukul 14:18 WIB.

Tim Tazkia, Muhammad Syafi'I Antonio. 2012.  Eknsiklopedia Peradaban Islam di Baghdad. Jakarta : Tazkia Publishing.

Tita Ruslin, Ismah. 2013.  Memetakan Konflik di Timur Tengah (Tinjauan Geografi Politik). Jurnal Politik Profetik, Volume 1, Nomor 1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun