Mohon tunggu...
Yesi Mandala putri
Yesi Mandala putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN SUSKA Riau

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peranan Filsafat Bahasa dalam Perkembangan Ilmu Bahasa

2 Januari 2024   12:00 Diperbarui: 2 Januari 2024   12:11 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PERANAN FILSAFAT BAHASA DALAM PERKEMBANGAN ILMU BAHASA

Yesi Mandala Putri1, Vera Sardila, M .Pd2

Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru

Email: yesimandala965@gmail.com


ABSTRAK

Semua makhluk hidup di dunia ini mempunyai alat komunikasi yang memungkinkannya berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Bahasa merupakan alat komunikasi manusia. Bahasa juga merupakan objek kajian filosofis sekaligus alat filsafat. Sepanjang sejarah peradaban manusia, filsafat telah berkembang menjadi  ilmu pengetahuan sebagai landasan berpikir, dan filsafat telah menarik perhatian besar karena menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Selama berabad-abad, ilmu pengetahuan dipelajari dan dikembangkan menurut filosofinya masing-masing, dengan fokus pada kehidupan manusia. Faktor-faktor dalam perkembangan ilmu-ilmu filsafat tersebut tentunya mempunyai pengaruh atau kontribusi yang signifikan terhadap berbagai ilmu pengetahuan lainnya, termasuk filsafat bahasa. Filsafat bahasa selalu dipahami dari dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, sebagai alat untuk menganalisis konsep, dan kedua, sebagai pengkajian materi kebahasaan yang dianalisis. Melalui kombinasi konsep dan analisis, filsafat telah menciptakan bahasa dalam bentuk  dan makna ekspresif. Bentuk linguistik umumnya diwakili oleh tata bahasa, sedangkan makna dibahas secara rinci dalam kajian semantik. Beberapa filsuf Yunani, seperti Plato, mengartikulasikan bentuk linguistik onoma dan lemata. Onama berfungsi sebagai numina atau subjek dan rhemata berfungsi adverb atau predikat.dalam dunia pengajaran bahasa, filsafat juga memberikan jalan yang sangat luas dimulai dari teori-teori tentang tentang pemerolehan bahasa (laguange aquisation device ) baik berdasarkan pandangan beahaviorisme dan kognitivisme Dalam kenyataannya berpikir logis (logos) berpedoman pada penalaran induktif dan deduktif, berpedoman pada aliran rasionalisme yang titik tolaknya dari  yang umum ke yang  khusus. Dengan demikian, kita  melihat bahwa filsafat dapat memberikan kontribusi dan nuansa positif bagi perkembangan bahasa, baik secara teoritis maupun praktis.

Kata Kunci: Filsafat, Ilmu Bahasa

ABSTRACT

All living creatures in this world have communication tools that allow them to communicate and interact with each other. Language is a tool of human communication. Language is also an object of philosophical study as well as a philosophical tool. Throughout the history of human civilization, philosophy has developed into science as a basis for thinking, and philosophy has attracted great attention because it is the basis for the development of science. For centuries, science has been studied and developed according to its own philosophy, with a focus on human life. These factors in the development of philosophical sciences certainly have a significant influence or contribution to various other sciences, including the philosophy of language. The philosophy of language is always understood from two different points of view. First, as a tool for analyzing concepts, and second, as a study of the linguistic material being analyzed. Through a combination of concepts and analysis, philosophy has created language in expressive form and meaning. Linguistic form is generally represented by grammar, while meaning is discussed in detail in semantic studies. Some Greek philosophers, such as Plato, articulated linguistic forms of onoma and lemata. Onama functions as numina or subject and rhemata functions as adverb or predicate. In the world of language teaching, philosophy also provides a very broad path starting from theories about language acquisition (laguange aquisation device) both based on the views of behaviorism and cognitivism. In reality, logical thinking ( logos) is guided by inductive and deductive reasoning, guided by the flow of rationalism whose starting point is from the general to the particular. Thus, we see that philosophy can provide positive contributions and nuances to language development, both theoretically and practically.

Keywords: Philosophy, Linguistics

 

 

 

PENDAHULUAN

Sepanjang sejarah peradaban manusia, filsafat merupakan salah satu mata pelajaran ilmu pengetahuan yang banyak mendapat perhatian, karena menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Perdebatan tentang kebenaran dan cara  memperolehnya telah menjadi isu yang sangat penting bagi para filsuf dari zaman kuno hingga abad modern. Aristoteles, Plato, Socrates adalah pionir yang menghiasi  dunia ilmu pengetahuan dengan pandangan filosofisnya pada masa kejayaan Yunani. Sementara itu, pada Abad Pertengahan, muncul sejumlah nama lain yang tertarik dengan apa yang ada di balik ilmu pengetahuan  seperti Ren Descartes, Francis Bacon, David Hume, sehingga teori  ilmu pengetahuan benar-benar  diterima dan berharga. Ketertarikan ini berlanjut hingga masa modern dan mencatat beberapa nama penting  dalam sejarah filsafat dunia seperti William James, John Dewey, John Locke, dll.

Sayangnya, banyak orang saat ini  yang tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan  sebenarnya mempunyai landasan filosofis yang sangat terbatas namun penting. Landasan tersebut adalah pemahaman bahwa pada kenyataannya ilmu pengetahuan  tidak akan pernah mencapai titik kesempurnaan karena manusia tidak akan pernah mampu menemukan jawaban yang sempurna atas segala sesuatu yang ada disekitarnya. Selama berabad-abad, sains telah diteliti, dikembangkan, dan membawa perubahan dalam kehidupan manusia dengan cara yang seringkali tidak dapat dibayangkan oleh kebanyakan  orang. Namun sayangnya, apa yang terlihat oleh mata atau perwujudan ilmu  lebih menarik dibandingkan apa yang tersembunyi di baliknya.

 Bronowski (1973) menyentuh kita melalui tulisannya. Ia beranggapan bahwa sebaiknya kita mengkaji kembali esensi segala sesuatu yang secara empiris kita alami sepanjang hidup kita dan bertanya 'Apakah semua yang ada dan ditemukan serta ditelaah manusia merupakan sebuah kepastian?' kita harus mulai  dengan pertanyaan ini agar kita tidak sesat ke dalam ruang arogansi seperti yang selama ini telah banyak menyelimuti pemikiran manusia. Padahal, arogansi semacam ini hanya akan membawa umat manusia ke dalam kehancuran; karena apa yang kita pelajari dan ketahui sering kita anggap sebagai sesuatu yang mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat.

Bronowski memulai argumennya dengan menegaskan bahwa keberhasilan  ilmu fisika  justru karena ilmu pengetahuan itu sendiri "gagal". Untuk mencapai tujuannya, ketidakpastian masih ada karena tidak mungkin menghasilkan rincian tentang subjek dari orang-orang yang diteliti. Beliau menyatakan bahwa tidak ada ilmu  yang mutlak yang  dapat sepenuhnya valid, oleh karena itu tidak dapat diperkuat atau ditantang oleh ilmu lainnya. Faktanya, selalu  ada perdebatan yang disebabkan oleh perbedaan sudut pandang masyarakat. Kita melihat bagaimana para ilmuwan pada saat itu, dalam kereta  menuju Gttingen, bertukar  pikiran dan berdebat tentang suatu subjek atau masalah tertentu. Perbedaan cara pandang  ini  justru membawa refleksi-refleksi baru yang sungguh sangat bermanfaat sehingga mampu melahirkan karya-karya baru yang hebat. Argumen mereka  pada dasarnya adalah tentang menemukan rincian terbaik dan terkuat untuk membuktikan kasus mereka. Namun, mereka tidak  pernah bisa mendapatkan semua yang mereka harapkan.

Apa yang menurut mereka pantas dan barangkali patut  disampaikan, agar tidak ada seorang pun yang merasa dibatasi oleh pandangan ideologi orang tertentu. Lebih jauh lagi, membatasi pemikiran dan menyatakan bahwa hanya pemikirannya saja yang benar hanya akan menimbulkan rasa benci dan cenderung mempermalukan diri sendiri. Padahal, kita memahami dengan jelas bahwa selalu ada kesenjangan antara  ilmu pengetahuan yang cenderung pasti dan ilmu pengetahuan yang tidak pasti. Seringkali orang menganggap ilmu yang diciptakan sudah cukup dan dapat memuaskan kebutuhannya, padahal mereka salah karena yang ada  sebenarnya hanyalah ketidakpastian.

Sebagai contoh, hal ini dapat kita lihat pada penelitian fisika yang dilakukan oleh Werner Heisenberg (dalam Bronowski, 1973), yang kemudian  memperkenalkan istilah 'Prinsip Ketidakpastian'. Heisenberg menyebut bahwa tidak ada peristiwa atau pencarian sebuah objek yang dapat dideskripsikan secara sama atau memiliki toleransi nol. Bronowski lebih cenderung menyebut prinsip ini sebagai 'Prinsip Toleransi'.

Fakta-fakta tentang perkembangan ilmu filsafat ini tentu memberikan pengaruh kepada berbagai bidang ilmu lainnya termasuk filsafat bahasa. Terjadi perbedaan pandangan pula di antara pemikir-pemikir yang concern dengan bahasa. Semua pemikiran ini tentu saja tidak dapat diterima bulat-bulat atau ditolak begitu saja karena masing-masing tentu memiliki dasar yang cukup kuat untuk menyampaikan teorinya masing-masing. Pembenaran akan satu teori dan penafikan akan teori lainnya hanya akan kembali membawa kita kepada konflik berkepanjangan tentang bahasa sebagai ilmu pengetahuan. Namun, secara mendasar perlu dipahami terlebih dahulu apa sebenarnya filsafat bahasa itu, dan mengapa filsafat bahasa muncul sebagai salah satu cabang dari filsafat. Pada bagian akhir akan dijelaskan secara singkat kontribusi filsafat dalam perkembangan ilmu bahasa dan pengajaran bahasa secara umum.

PEMBAHASAN

Peranan Filsafat Bahasa

Ada tiga cara berpikir ilmiah: bahasa, matematika dan statistik. Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak, sistematis, teratur, berkesinambungan, dan  menguasai ilmu pengetahuan. Dengan bahasa, manusia berbeda dengan hewan, mereka dapat berpikir dan berbicara tentang benda yang tidak ada di hadapannya. Kompleksnya dunia kehidupan dijelaskan dengan kalimat sederhana yang mudah dipahami. Bahasa juga memungkinkan kita untuk menyebarkan pengetahuan kepada orang lain. Singkatnya, bahasa membantu para ilmuwan berpikir secara ilmiah, yaitu berpikir induktif dan deduktif. Dengan kata lain, bahasa menjadi alat untuk menarik kesimpulan  induktif dan deduktif. Bahasa memungkinkan ilmuwan membuat silogisme dan menarik kesimpulan atau pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, timbullah pembahasan mengenai filsafat bahasa yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan (dunia) berdasarkan perspektif linguistik.

Terkait dengan uraian Burge mengenai filsafat bahasa, pembahasan mengenai filsafat bahasa merupakan bidang yang belum banyak mendapat apresiasi dari kalangan intelektual populer. Dalam hal ini terdapat lemahnya jalur komunikasi  yang menghubungkan  filsafat linguistik dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan praktik linguistik. Situasi ini telah berkembang sejak filsafat memulai "langkah barunya" pada periode positivis. Kritik keras positivisme terhadap nilai-nilai kognitif (positive period) mungkin menjadi salah satu alasan utama mengapa filsafat bahasa belum diapresiasi oleh para intelektual masyarakat.

Pada era positivisme, positivisme logis juga berkembang untuk menjadikan filsafat (bahasa) lebih ilmiah. Berkat positivisme logis  para pendukung positivisme logis dapat mengenali kelemahan dan keterbatasan filsafat bahasa. Pendukung positivisme logis mengajukan teori makna  yang juga secara implisit didukung oleh teori kognisi.

Teori makna didasarkan pada dua prinsip dasar, yaitu (a) makna suatu kalimat berfungsi sebagai metode  verifikasi atau penegasan (disebut prinsip verifikasi); (b) proses analitik digunakan untuk menentukan makna (hubungan makna), meskipun tidak memberikan informasi tentang dunia nyata (prinsip ini dikenal juga  dengan prinsip analitik). Filsafat analitik telah menjadi aliran terpenting di Inggris dan Amerika Serikat sejak tahun 1950. Filsafat analitik (juga disebut filsafat analitik dan filsafat bahasa) berkaitan dengan analisis bahasa dan analisis konsep. Analisis ini dianggap "terapeutik", karena para filsuf analitik percaya bahwa banyak masalah filosofis (dan juga teologis dan ilmiah) dapat "disembuhkan" melalui analisis linguistik. Berkat analisis ini, kami dapat menunjukkan bahwa masalah itu hanya diciptakan oleh pemakaian bahasa yang tidak sehat.

Lebih khususnya, verification priciple, para  pendukung positivisme logis dapat  menjelaskan kelemahan-kelemahan filsafat bahasa,  terutama ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan metafisik (metaphysics). Mereka  berpendapat bahwa seharusnya filsafat bahasa berfungsi sebagai verifikator (memverifikasi kebenaran) fenomena. Dengan terbengkalainya fungsi  verifikasi ini, maka pernyataan-pernyataan filsafat bahasa tentang fenomena masa kini akan kehilangan maknanya. Filosofi bahasa dimaksudkan untuk meniru atau meniru ilmu pengetahuan yang  fungsi adalah sebagai alat verifikasi kebenaran.

 Para pendukung positivisme logis juga berpendapat bahwa kedua prinsip teori makna  juga menyandang label teori empiris suatu ilmu dan hal ini dapat dibuktikan dengan adanya unsur eksperiensial (sense experience). Dalam  hal ini mereka melihat bahwa sains dapat menjadi alat pembuktian dan  dapat membenarkan fenomena-fenomena dunia pada  dengan  menggunakan dasar empirisme (sense experience). Landasan empirisme yang dikemukakan oleh para pendukung  positivisme logis  juga secara tidak langsung  dipengaruhi oleh empirisme David Hume. Selama periode positivisme ini,  filsuf, seperti Carnap, Schlick, Neurath, Reichenbach dan Hempel, muncul sebagai "pendukung setia"  prinsip verifikasi  (verificationist principle).

  Carnap, dalam pembahasannya tentang positivisme logis, mengusulkan linguistik sebagai sarana untuk memverifikasi suatu fenomena yang kemudian  dikembangkan menjadi  meanif of meaning. Dalam hal ini, Carnap berpendapat bahwa linguistik mempunyai fungsi analitis. Carnap lebih lanjut berpendapat bahwa logika sama dengan logika analitik  ketika sesuatu itu logis pada tataran praktis dan diterapkan, maka otomatis menjadi  analitik (Schlipp, 1963: 545- 558).

 Permasalahan tidak berhenti sampai disitu , filsafat linguistik masih belum mampu mengembangkan sarana untuk mengkonfirmasi fenomena di dunia ( method of confirmation). Melalui metode ini,  metafisika menjadi sebuah  fenomena yang akhirnya "tersingkirkan" dari ilmu pengetahuan. Masalah inilah yang akhirnya membuat Hempel pada tahun menjadi agnostik pada tahun mengenai kebenaran  prinsip verifikasi.

Pada awal tahun 1950-an, Quine berpendapat bahwa metode konfirmasi dalam filsafat tidak dapat diterapkan dalam konteks kalimat sederhana. Lebih dalam lagi, Quine akhirnya memberikan definisi holism atau holisme. Berdasarkan holismenya, satu kalimat  tidak dapat digunakan sebagai referensi atau dasar validasi (fenomena ).

 Dalam berbagai situasi, banyak  pendukung positivisme logis  mendukung pemikiran Gottlob Frege  dalam upayanya memberikan logika matematika aspek logis dan merumuskan teorema Matematika dari aksioma logika dengan definisinya. Pemikiran Frege  juga  mempengaruhi para filsuf dengan memberikan teorema tentang bahasa yang masuk akal dan dapat diterima.

Tentang masalah linguistik (linguistik) Carnap (1963: 55) memisahkan proposisi makna (meaning polstulates) dan proposisi teoretis (theorectial postulates) yang memunculkan radical translation  yang  akhirnya menjadi kurang populer dibandingkan  karena  mendalilkan bahwa makna dan teori adalah dua hal  yang saling bergantung (karena makna tidak dapat diukur tanpa teori dan teori tidak ada artinya tanpa makna) dan  pemisahan kedua postulat ini mengaburkan realitas yang sebenarnya  dan memberi legitimasi pada hal yang absurd. (legitimasi irasional), atau dalam klaim Burge  (2000: 189)  "mereka tidak memberikan alasan prima facie untuk membedakan antara fakta yang tidak masuk akal dan tidak masuk akal." Ide ini mempengaruhi pemikiran linguistik dan filosofis. Para  pendukung positivisme, dipengaruhi  oleh Frege dan dipimpin oleh Russell, Carnap dan Wittgenstein, mulai memasukkan linguistik ke dalam  filsafat bahasa pada tahun . Hal ini dipengaruhi oleh  dua tradisi yang berbeda. Tradisi  yang  pertama dimulai dengan pemikiran Gottlob Frege tentang pencarian bentuk  bahasa yang ideal (sempurna) berdasarkan struktur matematika. Tradisi  kedua berasal dari pemikiran G.E. Moore, seorang filsuf Inggris  terkenal dengan argumen pertanyaan terbuka dimana berisi Principia Ethica. GE. Moore mengemukakan dalil bahwa tulisan mengenai epistemologi (epistemologi) dan etika (ethics) lebih  menekankan pada sejumlah contoh praktis dibandingkan pada teori dan evaluasi 'suatu fenomena' (judgment) lebih sederhana  dibandingkan  menggunakan  prinsip filsafat. Faktanya, sebelum dan sesudah penerbitan Wittgenstein's Philosophical Investigations (1953), fokus pada penggunaan  praktik linguistik sehari-hari (everyday Language practice) menjadi landasan  filsafat bahasa.

Lebih dalam lagi, G.E. Moore mengambil sikap yang berbeda dari apa yang telah dilakukan oleh Gottlob Frege. Dalam perkembangan linguistik, Frege memasukkan unsur-unsur logika, sains, atau matematika dalam diskusi diskusinya mengenai linguistik (bahasa), sedangkan Moore lebih mengutamakan contoh-contoh praktik dalam ranah bahasa untuk sumber sumber pembahasan linguistik. Bahkan, Burge menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Frege adalah "distrusted intuition and championed theory" atau hanya menghasilkan teori-teori kuat saja dan berdasarkan atas intuisi pribadi yang kurang dapat diandalkan. Selain itu, ia juga menganggap apa yang diperbuat oleh Moore sebagai "distrusted principles and championed examples" atau sebuah pemikiran dengan contoh-contoh nyata yang luar biasa, tetapi tidak dapat diandalkan secara prinsip.

Sebagai sebuah pemikiran yang filosofis, pemikiran-pemikiran tersebut memunyai risiko untuk "dipatahkan" apabila terdapat pemikiran yang lebih logis dalam melihat bahasa sebagai sebuah konstruksi manusia dan entitas yang ilmiah. Pemikiran seperti itulah yang mempengaruhi filsuf-filsuf, seperti Frege, Gdel, Tarski, Church, dan Carnap.

Frege merupakan salah satu pionir perkembangan linguistik yang mem perkenalkan hubungan antara sense dan reference. Argumen itu menghasilkan sebuah diskusi yang menghubungkan antara bahasa dan pikiran (language and mind). Dalam diskusi mengenai bahasa dan pikiran yang diperkenalkan oleh Frege, pernyataan mengenai hesperus adalah phosporus muncul. Menurut Frege, hesperus dan phosporus adalah dua entitas yang sama. Akan tetapi, pernyataan hesperus adalah hesperus adalah sebuah pernyataan yang salah dan memunyai nilai kognitif yang berbeda (cognitive value) walaupun dua entitas merujuk kepada satu reference yang sama. Hal itulah yang kemudian berkembang dalam ilmu semantik (ilmu linguistik yang membahas mengenai makna) dan terus dipakai dalam diskusi-diskusi semantik, bahkan oleh ahli bahasa seperti John I. Saeed, Charles Kreidler, dan Brendan Hurford.

Pada rentang waktu yang hampir sama, Quine dalam bukunya Word and Object (dicetak tahun 1948 dan dicetak ulang tahun 1953) secara sengaja mengaburkan antara bahasa dan teori-teorinya. Buku ini juga menjadi salah satu pemikiran filsafat yang berpengaruh terhadap perkembangan linguistik. Dalam buku tersebut, Quine membuat sebuah asumsi alamiah mengenai karakteristik sebuah kalimat yang mengandung unsur kebenaran dan menggunakan pemikiran-pemikiran logis yang dapat menjelaskan berbagai pro dan kontra dari eksistensi berbagai macam entitas, seperti: kejadian, proposisi, kondisi mental, dan objek fisik. Hal itulah yang kemudian menginspirasi banyak kalangan, seperti Donald Davidson dalam bukunya Truth and Meaning dan Alfred Tarski dengan truth theory-nya.

Perkembangan linguistik generatif juga diikuti dengan "mekarnya" filsafat bahasa (Chomsky, 1957: 13). Pada tahun 1960-an hubungan keduanya merupakan hubungan yang saling melengkapi dan mempengaruhi. Salah satu pemikiran yang dilahirkan dari hubungan tersebut adalah pemikiran mengenai deep structure sebuah bahasa.

Chomsky menggambarkan sebuah deep structure sebagai sebuah level di dalam bahasa yang akan melahirkan sebuah "bentuk" bahasa manusia yang terdiri atas unsur unsur fonologis sampai sintaksis. Usaha Chomsky untuk menghasilkan diagram tersebut tidaklah terjadi secara instan. Pada awalnya, Chomsky menitikberatkan hanya pada kemurnian sintaksis (purity of syntax) sampai akhirnya memutuskan untuk ikut memasukkan unsur-unsur semantik dan pragmatik dalam kajiannya.

Pada zaman tersebut terdapat aliran filsafat yang memunyai peranan besar, tetapi belum dapat dianggap sebagai aliran yang "membuat sejarah", karena aliran tersebut masih terlalu baru. Aliran itu adalah filsafat strukturalisme. Aliran strukturalisme berkembang di Prancis sejak tahun 1960. Strukturalisme merupakan suatu sekolah dalam filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi, dan politikologi. Sturukturalisme menyelidiki patterns (pola-pola dasar yang tetap) dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem sistem ekonomi dan politik, dan karya karya kesusasteraan. Tokoh-tokoh strukturalisme yang terkenal adalah C. Lvi-Strauss, J. Lacan, dan Michel Foucault.

Salah satu stimulan dalam perkembangan filsafat bahasa adalah munculnya kebutuhan untuk memperbaiki "kegagalan" dalam prinsip verifikasi (verificationists principle) yang kemudian melahirkan sebuah teori makna atau theory of meaning. Akan tetapi, filsafat terus saja melahirkan sebuah perdebatan panjang antara para pemikir-pemikir yang sependapat dan yang bersilang pendapat. Dalam kasus kegagalan verificationists principle, Quine terus saja berpendapat bahwa teori makna tidak akan pernah muncul secara sempurna (atau bahkan tidak ada). Filsuf lain (seperti Dummett) juga ikut mendukung verificationists principle dan mencoba untuk membatasi "holisme" scientific theory.

Quine (1969: 313) memperpanjang kritiknya (di level makna) sampai ke argumen mengenai penerjemahan (indeterminacy of translation). Pada tataran ini Chomsky berpendapat bahwa indeterminacy of translation yang dipaparkan oleh Quine pada akhirnya akan membahayakan kondisi "kognitif" dari penerjemahan yang pada akhirnya akan meragukan hasil dari penerjemahan itu sendiri. Dalam pembahasan mengenai teori makna, Davidson berperan dalam menengahi Quine. Davidson berpendapat bahwa teori makna akan menjadi benar apabila terdapat dalam kondisi yang juga benar atau mengandung kebenaran (truth condition) (Burge, 2000: 195) dan dalam hal ini Davidson menjadi harapan baru dalam perkembangan theory of meaning.

Berhubungan dengan peran ekspresi untuk membuat "hidup" bahasa, seorang filsuf Inggris yang berkarir di Amerika Serikat, Paul Grice, berusaha untuk menganalisis makna dalam linguistik melalui sebuah kehendak komunikatif tertentu. Grice berpendapat bahwa makna linguistik dapat dilihat dari ujaran seseorang dan efek yang muncul terhadap ujaran tersebut. Oleh karena itu, kondisi mental seseorang (mental states) berpengaruh dalam memahami bahasa.

Grice memberikan kontribusi yang luar biasa dalam memahami makna. Dia ikut menambahkan bahwa tidak mudah untuk menganalisis sebuah makna linguistik karena hubungannya dengan banyak asosiasi atau interpretasi yang lain. Terkait dengan mental states, Kripke dan Donellan (Kripke, 1980: 151; Donellan, 1972: 1---24) menyatakan bahwa reference dari sebuah entitas akan mengalami ketergantungan pada pembicara dan lingkungan sosial dan fisiknya (speaker and his social and physical environment) dan akan lebih mudah dipahami dibandingkan jika seseorang harus melakukan investigasi terhadap kondisi mental orang lain (mental states atau mental repertoire).

Dalam hubungannya dengan reference dan mental states, Kripke menambahkan sebuah teori yang dinamakan theory of necessity. Dalam teori tersebut reference (yang sering dihubungkan dengan proper names) dinamakan dengan rigid designators. Teori Kripke mengenai Naming and Necessity merupakan salah satu teori utama pada periode ini. Hal itulah yang kemudian melahirkan teori-teori di dalam semantik.

Pada tahun 1970-an filsafat bahasa mulai kehilangan posisinya dalam diskusi-diskusi filsafat. Burge (2000: 370) bahkan menyebutkan filsafat bahasa yang "murni" telah hilang ("pure" philosophy of language has diminished). Beberapa alasan muncul atas kondisi itu. Alasan-alasan tersebut kemudian dikenal luas dengan alasan internal dan eksternal. Kebingungan atas teori Frege mengenai hesperus dan phosporus yang sebenarnya mengarah kepada filsafat pikiran atau philosophy of mind merupakan salah satu contoh kuat dari alasan internal (Burge, 2000: 200). Kemudian, sebagai contoh dari alasan eksternal adalah kemunculan paradigma komputerisasi dalam psikologi dan temuan-temuan substansial dalam ranah psikologi yang memunyai pengaruh signifikan terhadap permasalahan filsafat.

Tahun 1990-an merupakan waktu perkembangan linguistik dimulai kembali dan permasalahan permasalahan seputar linguistik seakan akan menjadi dinamis dan berkembang dengan sangat pesat. "Hubungan manis" antara filsafat bahasa dan linguistik mulai terjalin lagi ketika diskusi di ranah ini berpusat pada aspek-aspek kontekstual bahasa dan praktik kebahasaan. Konteks merupakan sebuah simpul dari tiga diskusi utama yang muncul pada tahun ini. Tiga diskusi utama tersebut adalah teori referen dengan ekspresi tunggal, teori anafora, dan teori dari elemen tak bersuara di dalam pemahaman linguistik (the theory of reference with singular expression, theory of anaphora, theories of 'unspoken' elements in linguistic understanding).

Menurut Burge (2000: 102---105) ketiga diskusi tersebut adalah diskusi yang saling terkait dengan erat. Teori anafora dan kontekstual secara lebih dalam dikaji oleh Irena Heim dan Hans Kamp dalam discourse analysis-nya. Teori anafora dan kontekstual bahkan memberikan diskusi yang lebih dalam mengenai pronominal cross reference, presupposition, dan quantification. Diskusi mengenai masalah tersebut yang menandai perubahan teori-teori formal logic, yang banyak dikemukakan pada periode (tahun) sebelumnya, ke studi mengenai bahasa alami (study of natural language).

Pada diskusi mengenai theories of unspoken element di dalam linguistik, para filsuf selalu berusaha untuk memisahkan antara semantik dan pragmatik. Hal itu merupakan hasil dari proses pemikiran unspoken element di dalam linguistik yang muncul sebagai fitur-fitur extra-linguistic atau para linguistic yang sangat bergantung pada konteks. Penggunaan konteks dalam kajian bahasa mendapat dukungan dari Gumperz dan Levinson pada tulisannya yang berjudul Rethinking Linguistic Relativity. Tulisan itu mencatat pentingnya theories of use in context yang memuat teori semantik formal dan situasi semantik, discourse representation theory dan teori pragmatis yang memuat relevance theory dan Gricean theories.

Dalam diskusi lain pada periode 1990-an, vagueness atau kesamaran muncul sebagai salah satu diskusi filsafat bahasa yang cukup penting bagi perkembangan linguistik. Diskusi ini dimulai dari pembahasan Timothy Williamson tentang kesamaran ekspresi dalam kalimat (melalui bukunya yang berjudul Vagueness). Williamson berpendapat bahwa dalam kalimat yang samar, jika dilihat dari konteks benar atau salah, proposisinya tidak dapat ditebak. Beberapa pemikir berpendapat bahwa apa yang dikatakan Williamson itu tidak ideal, dan perdebatan inilah yang menstimulus diskusi-diskusi linguistik yang lebih dalam. Pada periode 1990-an, theory of meaning mulai berkembang dengan sangat pesat, akan tetapi para linguis masih bersandar pada landasan teori yang dibuat pada tahun 1960 dan 1970- an. Secara lebih tegas, Burge (2000: 321---361) berpendapat bahwa Gottlob Frege merupakan peletak fondasi dasar filsafat yang merefleksikan fenomena
kebahasaan, dan sebagai inisiator dalam diskusi thought and knowledge. Lebih jauh, diskusi mengenai filsafat bahasa akan berhubungan dengan language and thought dan language and context (linguistik dan persepsi referen yang nyata). Diskusi ini terlihat eksplisit di dalam kajian pragmatik dan berguna dalam memahami linguistic meaning and interpretation. Tautan antara interprestasi pesan dan makna linguistik sendiri telah secara implisit dibahas dalam studi yang dilakukan oleh penulis sebelumnya (Nugroho, 2010: 8399, Nugroho, 2016: 121; Nugroho 2018: 2; dan Nugroho dkk, 2017: 800808). Dalam studi-studi tersebut, makna linguistik dapat diinterpretasikan secara berbeda tergantung alat analisis atau teori yang digunakan.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah sebuah objek atas refleksi keunikan pengalaman-pengalaman kehidupan manusia. Oleh karena itu, perlu sebuah "simpul tali" yang berusaha untuk "mengilmiahkan" keunikan pengalaman-pengalaman manusia ini dengan cara menggunakan filsafat ilmu sebagai motor dan linguistik sebagai roda penggerak kajian bahasa.

SIMPULAN

Berpikir adalah suatu kegiatan (penalaran) untuk memperoleh pengetahuan yang benar Berpikir ilmiah merupakan suatu kegiatan (penalaran) yang memadukan antara induksi dan deduksi. Induksi adalah cara berpikir yang menarik kesimpulan  umum  dari pernyataan atau kasus tertentu; sedangkan deduksi adalah cara berpikir yang menarik kesimpulan  khusus  dari pernyataan  umum.

Penarikan kesimpulan secara deduktif seringkali menggunakan model yang disebut silogisme atau silogisme. Silogisme terdiri dari dua pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan. Suatu kesimpulan atau suatu pengetahuan akan benar jika (1) premis mayornya benar, (2) premis minornya benar, dan (3) cara menarik kesimpulannya  benar.

Induksi berkaitan dengan empirisme, yaitu pemahaman yang menganggap fakta-fakta yang dipahami manusia. Sedangkan penafsiran "berkaitan" dengan rasionalisme, yaitu paham yang menganggap akal sebagai sumber kebenaran. Dengan demikian, pemikiran ilmiah atau metode ilmiah merupakan gabungan antara empirisme dan rasionalisme.

 Alat berpikir ilmiah adalah alat yang melaksanakan langkah-langkah (metode) ilmiah atau membantu langkah-langkah ilmiah mencapai kebenaran. Dengan kata lain, alat berpikir ilmiah memungkinkan kita melakukan penelitian ilmiah secara efektif, teratur, dan menyeluruh. Oleh karena itu, agar dapat bekerja dengan baik, para filsuf harus menguasai alat-alat berpikir ilmiah. Oleh karena itu, bahasa membantu para ilmuwan berpikir secara ilmiah, yaitu berpikir induktif dan deduktif. Dengan kata lain, bahasa merupakan alat bagi para filsuf untuk membuat kesimpulan induktif atau deduktif dan bahasa memungkinkan para ilmuwan atau filsuf membuat silogisme dan memperoleh kesimpulan atau mempelajari pengetahuan ilmiah.

Manusia hanya bisa memahami satu sama lain melalui kata-kata. Bahasa berorientasi subyektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Eksistensi subjektif inilah yang coba kami pahami dalam pembahasan filsafat bahasa dan kajian bahasa.

 Bahasa dipelajari secara khusus  dalam bidang linguistik. Kajian bahasa dengan pendekatan tradisional  dimulai pada abad ke-5 SM di Yunani dan dilanjutkan dengan pendekatan modern pada abad ke-18. Saat ini, ilmu linguistik dan juga ilmu-ilmu lainnya semakin berkembang dan mengalami kemajuan. Perkembangan ilmu linguistik tidak lepas dari peranan filsafat linguistik.

 Filsafat bahasa dan linguistik juga mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi (timbal balik). Meskipun filsafat tidak pernah secara eksplisit menyebut sebagian orang sebagai filsuf bahasa, namun para filsuf dari disiplin ilmu lain (memang) memahami  pentingnya bahasa dalam menghadapi fenomena (alam) yang terjadi. Hal inilah yang menginspirasi berkembangnya kajian linguistik dan multidisiplin lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Burge, T. 2000. "Reason and the First Person" dalam C. Wright, B. Smith & C. Macdonald (ed.), Knowing Our Own Minds. Oxford: Oxford University Press.

Carnap, R. 1937. The Logical Syntax of Language. London: Routledge and Kegan Paul. 1963. "Intellectual Autobiography" dalam P.A. Schlipp (ed.), The Philosophy of Rudolf Carnap. The Library of Living Philosophers: Open Court.

Chomsky, N. 1957. Syntactic Structures. The Hague: Mouton.

Donellan, K. 1972. "Proper Names and Identifying Descriptions" dalam D. Davidson and G. Harman (ed.), Semantics of Natural Language. Dordrecht: D. Reidel.

Kaelan M.S. 1998. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.

Kripke, S. 1980. Naming and Necessity. Cambridge: Harvard University Press.

Munir, M.IA. (2004). "Tinjauan terhadap Metode Empirisme dan Rasionalisme". Jurnal Filsafat, 38 (3). Tersedia di: https://www.academia.edu/30443

007/METODE_EMPIRISME_DA N_RASIONALISME

Nugroho, R.A. (2010). "Rapport and Address Terms in Family Guy Cartoon: Can (Targeted) Audience Identify a Social Dimension of Relationship?" Jurnal LITE, 6(2). Tersedia di: https://publikasi.dinus.ac.id/index. php/lite/article/download/490/993

Nugroho, R.A. (2016). "The Use of Microstrategies in Students' Translation: A Study on Classroom Translation Process and Product". Prasasti: Journal of Linguistics, 2(1). Tersedia di: https://jurnal.uns.ac.id/pjl/article/v iew/316/286

Nugroho, R.A. 2018. Proses Penerjemahan Teks dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerjemah Tunanetra (Pendekatan Kritik Holistik). Disertasi. Universitas SebelasMaret.Tersediadi: https://eprints.uns.ac.id/40041/1/T 141008004_pendahuluan.pdf

Nugroho, R.A., Septemuryantoro, S.A., dan Lewa, A.H. 2017. "Penerjemahan: Sebuah Cara untuk Meningkatkan Kualitas Pariwisata Indonesia". Dalam Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu (800-808). Semarang, Indonesia: Universitas Stikubank. Tersedia di https://www.unisbank.ac.id/ojs/in

dex.php/sendi_u/article/download/ 5104/1609

Schlipp, P. (ed.). 1963. The Philosophy of Rudolf Carnap. LaSalle: Open Court.

Quine, W.v.O. 1969. Ontological Relativity and Other Essays. New York: Columbia University Press.

Wittgenstein, L. 1953 Philosophical Investigations. Oxford:Blackwell.

"Pemikiran gila bukan terlahir dari orang biasa"

 

           

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun