Mohon tunggu...
Yesi Mandala putri
Yesi Mandala putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN SUSKA Riau

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peranan Filsafat Bahasa dalam Perkembangan Ilmu Bahasa

2 Januari 2024   12:00 Diperbarui: 2 Januari 2024   12:11 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tentang masalah linguistik (linguistik) Carnap (1963: 55) memisahkan proposisi makna (meaning polstulates) dan proposisi teoretis (theorectial postulates) yang memunculkan radical translation  yang  akhirnya menjadi kurang populer dibandingkan  karena  mendalilkan bahwa makna dan teori adalah dua hal  yang saling bergantung (karena makna tidak dapat diukur tanpa teori dan teori tidak ada artinya tanpa makna) dan  pemisahan kedua postulat ini mengaburkan realitas yang sebenarnya  dan memberi legitimasi pada hal yang absurd. (legitimasi irasional), atau dalam klaim Burge  (2000: 189)  "mereka tidak memberikan alasan prima facie untuk membedakan antara fakta yang tidak masuk akal dan tidak masuk akal." Ide ini mempengaruhi pemikiran linguistik dan filosofis. Para  pendukung positivisme, dipengaruhi  oleh Frege dan dipimpin oleh Russell, Carnap dan Wittgenstein, mulai memasukkan linguistik ke dalam  filsafat bahasa pada tahun . Hal ini dipengaruhi oleh  dua tradisi yang berbeda. Tradisi  yang  pertama dimulai dengan pemikiran Gottlob Frege tentang pencarian bentuk  bahasa yang ideal (sempurna) berdasarkan struktur matematika. Tradisi  kedua berasal dari pemikiran G.E. Moore, seorang filsuf Inggris  terkenal dengan argumen pertanyaan terbuka dimana berisi Principia Ethica. GE. Moore mengemukakan dalil bahwa tulisan mengenai epistemologi (epistemologi) dan etika (ethics) lebih  menekankan pada sejumlah contoh praktis dibandingkan pada teori dan evaluasi 'suatu fenomena' (judgment) lebih sederhana  dibandingkan  menggunakan  prinsip filsafat. Faktanya, sebelum dan sesudah penerbitan Wittgenstein's Philosophical Investigations (1953), fokus pada penggunaan  praktik linguistik sehari-hari (everyday Language practice) menjadi landasan  filsafat bahasa.

Lebih dalam lagi, G.E. Moore mengambil sikap yang berbeda dari apa yang telah dilakukan oleh Gottlob Frege. Dalam perkembangan linguistik, Frege memasukkan unsur-unsur logika, sains, atau matematika dalam diskusi diskusinya mengenai linguistik (bahasa), sedangkan Moore lebih mengutamakan contoh-contoh praktik dalam ranah bahasa untuk sumber sumber pembahasan linguistik. Bahkan, Burge menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Frege adalah "distrusted intuition and championed theory" atau hanya menghasilkan teori-teori kuat saja dan berdasarkan atas intuisi pribadi yang kurang dapat diandalkan. Selain itu, ia juga menganggap apa yang diperbuat oleh Moore sebagai "distrusted principles and championed examples" atau sebuah pemikiran dengan contoh-contoh nyata yang luar biasa, tetapi tidak dapat diandalkan secara prinsip.

Sebagai sebuah pemikiran yang filosofis, pemikiran-pemikiran tersebut memunyai risiko untuk "dipatahkan" apabila terdapat pemikiran yang lebih logis dalam melihat bahasa sebagai sebuah konstruksi manusia dan entitas yang ilmiah. Pemikiran seperti itulah yang mempengaruhi filsuf-filsuf, seperti Frege, Gdel, Tarski, Church, dan Carnap.

Frege merupakan salah satu pionir perkembangan linguistik yang mem perkenalkan hubungan antara sense dan reference. Argumen itu menghasilkan sebuah diskusi yang menghubungkan antara bahasa dan pikiran (language and mind). Dalam diskusi mengenai bahasa dan pikiran yang diperkenalkan oleh Frege, pernyataan mengenai hesperus adalah phosporus muncul. Menurut Frege, hesperus dan phosporus adalah dua entitas yang sama. Akan tetapi, pernyataan hesperus adalah hesperus adalah sebuah pernyataan yang salah dan memunyai nilai kognitif yang berbeda (cognitive value) walaupun dua entitas merujuk kepada satu reference yang sama. Hal itulah yang kemudian berkembang dalam ilmu semantik (ilmu linguistik yang membahas mengenai makna) dan terus dipakai dalam diskusi-diskusi semantik, bahkan oleh ahli bahasa seperti John I. Saeed, Charles Kreidler, dan Brendan Hurford.

Pada rentang waktu yang hampir sama, Quine dalam bukunya Word and Object (dicetak tahun 1948 dan dicetak ulang tahun 1953) secara sengaja mengaburkan antara bahasa dan teori-teorinya. Buku ini juga menjadi salah satu pemikiran filsafat yang berpengaruh terhadap perkembangan linguistik. Dalam buku tersebut, Quine membuat sebuah asumsi alamiah mengenai karakteristik sebuah kalimat yang mengandung unsur kebenaran dan menggunakan pemikiran-pemikiran logis yang dapat menjelaskan berbagai pro dan kontra dari eksistensi berbagai macam entitas, seperti: kejadian, proposisi, kondisi mental, dan objek fisik. Hal itulah yang kemudian menginspirasi banyak kalangan, seperti Donald Davidson dalam bukunya Truth and Meaning dan Alfred Tarski dengan truth theory-nya.

Perkembangan linguistik generatif juga diikuti dengan "mekarnya" filsafat bahasa (Chomsky, 1957: 13). Pada tahun 1960-an hubungan keduanya merupakan hubungan yang saling melengkapi dan mempengaruhi. Salah satu pemikiran yang dilahirkan dari hubungan tersebut adalah pemikiran mengenai deep structure sebuah bahasa.

Chomsky menggambarkan sebuah deep structure sebagai sebuah level di dalam bahasa yang akan melahirkan sebuah "bentuk" bahasa manusia yang terdiri atas unsur unsur fonologis sampai sintaksis. Usaha Chomsky untuk menghasilkan diagram tersebut tidaklah terjadi secara instan. Pada awalnya, Chomsky menitikberatkan hanya pada kemurnian sintaksis (purity of syntax) sampai akhirnya memutuskan untuk ikut memasukkan unsur-unsur semantik dan pragmatik dalam kajiannya.

Pada zaman tersebut terdapat aliran filsafat yang memunyai peranan besar, tetapi belum dapat dianggap sebagai aliran yang "membuat sejarah", karena aliran tersebut masih terlalu baru. Aliran itu adalah filsafat strukturalisme. Aliran strukturalisme berkembang di Prancis sejak tahun 1960. Strukturalisme merupakan suatu sekolah dalam filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi, dan politikologi. Sturukturalisme menyelidiki patterns (pola-pola dasar yang tetap) dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem sistem ekonomi dan politik, dan karya karya kesusasteraan. Tokoh-tokoh strukturalisme yang terkenal adalah C. Lvi-Strauss, J. Lacan, dan Michel Foucault.

Salah satu stimulan dalam perkembangan filsafat bahasa adalah munculnya kebutuhan untuk memperbaiki "kegagalan" dalam prinsip verifikasi (verificationists principle) yang kemudian melahirkan sebuah teori makna atau theory of meaning. Akan tetapi, filsafat terus saja melahirkan sebuah perdebatan panjang antara para pemikir-pemikir yang sependapat dan yang bersilang pendapat. Dalam kasus kegagalan verificationists principle, Quine terus saja berpendapat bahwa teori makna tidak akan pernah muncul secara sempurna (atau bahkan tidak ada). Filsuf lain (seperti Dummett) juga ikut mendukung verificationists principle dan mencoba untuk membatasi "holisme" scientific theory.

Quine (1969: 313) memperpanjang kritiknya (di level makna) sampai ke argumen mengenai penerjemahan (indeterminacy of translation). Pada tataran ini Chomsky berpendapat bahwa indeterminacy of translation yang dipaparkan oleh Quine pada akhirnya akan membahayakan kondisi "kognitif" dari penerjemahan yang pada akhirnya akan meragukan hasil dari penerjemahan itu sendiri. Dalam pembahasan mengenai teori makna, Davidson berperan dalam menengahi Quine. Davidson berpendapat bahwa teori makna akan menjadi benar apabila terdapat dalam kondisi yang juga benar atau mengandung kebenaran (truth condition) (Burge, 2000: 195) dan dalam hal ini Davidson menjadi harapan baru dalam perkembangan theory of meaning.

Berhubungan dengan peran ekspresi untuk membuat "hidup" bahasa, seorang filsuf Inggris yang berkarir di Amerika Serikat, Paul Grice, berusaha untuk menganalisis makna dalam linguistik melalui sebuah kehendak komunikatif tertentu. Grice berpendapat bahwa makna linguistik dapat dilihat dari ujaran seseorang dan efek yang muncul terhadap ujaran tersebut. Oleh karena itu, kondisi mental seseorang (mental states) berpengaruh dalam memahami bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun