Mohon tunggu...
Yesi Tri Andriani Sudibyo
Yesi Tri Andriani Sudibyo Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Novelis, Editor, Ex-jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pendosa

21 Desember 2022   23:11 Diperbarui: 21 Desember 2022   23:29 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berdiri sendiri, menentang arus nasib yang terombang-ambing ketidakpastian. Salahkah jika aku mempertanyakan kuasa-Nya? Kuasa untuk mengubah segalanya dengan sangat mudah.

Cekatan, kurapikan lagi ikatan goni. Dengan sisa tenaga, kuseret dia seperti saat dia menjambak rambut kemudian menyeretku ke dalam gubuk maksiat yang tiada ampun.

Aku bergerak lambat, langkah demi langkah, mengumpati makanan yang dimakan bandot tua sehingga tubuhnya menjadi tambun dan sulit untuk dipindahkan. Oleh karena aku tidak membawa apa pun selain tubuh tambun itu, kuubah rencana.

Tidak ada pemakaman istimewa di sini, hutan sunyi yang dibelah sungai kecil di tengahnya, menjadi tempat sempurna untuk menyingkirkan jasad itu. Aku menyeringai, mendapati kenyataan jika aku tidak memerlukan sekop lagi. Ah, ini tidak serumit yang kubayangkan kemarin.

Melewati celah sempit di antara pepohonan ek, langkahku terhenti, memutar otak. Jika mengambil jalan lain maka itu akan cukup menyulitkan. Namun, jika terus memaksa maju, itu juga tidak kalah sulitnya. Ah, sudah mati pun bandot ini masih saja menyusahkan.

Mau tidak mau aku berjalan sedikit memutar. Jika tidak membawa bungkusan besar dan berat itu, tentu dengan sangat mudah aku melewatinya.

"Astaga!" Aku berteriak. Lolongan serigala mematahkan konsentrasiku.

Sial! Kenapa di saat seperti ini malah merasa takut pada sesuatu yang tidak terlihat.

Aku bergegas, gerakanku menjadi sedikit tidak teratur. Kudorong karung goni dengan kuat. Tidak berhasil, rasanya karung itu menjadi semakin berat. Akhirnya, kuputuskan untuk menendangnya. Nihil. Goni tidak bergerak sama sekali. Aku mengumpat. Malam kian gelap dan dingin, membuat keringat bergerombol di batas kening. Ini semua gara-gara serigala.

Aku mendongak, melotot ke langit. Walaaa ... seperti mendapat satu keajaiban, karung goni yang kutarik ujungnya, melesat cepat melewati celah pohon dengan mudahnya. Namun, sayang, karung itu justru menimpa tubuhku yang terjerembab di atas tanah berlumut.

Aku menghela napas dalam-dalam, usai terengah-engah. Kusingkirkan beban berat itu, lalu mulai menariknya lagi. Sampai di pinggir sungai, aku menjatuhkan tubuh, menghela napas dalam-dalam. Akhirnya sebentar lagi kami akan benar-benar berpisah. Tidak sabar rasanya meraih kebebasan yang sudah ada di depan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun