PendosaÂ
Karya: Yesi Tri Andriani Sudibyo
Napas kasar berembus dari hidungku yang patah. Setengah batang rokok yang sudah tidak menarik untuk diisap lagi, kulempar ke sembarang arah. Bibirku berdecak, seraya membuang pandang ke depan. Lembab, pengap, menyergap paru-paru yang belakangan sering sesak mencekik. Tidak ada gunanya lagi mengumpati nasib. Semua sudah terjadi. Mau bilang apa?
Mata ini menyipit, mendongak, mencari barangkali bisa melihat Tuhan yang duduk manis di atas sana sambil menikmati tragedi hidupku yang tragis.
Silau kilau senja yang memayungi deretan pohon ek, jauh di ujung sana, membuatku muak. Burung-burung terbang bergerombol pulang, ditingkahi desau lembut sang bayu membelai pucuk-pucuk ek yang menjulang, menantang langit.
Indah. Mestinya begitu. Akan tetapi, sayatan di dada ini, membunuh rasa di hati. Di mataku, semua terlihat sama; tertawa. Mungkin seharusnya aku pun begitu. Takdir hanya bisa dijalani, dan ditertawai, selebihnya kita bisa apa?
Aku terpejam, menenangkan gejolak yang menggelegak. Namun, justru kelebatan wajah lelaki tua itu terus mengisi ruang memori di kepala, selayaknya rol film yang terputar berulang-ulang dengan sendirinya. Tawa, seringai kepuasan, serta suara ciplaknya benar-benar membuatku frustrasi.
Tanganku mengepal, meninju angin yang tiada takut melihatku compang-camping ditelanjangi keadaan.
"Tuhan, Kau masih di sana?" teriakku seraya menyeka ludah yang muncrat ketika mulai mengajak-Nya berbicara.
Kuharap, dengan begitu, Dia akan memberi perhatian lebih kepada manusia yang dipaksa menjadi pendosa, sepertiku.
"Aku tidak tau apa mau-Mu, aku juga tidak tau apa salahku sampai-sampai Kau menghadiahiku dengan kisah menyedihkan ini!"
Aku melipat tangan di dada yang nyaris terbuka sebab sebagian penutupnya telah koyak, akibat perbuatan laknat si bandot tua. Kutatap langit dengan arogan serta amarah menyala di mata yang memerah lebam.
"Aku membenci-Mu, membenci semua tentang-Mu. Kau tau? Aku tidak peduli lagi dengan apa pun tentang-Mu! Aku muak dengan semua omong kosong ini!"
Sekeras apa pun aku menyuarakan isi hati, angin tetap tidak peduli. Ia datang dengan tenang, membelai, mempermainkan rambut yang entah sudah berapa lama tidak disisir.
Aku mendesah, terengah lelah. Putus asa, kulirik karung goni lusuh yang teronggok di bawah, di atas tanah hutan berlumut basah.
"Benar katamu, kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Namun, sampai akhir seperti ini, kita masih bersama, kurasa itu sudah lebih dari cukup." Aku berbisik. "Dia yang di atas sana, ternyata bukan hanya mempermainkanku." Seulas senyum getir kuukir di bibir yang di sudutnya menempel cairan merah membeku.
Kakiku bergerak maju, menyentuh karung goni dengan ujung-ujungnya, kemudian mengguncang bungkusan yang mulai berbau bangkai itu.
"Masih membawamu dan berpikir tentang pemakaman yang tepat untukmu, ah ... anggap saja ini sebagai bentuk rasa hormatku atas keputusan Ibu menikahimu."
"Aku membencimu? Tentu tidak. Kamu hanya satu dari sekian banyak alat Tuhan yang Dia gunakan untuk mempermainkanku, menertawai nasib sialku."
"Aku dan kamu sama saja. Sama-sama orang kalah, yang hanya bisa pasrah dengan keadaan setelah berusaha sekian kali, tetapi semua Dia patahkan begitu mudah."
Aku mendongak, langit tidak lagi sama. Senja menghilang, berganti kelam. Dingin mulai menyergap. Ini harus segera kuakhiri. Namun, sebelum itu, aku ingin melihatnya, anggap saja sebagai salam perpisahan. Perpisahan dari kisah yang mengerikan.
"Maaf, kurasa ikatan antara kita cukup sampai di sini," bisikku seraya mengayun satu tendangan keras ke arah karung goni. "Selamat tinggal."
Tunggu, aku mengernyit. Apa ini? Rasa aneh menjalar di dada, setelah melakukan gerakan tadi. Aku harus memastikannya lagi. Tanpa pikir panjang, kuulangi tindakan itu. Kutendang karung goni di bawahku, lagi dan lagi. Aku terbahak. Rasa asing itu membuat air mata ini luruh. Lega.
Aku yang terengah, menghentikan ayunan kaki. Kurendahkan tubuh, menjangkau tali pengikat goni. Aku terkekeh pelan, seringai terulas, puas melihat hasil kerjaku.
Seonggok kepala menyembul dari karung yang memerah. Rambut yang memutih sebagian itu kutarik segenggam, sekadar memastikan keadaannya. Beberapa pecahan kaca tertancap acak, di wajah garangnya. Mata yang hanya tersisa satu, terbuka lebar.
Cih! Bahkan setelah semua yang dia lakukan, bandot tua itu masih berani memperlihatkan kemarahannya padaku.
Sengaja kubiarkan lakban hitam menempel ketat di mulut busuknya. Mulut yang tak pernah lelah meneriakiku pelacur. Usiaku masih belasan, pantaskah menerima semua itu? Kurasa tidak.
Segala petaka dimulai sejak Dia merenggut Ibu, memisahkanku dari pelindung yang tidak pernah kudapatkan penggantinya. Selama dua tahun aku terlunta-lunta, terluka, teraniaya. Tiada sesiapa mendengar jeritanku, pun dengan Dia yang di atas sana.
Seperti makian yang selalu terlontar dari bibir hitamnya usai menyakiti tubuh ini, kini benar-benar kubuat dia terkapar di bawah kakiku. Luka menganga indah menghiasi lehernya.
"Tuhan, apakah ini adil?" Aku menyeringai.
Tentu saja, sebab bagi-Mu aku adalah pion. Benda yang Kau-mainkan sesuka-Mu. Jadi, apa bedanya adil atau tidak? Asal Kau senang maka semua baik-baik saja.
Dia yang berada di dalam karung goni adalah makhluk paling menjijikkan yang ada di muka bumi. Makhluk tidak berhati nurani yang menikmati tubuh tidak berdaya seorang gadis remaja, ratusan kali.
Dua tahun lalu, dia menyeretku masuk ke gubuk nyaris roboh di tengah hutan, siapa yang peduli? Mengikat dan mencambuk, mencari kepuasan, siapa yang peduli? Tidak! Tidak ada yang peduli!
Aku berdiri sendiri, menentang arus nasib yang terombang-ambing ketidakpastian. Salahkah jika aku mempertanyakan kuasa-Nya? Kuasa untuk mengubah segalanya dengan sangat mudah.
Cekatan, kurapikan lagi ikatan goni. Dengan sisa tenaga, kuseret dia seperti saat dia menjambak rambut kemudian menyeretku ke dalam gubuk maksiat yang tiada ampun.
Aku bergerak lambat, langkah demi langkah, mengumpati makanan yang dimakan bandot tua sehingga tubuhnya menjadi tambun dan sulit untuk dipindahkan. Oleh karena aku tidak membawa apa pun selain tubuh tambun itu, kuubah rencana.
Tidak ada pemakaman istimewa di sini, hutan sunyi yang dibelah sungai kecil di tengahnya, menjadi tempat sempurna untuk menyingkirkan jasad itu. Aku menyeringai, mendapati kenyataan jika aku tidak memerlukan sekop lagi. Ah, ini tidak serumit yang kubayangkan kemarin.
Melewati celah sempit di antara pepohonan ek, langkahku terhenti, memutar otak. Jika mengambil jalan lain maka itu akan cukup menyulitkan. Namun, jika terus memaksa maju, itu juga tidak kalah sulitnya. Ah, sudah mati pun bandot ini masih saja menyusahkan.
Mau tidak mau aku berjalan sedikit memutar. Jika tidak membawa bungkusan besar dan berat itu, tentu dengan sangat mudah aku melewatinya.
"Astaga!" Aku berteriak. Lolongan serigala mematahkan konsentrasiku.
Sial! Kenapa di saat seperti ini malah merasa takut pada sesuatu yang tidak terlihat.
Aku bergegas, gerakanku menjadi sedikit tidak teratur. Kudorong karung goni dengan kuat. Tidak berhasil, rasanya karung itu menjadi semakin berat. Akhirnya, kuputuskan untuk menendangnya. Nihil. Goni tidak bergerak sama sekali. Aku mengumpat. Malam kian gelap dan dingin, membuat keringat bergerombol di batas kening. Ini semua gara-gara serigala.
Aku mendongak, melotot ke langit. Walaaa ... seperti mendapat satu keajaiban, karung goni yang kutarik ujungnya, melesat cepat melewati celah pohon dengan mudahnya. Namun, sayang, karung itu justru menimpa tubuhku yang terjerembab di atas tanah berlumut.
Aku menghela napas dalam-dalam, usai terengah-engah. Kusingkirkan beban berat itu, lalu mulai menariknya lagi. Sampai di pinggir sungai, aku menjatuhkan tubuh, menghela napas dalam-dalam. Akhirnya sebentar lagi kami akan benar-benar berpisah. Tidak sabar rasanya meraih kebebasan yang sudah ada di depan mata.
"Astaga!" Aku menjerit, lagi.
Jantungku berdentum-dentum, seolah-olah hendak meledak kala ujung mata mendapati segerombol serigala menatapku.
Tuhan, apalagi ini? Belum puaskah Kau melihatku menderita? Sekarang bahkan Kau-inginkan nyawaku juga?
Baiklah, kali ini aku benar-benar menyerah. Kuserahkan seluruh hidupku kepada-Mu. Bahkan jika Kau menginginkan nyawaku, akan kuberikan. Ambillah, Tuhan.
Aku terpejam. Membiarkan semua terjadi sesuai kehendak-Nya.
Aku lelah, sudah sangat lelah. Aku menginginkan kebebasan. Mungkin setelah ini aku akan meraihnya, meski sedikit berbeda dari yang kuinginkan.
Dari suara dengusan yang kudengar, kutau serigala-serigala kelaparan itu sudah semakin dekat. Tidak mengapa. Aku sudah pernah merasakan hal yang sangat mengerikan, jika kali ini harus merasakannya lagi, sungguh, aku tidak apa-apa.
Dengan mata terpejam, aku mendengar mereka berebut sesaat, lalu hening. Sudah matikah aku? Takut-takut kubuka mata. Hewan-hewan buas itu tidak lagi ada di sana, mereka pergi bersama karung goni berisi si bandot tua. Aku mendongak, tersenyum kepada Dia yang ada di atas sana.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H