Mohon tunggu...
Yeni Afrilia
Yeni Afrilia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Raden Mas Said

Suka kopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Buku Hukum Perkawinan Islam

12 Maret 2023   13:00 Diperbarui: 21 Maret 2023   18:38 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, menikah dengan wanita ahli kitab atau Yahudi dan Nasrani. Menurut Ibnu Umar menikahi wanita ahli kitab adalah haram. Namun beberapa sahabat dan tabiin menghalalkan pernikahan dengan ahli kitab, seperti mujadid, Hasan, Dhahak dll. Namun Umar bin Khattab mengharamkan pernikahan ini, karena ditakutkan akan merendahkan wanita muslim.

Mengenai perkawinan beda agama, MUI menegaskan jika hukumnya haram. Sedangkan menikah dengan ahli kitab, jika dipertimbangkan maka sisi mudaratnya lebih besar sehingga dihukumi haram. Fatwa NU juga menyatakan jika menikah beda agama hukumnya tidak sah (haram). 

Perkawinan beda agama berdampak bagi akidah seseorang, karena pasangannya yang tidak memiliki tauhid yang sama, sehingga tidak mampu untuk saling mengingatkan serta aken menghilangkan kebahagiaan bagi kedua pasangan. Bahkan karena perkawinan beda agama hukumnya haram, maka perkawinan itu dianggap tidak sah dan jika melakukan bersetubuh akan dihukumi dengn zina yang mengakibatkan hilangnya hak waris, nafkan dan perwalian. 

Yang terakhir yaitu hadanah atau biasa dikenal dengan mengasuh anak. Menurut fuqaha hadanah berarti memelihara anak dari segala bahaya yang mungkin menimpanya dengan dengan menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, mengusahakan pendidikannya sampai si anak dapat berdiri sendiri menghadapi kehidupan.  

Bagi seseorang yang hendak melakukan hadanah, harus memenuhi beberapa syarat, seperti baligh dan berakal, merdeka, Islam, terpercaya atau berbudi luhur, orang yang mengasuh hendaknya orang yang dalam kondisi aman, mampu mendidik, orang yang mengasuh tidak berpenyakit, dan menetap (tidak mufassir). Syarat ini juga bertujuan untuk menjamin pihak anak dan orang yang mengasuhnya tidak ada yang merasa terbebani.

Dalam mengasuh anak, orang tua harus mampu menanamkan sikap yang baik kepada anak dan sekitarnya, karen anak akan mengikuti dengan orang tuanya. Untuk menambah kasih sayang dengan anaknya, orang tua diperbolehkan untuk memanggilnya dengan nama kesayangan. Serta wajib bagi orang tua untuk mengajari anaknya tentang agama dan adab kepada sesama manusia, agar menajdi manusia yang bermanfaat. 

Orang yang mengasuh anak disyaratkan mempunyai kafa'ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan anak dan mampu melaksanakan tugas-tugas sebagai pengasuh anak. Adanya kemampuan dan kafa'ah mencakup beberapa syarat tertentu. Apabila syarat-syarat tersebut tidak ada, gugurlah hak- haknya untuk mengasuh anak. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut, musafir (tidak menetap), memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan, fasiq (tidak dapat dipercaya), kafir (bukan Islam), belum dewasa (belum balig), gila, tidak mampu mendidik anak serta budak (tidak merdeka).

Dalam KHI, hadanah diartikan dengan pemeliharaan anak. Pemeliharaan anak atau hadanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Sehingga jika orang tua angkatnya telah bercerai, merek tetap memiliki kewajiban untuk mengasuh anaknya sebagaimana mereka mengasuh anak tersebut sebelum terjadi perceraian.

Pada bab terakhir menjelaskan tentang perceraian atau talak. Perceraian merupakan istilah untuk melepaskan hubungan perkawinan. Dalam KHI talak adalah ikrar suami di hadapan sidang PA karena suatu sebab tertentu. Perceraian diawali dengan adanya talak, yang berasal dari kata ithlaq yang artinya melepaskan atau Irsal artinya memutuskan atau firaqun artinya perpisahan. 

Dalam talak memiliki beberapa syarat, yaitu adanya mempepali wanita dan pria serta ada lafadz talak. Tak sendiri dibagi menjadi dua, yaitu talak raj’I dan talaka ba’in. Talak raj'i, yaitu talak ketika suami masih mempunyai hak untuk merujuk atau talak yang masih memungkinkan bagi suami untuk kembali pada istrinya tanpa akad yang baru. 

Sedangkan talak ba’in, yaitu talak yang tidak memungkinkan suaminya untuk rujuk kembali pada istrinya kecuali dengan akad yang baru. Talak Ba'in sendiri dibagi menjadi dua, yaitu pertama, (kecil) sebagai talak satu atau dua yang dijatuhkan pada istri yang belum pernah di gauli. Dan kedua, talak ba'in kubra adalah talak yang telah dijatuhkan sebanyak tiga kali. Sehingga suami tidak boleh rujuk dengan istri, kecuali sang istri telah menikah lagi dengan orang lain dan habis masa Iddahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun