Mohon tunggu...
Yeni Afrilia
Yeni Afrilia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Raden Mas Said

Suka kopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Buku Hukum Perkawinan Islam

12 Maret 2023   13:00 Diperbarui: 21 Maret 2023   18:38 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suami wajibkan memberi tempat tinggal bagi keluarganya. Namun sebagai seorang istri juga memiliki kewajiban untuk berbakti dengan suami dengan batasan yang telah di tentukan dalam Islam. Artinya jika suami memerintahkan istri untuk berbuat dosa, maka itu haram untuk dilakukan. Posisi dan kedudukan suami dan istri ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 menyatakan bahwa keduanya memiliki posisi yang sama dalam masyarakat serta dalam melakukan perbuatan hukum. 

Didalam perkawinan juga memiliki larangan yang menyebabkan pernikahan itu batal serta tidak sah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti menikahi mahram ta'bid yaitu mahram yang selamanya tidak boleh dinikahi yaitu dari garis nasab (keturunan), yaitu ibu kandung, atau hubungan darah dari garis ke atas yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu), anak kandung, atau hubungan darah lurus ke bawah, yaitu anak, cucu dan seterusnya, saudara, baik seibu maupun seayah, bibi, Saudara ayah dan ibu, baik saudara kandung ayah atau ibu seterusnya ke atas, keponakan, yaitu anak saudara sampai ke bawah.

Larangan perkawinan juga dapat disebabkan karena hubungan musaharah (perbesanan), yang meliputi mertua, nenek sampai ke atas, menantu, anak, cucu sampai ke bawah, ibu tiri, yakni bekas istri ayah mertua. Serta larangan dalam menikahi karena ada hubungan sesusuan. Namun ada juga beberapa larangan perkawinan yang diperselisihkan yaitu zina dan sumpah li'an. Hal ini karena bagi sebagian ulama berpendapat jika menikah dengan wanita yang berzina, maka wanita itu harus taubat nasuha terlebih dahulu. 

Ada pula larangan ghairu ta’bid, adalah orang-orang yang haram dinikahi untuk masa tertentu (selama masih ada hal-hal yang mengharamkannya) serta saat penhalang itu sudah tidak ada maka halal untuk dinikahi, seperti pertalian mahram karena saudara ipar, bibi atau paman ipar, dan seterusnya

Perkawinan harus dipersiapkan dengan mempertimbangkan aspek biologis seseorang, sehingga umur dalam perkawinan juga perlu untuk diuraikan dalam membahas perkawinan. Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Hanbali berpendapat jika ayah boleh menikahkan anaknya yang bekum baligh. Landasan normatif yang dilihat dari sisi sosiologis dan pandangan fuqaha dapat disimpulkan jika minimal usia orang untu menikah adalah 15 tahun, meskipun Rasulullah menikah dengan siti Aisyah ketika Siti Aisyah berumur 9 tahun. Pada masa itu terutama di madinah tergolong dewasa. 

Perkawinan dalam Islam memiliki beberapa problematika yang melahirkan berbagai macam perkawinan . Dan beberapa diantaranya ada yang dihukumi sebagai perkawinan yang sah namun ada pulang yang dihukumi sebagai perkawinan yang tidak sah Seperti poligami, nikah mut'ah, perkawinan sirri, perkawinan hamil, serta perkawinan beda agama. 

Poligami sebagai perkawinan yang memiliki istri lebih dari satu. Praktik poligami sendiri telah ada sejak masa pra Islam. Pada masa nabi Musa, poligami juga diperbolehkan. Beberapa bangsa Arab pra Islam juga telah mengenal poligami, bahkan sahabat nabi Muhammad pun banyak yang memiliki lebih dari empat istri. Namun kemudian ada syariat yang menegaskan jika poligami hanya dibatasi dalam empat orang istri saja, sehingga saat syariat itu turun, sahabat harus siap untuk menceraikan istri-istri yang lain dan hanya mempertahankan empat istri.

Didalam Islam poligami diperbolehkan dengan syarat bahwa suami mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Baik dalam hal finansial maupun secara psikologisnya. Dalam UU no 4 tahun 1974, poligami diperbolehkan di Indonesia dengan alasan: (1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya. (2) istri mendapatkan cacat atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat melakukan kewajibannya. (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan.  

Sedangkan syarat yang harus dipenuhi suami dalam melakukan poligami, yaitu harus dengan persetujuan istri, harus ada jaminan bahwa suami mampu menjamin keperluan istri serta anak-anaknya, dan suami menjamin bahwa dia akan berlaku adil dengan istri dan anak-anaknya. 

Ada pula nikah mut'ah atau biasa dikenal dengan sebutan kawin kontrak. Dalam pengertian kawin kontrak, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa kawin yang sifatnya sementara atau kawin yang mempelai laki-laki menentukan waktu dalam mengawini perempuan. Dalam kawin kontrak, ijab qabul boleh di wakilkan orang lain, saksi juga bukan merupakan syarat sahnya. Biasanya pernikahan ini tidaklah dicatatkan sehingga tidak perlu melakukan perceraian dan tanpa adanya kata talak. Sehingga secara otomatis ketika sampai pada waktu yang telah ditentukan nikah itu telah selesai. Namun suami boleh memisahkan diri dari istrinya sebelum jatuh tempo. Jika ada anak yang lahir dalam pernikahan ini, menjadi tanggung jawab sang ayah.

Para fuqaha berpendapat jika nikah mut’ah adalah tidak sah. Dengan dasar penggalan QS. An-Nisa : 25: “.. karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya…” artinya bahwa menikah itu harus dengan izin dari keluarganya yaitu dengan nikah yang sesuai syariat yang harus dengan izin dari wali dan disaksikan dua saksi. Namun syiah imamiyah masih memperbolehkannya. Karena menurut mereka tidak ada ayat Al-Qur’an yang melarang nikah mut’ah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun