Mohon tunggu...
Yeni Afrilia
Yeni Afrilia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Raden Mas Said

Suka kopi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Buku Hukum Perkawinan Islam

12 Maret 2023   13:00 Diperbarui: 21 Maret 2023   18:38 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul: HUKUM PERKAWINAN ISLAM 

Penulis: H. Mahmudin Bunyamin, Lc., M.A.& Agus Hermanto, M.H.I.

Penerbit: CV Pustaka Setia

Tahun terbit: 2017

Cetakan: pertama, Februari 2017

Buku karangan H. Mahmudin Bunyamin, Lc., M.A.Agus Hermanto, M.H.I. yang berjudul hukum perkawinan Islam mendeskripsikan dengan kompleks tentang hukum-hukum perkawinan serta jenis-jenis perkawinan dalam perspektif hukum Islam serta hukum positif yang berlaku di Indonesia. Didalamnya juga menjelaskan mengenai dasar-dasar hukumnya yang dipakai ulama dalam menguatkan pendapat yang mereka ungkapkan, sehingga didapatkan ijtihad yang sesuai dengan ajaran dalan Islam serta tidak bertentangan dengan kondisi masyarakat di Indonesia. 

Dalam memudahkan pembaca memahami buku ini, penulis membagi dengan 10 bab yang mencakup hukum perkawinan Islam, syarat, rukun, larangan, macam-macam perkawinan bahkan perceraian dan talak sebagai pemutus perkawinan dalam agama Islam. 

Pada bab 1 dijelaskan jika di dalam Islam, perkawinan dianggap sebagai ibadah seumur hidup yang berakibat di halalkan hal-hal yang sebelumnya di haramkan seperti bersetubuh serta menyentuh yang bukan mahramnya. Dalam pengaplikasiannya perlu memenuhi beberapa syarat serta rukun yang telah ditentukan. Meliputi akad, mempelai pria, wanita, wali mempelai wanita, saksi, mahar atau mas kawin. 

Meskipun syarat dan rukun perkawinan telah terpenuhi namun dalam beberapa sebab, perkawinan dapat di anggap wajib, Sunnah, dll tergantung keadaan dari kedua calon pengantin. Yang menyebabkan wajibnya suatu perkawinan yaitu adanya kesiapan untuk melakukan perkawinan, maksudnya siap dalam finansial serta biologisnya serta jika tidak menikah, dia takut terjerumus dalam perzinahan.  

Sebagai sebuah ibadah, perkawinan memiliki tujuan yang bermaslahat bagi individu atau pasangan. Secara personal perkawinan memiliki tujuan untuk menyalurkan kebutuhan biologis sebagai seorang manusia serta sebagai jembatan untuk meneruskan keturunannya. Ada pula aspek sosialnya seperti menjadi pondasi bagi masyarakat yang baik, karena dalam keharmonisan rumah tangga akan mengantarkan pasangan dalam ketenangan dan kekuatan dalam berumah tangga. Begitupun secara moral, perkawinan memiliki tujuan untuk membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lainnya, yang pada manusia memiliki aturan-aturan dalam agama yang harus ditaati. 

Sebagai suami dan istri yang terikat dengan perjanjian yang sakral, hak dan kewajiban antara keduanya juga di atur dalam syariat maupun Kompilasi Hukum Islam atau yang biasa disingkat dengan KHI. Sebagai seorang Suami sebagai kepala keluarga memiliki kewajiban untuk melindungi keluarganya serta memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, baik itu kebutuhan istri, anak, maupun kebutuhan dalam rumah tangga yang lain. 

Suami wajibkan memberi tempat tinggal bagi keluarganya. Namun sebagai seorang istri juga memiliki kewajiban untuk berbakti dengan suami dengan batasan yang telah di tentukan dalam Islam. Artinya jika suami memerintahkan istri untuk berbuat dosa, maka itu haram untuk dilakukan. Posisi dan kedudukan suami dan istri ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 menyatakan bahwa keduanya memiliki posisi yang sama dalam masyarakat serta dalam melakukan perbuatan hukum. 

Didalam perkawinan juga memiliki larangan yang menyebabkan pernikahan itu batal serta tidak sah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti menikahi mahram ta'bid yaitu mahram yang selamanya tidak boleh dinikahi yaitu dari garis nasab (keturunan), yaitu ibu kandung, atau hubungan darah dari garis ke atas yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu), anak kandung, atau hubungan darah lurus ke bawah, yaitu anak, cucu dan seterusnya, saudara, baik seibu maupun seayah, bibi, Saudara ayah dan ibu, baik saudara kandung ayah atau ibu seterusnya ke atas, keponakan, yaitu anak saudara sampai ke bawah.

Larangan perkawinan juga dapat disebabkan karena hubungan musaharah (perbesanan), yang meliputi mertua, nenek sampai ke atas, menantu, anak, cucu sampai ke bawah, ibu tiri, yakni bekas istri ayah mertua. Serta larangan dalam menikahi karena ada hubungan sesusuan. Namun ada juga beberapa larangan perkawinan yang diperselisihkan yaitu zina dan sumpah li'an. Hal ini karena bagi sebagian ulama berpendapat jika menikah dengan wanita yang berzina, maka wanita itu harus taubat nasuha terlebih dahulu. 

Ada pula larangan ghairu ta’bid, adalah orang-orang yang haram dinikahi untuk masa tertentu (selama masih ada hal-hal yang mengharamkannya) serta saat penhalang itu sudah tidak ada maka halal untuk dinikahi, seperti pertalian mahram karena saudara ipar, bibi atau paman ipar, dan seterusnya

Perkawinan harus dipersiapkan dengan mempertimbangkan aspek biologis seseorang, sehingga umur dalam perkawinan juga perlu untuk diuraikan dalam membahas perkawinan. Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Hanbali berpendapat jika ayah boleh menikahkan anaknya yang bekum baligh. Landasan normatif yang dilihat dari sisi sosiologis dan pandangan fuqaha dapat disimpulkan jika minimal usia orang untu menikah adalah 15 tahun, meskipun Rasulullah menikah dengan siti Aisyah ketika Siti Aisyah berumur 9 tahun. Pada masa itu terutama di madinah tergolong dewasa. 

Perkawinan dalam Islam memiliki beberapa problematika yang melahirkan berbagai macam perkawinan . Dan beberapa diantaranya ada yang dihukumi sebagai perkawinan yang sah namun ada pulang yang dihukumi sebagai perkawinan yang tidak sah Seperti poligami, nikah mut'ah, perkawinan sirri, perkawinan hamil, serta perkawinan beda agama. 

Poligami sebagai perkawinan yang memiliki istri lebih dari satu. Praktik poligami sendiri telah ada sejak masa pra Islam. Pada masa nabi Musa, poligami juga diperbolehkan. Beberapa bangsa Arab pra Islam juga telah mengenal poligami, bahkan sahabat nabi Muhammad pun banyak yang memiliki lebih dari empat istri. Namun kemudian ada syariat yang menegaskan jika poligami hanya dibatasi dalam empat orang istri saja, sehingga saat syariat itu turun, sahabat harus siap untuk menceraikan istri-istri yang lain dan hanya mempertahankan empat istri.

Didalam Islam poligami diperbolehkan dengan syarat bahwa suami mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Baik dalam hal finansial maupun secara psikologisnya. Dalam UU no 4 tahun 1974, poligami diperbolehkan di Indonesia dengan alasan: (1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya. (2) istri mendapatkan cacat atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat melakukan kewajibannya. (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan.  

Sedangkan syarat yang harus dipenuhi suami dalam melakukan poligami, yaitu harus dengan persetujuan istri, harus ada jaminan bahwa suami mampu menjamin keperluan istri serta anak-anaknya, dan suami menjamin bahwa dia akan berlaku adil dengan istri dan anak-anaknya. 

Ada pula nikah mut'ah atau biasa dikenal dengan sebutan kawin kontrak. Dalam pengertian kawin kontrak, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa kawin yang sifatnya sementara atau kawin yang mempelai laki-laki menentukan waktu dalam mengawini perempuan. Dalam kawin kontrak, ijab qabul boleh di wakilkan orang lain, saksi juga bukan merupakan syarat sahnya. Biasanya pernikahan ini tidaklah dicatatkan sehingga tidak perlu melakukan perceraian dan tanpa adanya kata talak. Sehingga secara otomatis ketika sampai pada waktu yang telah ditentukan nikah itu telah selesai. Namun suami boleh memisahkan diri dari istrinya sebelum jatuh tempo. Jika ada anak yang lahir dalam pernikahan ini, menjadi tanggung jawab sang ayah.

Para fuqaha berpendapat jika nikah mut’ah adalah tidak sah. Dengan dasar penggalan QS. An-Nisa : 25: “.. karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya…” artinya bahwa menikah itu harus dengan izin dari keluarganya yaitu dengan nikah yang sesuai syariat yang harus dengan izin dari wali dan disaksikan dua saksi. Namun syiah imamiyah masih memperbolehkannya. Karena menurut mereka tidak ada ayat Al-Qur’an yang melarang nikah mut’ah. 

Adanya nikah mut’ah pada awal Islam merupakan jalan untuk kondisi yang mendesak. Sebagaimana yang terjadi ketika peperangan dalam keadaan yang membujang atau jauh dari istri. Pelarangan pada masa itu masih sulit, karena dekat dengan masa jahiliyah. Setelah kaum menaklukan Mekah dan mendirikan daulah kekuasaan yang dipimpin Rasululah, akhirnya Rasulullah mengharamkan nikah mut’ah. 

Walaupun fuqaha sepakat bahwa kawin kontrak adalah perkawinan yang dilarang, berbeda dengan pendapat kaum Syi'ah yang menghalalkan praktik kawin kontrak. Dengan syarat bahwa ucapan akadnya dengan lafadz zawwajtuka, ankahtuka, atau matta’tuka, calon istri boleh muslimah atau kitabiyah (pengikut agama nabi sebelum Rasulullah), namun diutamakan muslimah, harus dengan mahar dan disebutkan, batas waltunya jelas, serta batas waktu ditentukan oleh persetujuan kedua pihak. Sehingga kawin kontrak banyak terjadi di negara Iran dan Irak yang menganut Syiah. 

Yang ketiga, ada perkawinan sirri. Yang dalam pengertiannya memiliki dua pemahaman yaitu, Nikah sirri, artinya perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan tanpa pemberitauan dan restu kepada kedua orang tuanya. Ada juga yang menyebutnya dengan nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang akad nikahnya sah secaat agama namun tidak dicatatkan sehingga bersifat ilegal. 

Pada pengertian di atas, dalam UU no 1 tahun 1974 pernikahan di bawah tangan dianggap belum terjadi dan dapat dibatalkan. Namun beda lagi jika perkawinan itu dilakukan dengan rukun dan syarat yang benar, sehingga dapat langsung dilaporkan ke pegawai pencatat nikah untuk dibuatkan akad nikahnya. 

Perkawinan siri berdampak buruk bagi setiap pasangan. Karena perkawinan ini tidak dicatatkan sehingga pasangan tidak memiliki perlindungan hukum atas pernikahannya. Begitu juga dalam pandangan sosial biasanya pasangan ini dianggap buruk oleh masyarakat, karena dianggap sebagai seorang istri simpanan.  

Kawin siri atau kawin yang dilakukan secara sembunyi bagi madzhab Maliki, syafi’i dan Hanafi tidak memperbolehkan, yang didasarkan pada hadits yang artinya “umumkan nikah ini dan laksanakan di masjid, serta ramaikan dengan menabuh gendang.” (HR. Tirmidzi dan Aisyah), namun jika syarat dan rukunnya terpenuhi perkawinan tetap dianggap sah secara agama. 

Beberapa faktor yang melatarbelakangi adanya kawin siri. Biasanya karena suami itu melakukan poligami, UU usia yang menyebabkan nekad untuk melakukan perkawinan tanpa pencatatan, empat tinggal yang tidak menetap. Hal ini biasa terjadi karena terikat dengan pekerjaan, dan istrinya tidak bisa selalu mengikuti dirinya. Atau bahkan karena merasa bahwa harta calon mempelai kurang, sehingga dia malu kepada jika maharnya terlalu sedikit. 

Dalam pasal 2 uu no 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah selama memenuhi rukun dan syarat dalam agamanya dan tiap perkawinan harus di catatkan menurut UU yang berlaku. Menurut Madzhab Maliki, syafi’I dan Hanafi tidak memperbolehkan nikah siri yang didasarkan pada hadits yang artinya “umumkan nikah ini dan laksanakan di masjid, serta ramaikan dengan menabuh gendang.” (HR. Tirmidzi dan Aisyah) Namun jika syarat dan rukunnya terpenuhi perkawinan tetaplah sah.

Macam perkawinan ke empat, yaitu kawin hamil yang artinya bahwa perkawinan itu dilakukan saat mempelai wanita mengandung. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat mengenai hukum dari nikah hamil. Imam Syafi'i memperbolehkan menikah dengan laki-laki yang menghamili dan yang bukan. Namun untuk menyetubuhinya makruh saat perempuan sampai dia melahirkan. Namun jika dengan suaminya sendiri (dalam arti istri zina dengan laki-laki lain) maka boleh langsung menyetubuhi. Namun imam Hambali dan Maliki menyatakan jika wanita yang berzina harus menunggu masa Iddah untuk menikah atau bersetubuh dengan suaminya.

Sedangkan menurut KHI Bab VIII pasal 5 ayat (1), (2), (3) menyatakan: (1) jika wanita yang hamil diluar nikah harus dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya (2) perkawinan dapat dilakukan tanpa harus menunggu wanita itu melahirkan (3) perkawinan tidak perlu diulangi lagi setelah wanita melahirkan.

Kelima ada kawin beda agama. Dalam kawin beda gama, ulama berbeda pendapat dalam hukumnya. Pertama, Ulama sepakat jika menikahi wanita musyrik (kafir manusia, komunisme zindiq, penyembah api, dll) haram hukumnya. 

Kedua, menikah dengan wanita ahli kitab atau Yahudi dan Nasrani. Menurut Ibnu Umar menikahi wanita ahli kitab adalah haram. Namun beberapa sahabat dan tabiin menghalalkan pernikahan dengan ahli kitab, seperti mujadid, Hasan, Dhahak dll. Namun Umar bin Khattab mengharamkan pernikahan ini, karena ditakutkan akan merendahkan wanita muslim.

Mengenai perkawinan beda agama, MUI menegaskan jika hukumnya haram. Sedangkan menikah dengan ahli kitab, jika dipertimbangkan maka sisi mudaratnya lebih besar sehingga dihukumi haram. Fatwa NU juga menyatakan jika menikah beda agama hukumnya tidak sah (haram). 

Perkawinan beda agama berdampak bagi akidah seseorang, karena pasangannya yang tidak memiliki tauhid yang sama, sehingga tidak mampu untuk saling mengingatkan serta aken menghilangkan kebahagiaan bagi kedua pasangan. Bahkan karena perkawinan beda agama hukumnya haram, maka perkawinan itu dianggap tidak sah dan jika melakukan bersetubuh akan dihukumi dengn zina yang mengakibatkan hilangnya hak waris, nafkan dan perwalian. 

Yang terakhir yaitu hadanah atau biasa dikenal dengan mengasuh anak. Menurut fuqaha hadanah berarti memelihara anak dari segala bahaya yang mungkin menimpanya dengan dengan menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, mengusahakan pendidikannya sampai si anak dapat berdiri sendiri menghadapi kehidupan.  

Bagi seseorang yang hendak melakukan hadanah, harus memenuhi beberapa syarat, seperti baligh dan berakal, merdeka, Islam, terpercaya atau berbudi luhur, orang yang mengasuh hendaknya orang yang dalam kondisi aman, mampu mendidik, orang yang mengasuh tidak berpenyakit, dan menetap (tidak mufassir). Syarat ini juga bertujuan untuk menjamin pihak anak dan orang yang mengasuhnya tidak ada yang merasa terbebani.

Dalam mengasuh anak, orang tua harus mampu menanamkan sikap yang baik kepada anak dan sekitarnya, karen anak akan mengikuti dengan orang tuanya. Untuk menambah kasih sayang dengan anaknya, orang tua diperbolehkan untuk memanggilnya dengan nama kesayangan. Serta wajib bagi orang tua untuk mengajari anaknya tentang agama dan adab kepada sesama manusia, agar menajdi manusia yang bermanfaat. 

Orang yang mengasuh anak disyaratkan mempunyai kafa'ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan anak dan mampu melaksanakan tugas-tugas sebagai pengasuh anak. Adanya kemampuan dan kafa'ah mencakup beberapa syarat tertentu. Apabila syarat-syarat tersebut tidak ada, gugurlah hak- haknya untuk mengasuh anak. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut, musafir (tidak menetap), memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan, fasiq (tidak dapat dipercaya), kafir (bukan Islam), belum dewasa (belum balig), gila, tidak mampu mendidik anak serta budak (tidak merdeka).

Dalam KHI, hadanah diartikan dengan pemeliharaan anak. Pemeliharaan anak atau hadanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Sehingga jika orang tua angkatnya telah bercerai, merek tetap memiliki kewajiban untuk mengasuh anaknya sebagaimana mereka mengasuh anak tersebut sebelum terjadi perceraian.

Pada bab terakhir menjelaskan tentang perceraian atau talak. Perceraian merupakan istilah untuk melepaskan hubungan perkawinan. Dalam KHI talak adalah ikrar suami di hadapan sidang PA karena suatu sebab tertentu. Perceraian diawali dengan adanya talak, yang berasal dari kata ithlaq yang artinya melepaskan atau Irsal artinya memutuskan atau firaqun artinya perpisahan. 

Dalam talak memiliki beberapa syarat, yaitu adanya mempepali wanita dan pria serta ada lafadz talak. Tak sendiri dibagi menjadi dua, yaitu talak raj’I dan talaka ba’in. Talak raj'i, yaitu talak ketika suami masih mempunyai hak untuk merujuk atau talak yang masih memungkinkan bagi suami untuk kembali pada istrinya tanpa akad yang baru. 

Sedangkan talak ba’in, yaitu talak yang tidak memungkinkan suaminya untuk rujuk kembali pada istrinya kecuali dengan akad yang baru. Talak Ba'in sendiri dibagi menjadi dua, yaitu pertama, (kecil) sebagai talak satu atau dua yang dijatuhkan pada istri yang belum pernah di gauli. Dan kedua, talak ba'in kubra adalah talak yang telah dijatuhkan sebanyak tiga kali. Sehingga suami tidak boleh rujuk dengan istri, kecuali sang istri telah menikah lagi dengan orang lain dan habis masa Iddahnya.

Dari segi lafadz talak, dibagi menjadi dua, yaitu : pertama, talak sharih, yaitu talak yang diucapkan dengan jelas atau dengan kata-kata tersurat dan tidak dapat diartikan dengan yang lain. Contoh: "aku talak engkau atau aku ceraikan engkau." Talak ini dapat diartikan secara langsung tanpa dengan menfasirkannya lagi, karena kata-kata yang diucapkan secara langsung telah meminta istrinya untuk cerai. Dan kedua, talak kinayah, yaitu talak yang diucapkan dengan tidak jelas atau sindiran. Misalnya "pulanglah kamu." Talak ini memang butuh dengan penafsiran terlebih dahulu, namun dapat ditelusuri apakah suami secara sadan dan sengaja mengucapkan talak tersebut atau tidak. 

Meskipun prceraian merupakan hal yang dihalalkan, namun Allah SWT membencinya. Dalam beberapa hal talak dapat dihukumi berbeda-beda. Tergantung sisi maslahah yang didapatkan dari tak itu. Talak dapat dihukumi wajib jika antara kedua pasangan terjadi perselisihan dan tidak ada jalan keluar yang terbaik selain cerai. Makruh jika talak yang di jatuhkan tanpa adanya tuntutan atau kebutuhan. Mubah, jika talak yang dilakukan karena kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak istri sehingga menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.Sunnah jika talak yang dijatuhkan karena istri mengabaikan hak-hak Allah SWT yang telah diwajibkan (ibadah). Dan yang terakhir dihukumi Mahzhur (terlarang), jika talak yang dilakukan ketika istri sedang haid. Ada juga yang menyebutnya talak bid'ah karena menyalahi Sunnah Rasulullah Saw. Namun mengenai hal ini memiliki perbedaan pendapat antar ulama.

Dalam sebuah perceraian, seorang wanita memiliki masa iddah yaitu masa bagi perempuan untuk menunggu dan mencegah untuk menikah setelah berpisah dengan suaminya. Iddah dibagi menjadi dua, yaitu karena talak cerai dan karena iddah mati. 

Pertama, cerai hidup. Hal ini jika istri belum digauli namun sudah ditalak maka perempuan tersebut tidak dikenai masa Iddah. Sedangkan talak yang dijatuhkan ketika istri hamil maka waktu Iddahnya sampai dia melahirkan. sedangkan bagi istri yang sudah di gauli kemudian digauli maka masa Iddah nya tiga kali quru' (3 kali suci). Kedua cerai mati, lama masa iddah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari.

Adanya masa iddah bagi seorang wanita memiliki sisi maslahah yaitu, untuk menjamin bersihnya rahim sehingga tidak akan tercampur dengan keturunan yang lain, sebagai kesempatan bagi pasangan yang telah bercerai untuk rujuk kembali, dan guna yang paling utama adalah utnuk menjujung tinggi masalah perkawinan, artinya mengumpulkan orang-orang arif untuk mengkaji masalahnya dan memberikan tempo yang panjang.

Terlepas dari isi dari pembahasan yang kompleks dan rinci pemaparan pada buku ini, sususan kata yang digunakan ringan sehingga mudah untuk dipahami waluapun oleh orang yang awam. Namun, dalam bab hadanah yang menurut saya bukan termasuk dalam perkawinan mungkin cenderung lebih sejalan dengan buku yang membahas tentang hubungan hak asuh anak. Walaupun, terdapat bebrapa bagian hadanah yang berhubungan dengan masalah perceraian yang dibahas di buku ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun