Ibu hanya tersenyum kecil. Sebenarnya, ibu dan ayahmu pernah saling berucap, “Pertiwi akan menjadi guru seturut kemauan ayah, atau menjadi pejuang devisa seperti yang ibu mau!”
Raut muka Pertiwi memerah. “Jadi, ibu dan ayah menganggapku undian?!”
Ibu malah tersenyum. “Tidak anakku. Pertiwi tetaplah Pertiwi. Tidak ada yang bisa memaksamu kelak kamu akan menjadi siapa. Kamulah yang menentukan ke mana arah angin akan melaju dan mendorong kapal impianmu berlabuh.”
Pertiwi belum sepenuhnya memercayai apa yang dikatakan ibunya. Pertiwi masih ingat betul detail mimik dan lekuk wajah ibunya saat memaksanya pergi ke sebuah yayasan penyalur tenaga kerja. Memang, ibu membujuk dengan lembut. Tetapi tetap saja, ibu tak suka bila aku melawannya.
Tangan ibu menepuk pundakku. “Memberimu pilihan untuk menjadi TKW di Arab adalah pertaruhan besar buat ibu.”
Wajah Pertiwi tampak mencari tahu maksud kalimat tersembunyi yang disampaikan ibunya. “Maksud ibu?”
Ibu melanjutkan lagi, “Katanya sarjana, tapi masih kalah pintar dengan anak sekolah dasar.” Ibu terkekeh sambil menggoda Pertiwi agar tersenyum.
“Agh ibu. Yang kayak-kayak begini, tidak dipelajari di bangku kuliah!” Jawab Pertiwi sekenanya.
Ibu mengangguk. “Bacalah berita-berita tenaga kerja kita yang dilecehkan dan dihina di negeri orang. Atau puluhan tenaga kerja yang kembali ke tanah air hanya tinggal namanya saja!” Ibu terdiam sejenak.
“Apa hubungannya dengan Pertiwi?”
“Memangnya kau tidak khawatirkan mereka?” Tanya Ibu pada Pertiwi.