Di hadapan ibu, seperti sekarang ini adalah sebuah kesalahan. Tatapan ibu yang lembut, justru membuat Tiwi tak tega menyakitinya. Harapan-harapan ibu yang dituturkan dengan keikhlasan, adalah tombak tajam yang menyayat kedaulatan Tiwi sebagai anak. Tiwi masih berdiam. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah meremas-remas jemarinya, kemudian menghilangkan kotoran yang menempel di sela-sela kuku tangannya. Sedang matanya, sesekali mendongak ke arah ibu. Namun, hanya sedetik. Selebihnya, Tiwi melabuhkan pandangan matanya ke lantai, sepenuhnya, selama mungkin.
**
Waktu sudah terbuang percuma. Tiwi belum menemukan kata-kata penutup yang pas. Hingga pada suatu waktu, tangan ibu menyentuh pundaknya. Dengan lembut, tangan Ibu meraih dagu, dan menempatkan wajah Tiwi menjadi benar-benar sejajar dengan wajahnya. Ibu dan anak saling bertatap.
Nun kecil dan sempit di dalam hatinya, Ibu menyimpan kebanggaan yang tak terhingga melihat anak perempuannya tumbuh dewasa. Tak terhitung lagi berapa kebahagiaan yang diberikan Tiwi kepada ibunya. Dan, kini kamu mencurahkan seluruh kebahagiaanmu untuk ibu. Tiwi. Tiwi. Maafkan ibu, Nak.
“Ibu. Mengapa ibu menangis? Ada yang salah dari ucapan Tiwi?” tanya Tiwi merasa bersalah.
“Tidak, anakku. Ibumu yang bodoh ini tak seharusnya mengekang kebebasanmu, Pertiwi. Ribuan hari telah ibu lewati bersamamu, ratusan bulan telah ibu curahkan kasih sayang padamu. Dan, tak satupun darimu, akan ibu minta lagi.”
“Maksud ibu…?”
“Kebahagiaan terbesar seorang ibu, juga ayahmu, adalah melihat keberhasilanmu. Tak lebih, tak kurang.” Ibu menatap mata Tiwi dengan lembut. “Lihatlah. Tengoklah hari-hari sepi yang didekap ayahmu, selepas masa pensiunnya. Ayahmu telah kenyang oleh asam garam kehidupan. Celoteh anak-anak sekolah dasar tak lagi didengarnya. Dan tahukah kamu, apa yang sering ayah katakan tentangmu?”
Pertiwi menggeleng. “Biarkan Pertiwi menentukan masa depannya sendiri. Jangan paksa Pertiwi mengikuti keisengan liarmu, hanya agar kamu terlihat sejajar dengan tetangga-tetanggamu.”
Mata Pertiwi berkaca-kaca. Ia tak menyangka, ayahnya yang sangat pendiam, justru menjadi pembelaku yang paling mulia. Tapi, kenapa ayah tak pernah menunjukkannya langsung di depanku.
“Tapi mengapa ayah pernah memaksaku untuk menjadi guru, ibu?” tanyaku sedikit memberontak.