Sekarang saatnya Tiwi mengikuti kata-kata Ayahnya. Berhadapan dengan ibu, Tiwi merasa selalu kalah. Setidak-tidaknya, perdebatan semalam. Ibu tetap pada pendiriannya, meminta Tiwi pergi ke Arab Saudi. Menurut ibu, menjadi TKW adalah pilihan terbaik untuk memperbaiki nasib. Tak ada pilihan lain, kecuali kembali menegosiasikan kehendak hati Tiwi dengan kehendak ibunya.
Tiwi menghadap.
“Ibu. Tiwi ingin bicara.” Nada suara Tiwi datar, setengah memohon.
“Bicaralah, nak.” Ibu juga bicara datar.
“Bu. Tiwi tahu, Ibu menyayangi Tiwi lebih dari siapapun. Ibu tentu tidak ingin kehilangan Tiwi, dan tidak ingin melihat Tiwi celaka atau sakit tanpa perawatan. Tiwi ingin sekali menuruti keinginan ibu untuk pergi ke Arab. Setidaknya, sepulang dari Arab nanti rumah kita bisa kembali kokoh berdiri. Ibu akan selalu bisa mengganti korden-korden jendela. Ibu juga bisa duduk di kursi goyang di lantai dua, sambil menikmati sepoi angin dari sungai dan sawah yang menghampar. Pada saatnya nanti, ibu juga tidak perlu malu lagi pergi ke pasar, pergi kondangan, atau melayat ke pemakaman tetangga,” Tiwi berhenti sesaat, sambil mengatur napas.
Tiwi melanjutkan, ”Sepulang dari Arab nanti, Tiwi akan mengalungi ibu dengan kalung emas yang berkilauan. Saat berjalan, kaki-kaki ibu akan riuh oleh gemerincing oleh gelang-gelang emas yang bertabur berlian. Ibu juga akan mengenakan kerudung putih seputih kapas. Jari-jemari ibu akan penuh dengan cincin-cincin bertuah, sehingga ibu menjadi percaya diri saat bersalaman dengan orang-orang kampung, termasuk dengan para pejabat kelurahan. Tapi…”
Kesunyian tak lagi menyengat. Anak-anak di surau juga sudah lama berhenti berkumandang. Hanya degup jantung Tiwi yang semakin lama jauh lebih keras berdetak. Meski setangkai dua tangkai kata sudah dironce dengan hati-hati. Tapi, Tiwi tetap tak kuasa menyesak. Tiba-tiba kerongkongannya tercekat. Sebenarnya, Tiwi tinggal menyelesaikan kalimat kesimpulan dari seluruh presentasi dan pemaparannya yang deskriptif tadi. Tetapi, lagi-lagi Tiwi harus menghitung langkah. Seandainya ibu marah, itu berarti kiamat bagi Tiwi. Demikian sebaliknya, apabila ibunya bisa menerima alasan-alasannya, itupun berarti neraka bagi Tiwi.
“Katakanlah, Nak. Adakah sesuatu yang mengganggu tidurmu? Apakah kesarjanaanmu menjadi penyebab semua masalah ini? Katakan saja, Tiwi. Ibu mendengarkan.”
Tiwi menggeser letak duduknya. Lalu menata rambut dengan mengikatnya menjadi satu ikatan di belakang. Sekarang tampak jelas. Tiwi menyimpan sebuah keresahan. Padahal, maksud kedatangannya pulang setelah wisuda itu semata karena ingin menebus hari-harinya yang hilang bersama ibu. Tetapi begini akhirnya. Tiba-tiba ibu menebas habis semua impian Tiwi. Serta merta ibu membakar hangus semua tekad dan semangat Tiwi yang membaja. Dan itu semua berubah dengan tiba-tiba.
Ibu tidak berubah, tetap santun, hangat, dan penuh kerahiman. Yang berbeda hanyalah sudut pandangnya. Ibu tidak menyesal telah menyekolahkan Tiwi hingga sarjana. Buktinya, ibu menangis haru saat nama Tiwi disebut sebagai wisudawan berprestasi, persis pada saat penobatan Tiwi menyandang gelar sarjana sastra bahasa Indonesia.
Ada apa dengan ibu. Kenapa ayah juga tidak bicara, pada saat Tiwi membutuhkannya. Sudah saatnya, ayah tak membeo keinginan ibu. “Bicaralah dengan hatimu, Ayah!” Batin Tiwi meneriakkan pertolongan.