Mohon tunggu...
Yazid Saevwa Rabbany
Yazid Saevwa Rabbany Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan dengan Non Muslim Perspektif Islam

29 April 2023   07:22 Diperbarui: 30 April 2023   22:01 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernikahan dengan pasangan non-Muslim di zaman sekarang seringkali memunculkan tantangan dan dilema tersendiri bagi pasangan yang berbeda keyakinan. Meskipun pada dasarnya setiap orang berhak memilih pasangan hidupnya, perbedaan agama dan kepercayaan seringkali menjadi hambatan bagi pasangan yang ingin menikah.

Di era globalisasi seperti sekarang, interaksi antara berbagai budaya dan agama semakin terbuka. Hal ini memungkinkan orang untuk bertemu dengan pasangan yang berasal dari latar belakang yang berbeda, termasuk yang memiliki keyakinan yang berbeda. Namun, di sisi lain, budaya dan agama juga dapat menjadi penyebab perbedaan yang tidak dapat diatasi dalam hubungan pernikahan.

Pada kenyataannya, pernikahan lintas agama di era sekarang masih memunculkan sejumlah masalah, termasuk ketidakcocokan dalam keyakinan, adat istiadat, dan pandangan hidup. Namun, banyak pasangan yang mampu membangun hubungan yang harmonis dengan menghargai perbedaan dan membangun komunikasi yang baik. Melihat fenomena ini penulis akan sedikit membahas terkait hukum pernikahan dengan non muslim.

Pengertian pernikahan dengan non muslim

Asal muasal istilah "nikah" berasal dari bahasa Arab ("nakaha- yankihu - nikahan" yang artinya berkumpul atau menghimpun .), yang dalam istilah fiqh dapat digunakan sebagai kata "nikah" atau "zawaj". Di Indonesia, istilah yang digunakan adalah "perkawinan". "Nikah" berarti mengumpulkan atau menghimpun. Salah satu tujuan dari pernikahan adalah untuk memuaskan naluri seksual suami istri di dalam rumah tangga serta sebagai sarana untuk memperoleh keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di bumi. Keberadaan pernikahan sejalan dengan kelahiran manusia di bumi dan merupakan bagian dari fitrah manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya.

Pernikahan beda agama adalah pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda. Namun mereka tetap memeluk agama masing-masing. (Cahya, N., 2018). Nikah beda agama adalah pernikahan yang dilakukan antara dua orang yang berasal dari agama yang berbeda, misalnya antara seorang muslim dengan seorang non-muslim. Pernikahan ini membutuhkan persyaratan dan aturan yang berbeda-beda tergantung pada masing-masing agama yang diikuti oleh pasangan yang menikah.

Dalam Islam, pernikahan beda agama memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, seperti persetujuan dari orangtua dan wali, serta ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban pasangan dalam pernikahan tersebut. Pernikahan beda agama juga mengandung risiko dan tantangan tersendiri dalam menjaga keharmonisan rumah tangga dan memperkuat hubungan antar pasangan.

Urgensi Pembahasan Pernikahan dengan non muslim

Pembahasan pernikahan dengan non-Muslim menjadi penting karena pernikahan adalah salah satu peristiwa penting dalam hidup seseorang yang berdampak pada kehidupan jangka panjang. Pernikahan dengan non-Muslim dapat membawa dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, agama, dan budaya seseorang.

Beberapa alasan mengapa penting untuk membahas pernikahan dengan non-Muslim antara lain:

  • Dampak pada Agama: Pernikahan dengan non-Muslim dapat membawa dampak pada keyakinan agama seseorang. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip agama tertentu dan memandang pernikahan sebagai bagian dari praktik keagamaan mereka. Oleh karena itu, penting untuk membahas pernikahan dengan non-Muslim untuk memastikan bahwa keyakinan agama seseorang tidak terganggu dan tetap terjaga.
  • Dampak pada Kehidupan Sosial: Pernikahan dengan non-Muslim dapat membawa dampak pada kehidupan sosial seseorang. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang tinggal di lingkungan yang konservatif dan tradisional. Pernikahan dengan non-Muslim dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap seseorang dan membawa konsekuensi sosial tertentu, seperti pengucilan atau diskriminasi.
  • Dampak pada Kehidupan Budaya: Pernikahan dengan non-Muslim juga dapat membawa dampak pada kehidupan budaya seseorang. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang memegang teguh nilai-nilai budaya tertentu dan memandang pernikahan sebagai bagian dari tradisi dan budaya mereka. Oleh karena itu, penting untuk membahas pernikahan dengan non-Muslim untuk memastikan bahwa nilai-nilai budaya seseorang tidak terganggu dan tetap terjaga.
  • Hukum: Di beberapa negara, pernikahan dengan non-Muslim dapat melibatkan masalah hukum yang kompleks. Ada aturan-aturan yang harus dipatuhi dalam pernikahan dengan non-Muslim, seperti ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan pernikahan beda agama atau hukum tentang pernikahan campur. Oleh karena itu, penting untuk membahas pernikahan dengan non-Muslim untuk memastikan bahwa seseorang memahami dan mematuhi aturan-aturan tersebut.

Dengan demikian, penting untuk membahas pernikahan dengan non-Muslim untuk memastikan bahwa pernikahan berlangsung dengan baik dan tidak membawa dampak yang merugikan pada kehidupan seseorang baik dari segi agama, sosial, budaya maupun hukum.

Istinbath Hukum Pernikahan dengan non muslim

Pernikahan beda agama menjadi topik yang cukup kompleks dalam hukum Islam karena tidak ada satu pendapat yang mutlak tentang hal ini. Namun, ada beberapa pendapat yang dianut oleh ulama dan mazhab-mazhab dalam Islam, disini penulis akan menganalisis pernikahan beda agama istinbath hukum menurut Al-Qur'an dan 4 madzhab terkait pernikahan beda agama:

1. Al-Quran

Al-Baqarah ayat 221

Al-Qur'an tidak secara tegas melarang pernikahan beda agama. Namun, Al-Qur'an memberikan petunjuk agar seorang muslim memilih pasangan hidup yang seiman dengannya. Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 221:

"Dan janganlah kamu kawinkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'minah) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia, agar mereka mengambil pelajaran."

Ayat QS. Al-Baqarah (2): 221 menyatakan bahwa ulama telah mencapai kesepakatan bahwa pernikahan antara seorang laki-laki muslim dan perempuan musyrikah, serta seorang laki-laki musyrik dan muslimah dilarang secara tegas. Ayat tersebut menanggapi praktik pernikahan antara orang-orang musyrik yang menyembah berhala atau yang secara umum menikahi orang-orang Muslim. Al-Umm juga mencantumkan ayat ini dan menegaskan bahwa pernikahan semacam itu dianggap haram. Oleh karena itu, keharaman pernikahan antara orang musyrik dan Muslim sudah menjadi kesepakatan yang didasarkan pada al-Qur'an dan sunnah.

Al-Maidah ayat 5

"Artinya: "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (binatang-binatang yang disembelih) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. Demikian juga (diizinkan) perempuan-perempuan yang soleh dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu apabila kamu telah memberikan maskawin mereka (dalam pernikahanmu), dengan maksud hendak menikahinya, bukan dengan maksud berzina atau menjadikannya gundik. Barangsiapa yang menolak iman, maka sia-sialah amalannya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."

Ayat ini menyatakan bahwa pernikahan dengan perempuan-perempuan yang soleh dari orang-orang yang diberi kitab (yaitu agama samawi lainnya seperti Yahudi dan Nasrani) diperbolehkan dalam Islam. Namun, pernikahan ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:

  • Perempuan yang dinikahi haruslah soleh, artinya taat pada agama dan memenuhi syarat-syarat sebagai seorang istri yang baik.
  •  dilakukan dengan maksud untuk menikahi dan membentuk keluarga yang sah, bukan dengan maksud untuk berzina atau menjadikannya gundik.
  •  Muslim yang menikahi perempuan dari agama samawi lainnya harus membayar maskawin kepada calon istri.

Pernikahan beda agama merupakan persoalan yang harus diklarifikasi, mana pernikahan beda agama yang dianggap mendatangkan maslahat dakwah dan mana pernikahan beda agama yang mesti dihindari untuk memproteksi (mencegah) mudarat. (Yusuf, M., 2017)

Al-Mumtahanah ayat 10

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang berhijrah (dari agama mereka), maka ujilah mereka; Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Jika kamu yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir pun tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka apa yang telah mereka belanjakan (untuk memeluk agama Islam). Dan tidak ada dosa atas kamu mempersunting mereka (sebagai istri) dengan memberikan mahar kepada mereka. Dan janganlah kamu terikat dengan perjanjian nikah dengan wanita-wanita musyrik. Dan mintalah apa yang telah kamu belanjakan dan mereka pun mintalah apa yang telah mereka belanjakan. Yang demikian itu adalah hukum Allah; Dia memutuskan di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Ayat ini memberikan panduan bagi umat Islam tentang bagaimana bersikap terhadap wanita-wanita yang berhijrah dan memeluk agama Islam. Ayat ini juga memberikan ketentuan bagi umat Islam dalam menikahi wanita-wanita yang berbeda agama.

Dalam konteks pernikahan beda agama, ayat ini memberikan panduan bahwa jika seorang pria Muslim ingin menikahi seorang wanita yang bukan Muslim, maka wanita tersebut harus berhijrah dan memeluk agama Islam terlebih dahulu. Setelah itu, pria Muslim dapat mempersuntingnya dengan memberikan mahar kepada wanita tersebut. Namun, jika wanita tersebut tetap mempertahankan keyakinannya yang berbeda, maka tidak diperbolehkan bagi pria Muslim untuk menikahinya.

Dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan bahwa pernikahan antara seorang Muslim dan non-Muslim tidak diperbolehkan kecuali setelah orang non-Muslim tersebut memeluk agama Islam. Hal ini dikarenakan bahwa seorang Muslim hanya dapat menikahi seseorang yang memiliki keyakinan yang sama dengannya. Namun, jika orang non-Muslim tersebut memeluk Islam, maka ia dianggap sebagai Muslim yang memiliki keyakinan yang sama dengan pria Muslim yang ingin menikahinya.

Dalam hal ini, maka istinbath hukum fiqh pernikahan beda agama dalam QS Al-Mumtahanah ayat 10 adalah bahwa pernikahan antara seorang Muslim dengan non-Muslim diperbolehkan jika non-Muslim tersebut telah berhijrah dan memeluk Islam. Jika non-Muslim tersebut tetap mempertahankan keyakinannya yang berbeda, maka pernikahan tidak diperbolehkan. Panduan ini didasarkan pada prinsip kesamaan keyakinan sebagai dasar bagi pernikahan dalam Islam.

2. Hadis

Dalam hadis, Rasulullah SAW mengizinkan pernikahan beda agama dengan beberapa syarat, yaitu:

  • Pasangan non-Muslim harus bersedia memeluk agama Islam.
  • Pasangan Muslim harus memastikan bahwa pasangan non-Muslim tidak menghalangi pelaksanaan ibadahnya.
  • Pasangan Muslim harus memastikan bahwa pasangan non-Muslim memperlakukan anak-anak dari pernikahan tersebut dengan adil.

Hadis ini dikenal sebagai hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.

3  Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqh

Ushul Fiqh

Kaidah Ke-1 An-Nahyu

"Asal dalam larangan menunjukkan haram"

Kaidah Ke-2 An-Nahyu

"Larangan atas sesuatu perkara berarti perintah atas kebalikannya"

Kaidah Ke-5 'Am

"Lafadz yang menuntut tidak umum baginya"

Kaidah Ke-1 'Am

"Lafadz yang umum keumumannya bersifat menyeluruh"

Kaidah Ke-9 Amr

"Perintah setelah larangan menunjukkan boleh"

Qawaid Fiqh

Kaidah Ke-13

"Kemadharatan itu dihilangkan"

Kaidah Ke-18

"Ketika terdapat dua kemafsadatan maka hindari yang lebih besar madharatnya dengan melakukan yang lebih ringan mafsadatnya"

Kaidah Ke-19

"Mendahulukan untuk menolak kemafsadatan dari pada mengambil kemashlahatan"

Kaidah menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada memperoleh manfaat dalam hukum Islam menyebabkan pernikahan beda agama sebaiknya dihindari, karena tidak semua orang memeluk agama dengan tulus dari hati, melainkan mungkin memiliki motif tertentu. Oleh karena itu, hukum perkawinan beda agama harus dilihat dari kacamata manfaat dan mudharat. Jika mudharat lebih besar daripada manfaat, maka perkawinan beda agama dilarang. Sebaliknya, jika manfaat lebih besar daripada mudharat, maka diperbolehkan. 

Hukum Islam itu sendiri terus mengalami perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi zaman yang terus berubah. Oleh karena itu, hukum Islam harus fleksibel dan elastis dalam memandang segala sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan. Dalam kasus pernikahan beda agama, jika khawatir akan berakibat buruk pada keimanan, maka haram hukumnya menikahi wanita Ahl al-Kitab. 

Pendekatan nasikh mansukh membolehkan pernikahan antara Muslim dan Ahli Kitab karena ayat tentang larangan menikahi orang musyrik dalam QS Al-Baqarah: 221 telah dicabut oleh QS Al-Maidah: 5 yang memperbolehkan menikahi Ahli Kitab. Oleh karena itu, ayat yang datang kemudian menasakh ayat yang datang sebelumnya.

4. Pendapat 4 madzhab

Keempat madzhab (Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafii) memiliki pandangan yang berbeda-beda terkait pernikahan beda agama.

  • Madzhab Hambali berpendapat bahwa pernikahan antara seorang Muslim dengan non-Muslim tidak dibenarkan, kecuali jika non-Muslim tersebut masuk Islam terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan pada hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa seorang Muslimah tidak boleh menikah dengan non-Muslim kecuali jika non-Muslim tersebut masuk Islam terlebih dahulu. (Lihat: Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, jilid 7, halaman 97)
  • Madzhab Hanafi memperbolehkan pernikahan antara seorang Muslim dengan seorang ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani). Namun, pernikahan dengan orang yang tidak beragama sama sekali tidak dibenarkan. Hal ini berdasarkan pada ayat Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 5 yang mengizinkan pernikahan dengan ahlul kitab. (Lihat: Fatawa al-Hindiyyah, karya Ibn Abidin, jilid 3, halaman 274)
  • Madzhab Maliki juga memperbolehkan pernikahan antara seorang Muslim dengan seorang ahlul kitab. Namun, pernikahan dengan orang yang tidak beragama sama sekali juga tidak dibenarkan. Hal ini berdasarkan pada ayat Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 5 dan hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa pernikahan hanya boleh dilakukan antara seorang Muslim dengan seorang Muslimah. (Lihat: Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, karya Imam Nawawi, jilid 18, halaman 45)
  • Madzhab Syafii berpendapat bahwa pernikahan antara seorang Muslim dengan seorang ahlul kitab diperbolehkan, baik itu dengan seorang Yahudi maupun Nasrani. Namun, pernikahan dengan orang yang tidak beragama sama sekali tidak dibenarkan. Hal ini berdasarkan pada ayat Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 5 dan hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa pernikahan hanya boleh dilakukan antara seorang Muslim dengan seorang Muslimah atau seorang ahlul kitab. (Lihat: Al-Umm, karya Imam Syafii, jilid 5, halaman 31):

Kesimpulan

Istinbath hukum dari Al-Qur'an tentang pernikahan dengan non-Muslim dapat ditemukan dalam beberapa ayat, di antaranya QS Al-Baqarah (2): 221 yang menyatakan bahwa seorang laki-laki mukmin dilarang menikahi perempuan musyrik dan sebaliknya, seorang laki-laki musyrik juga dilarang menikahi perempuan mukmin. Dalam Q.S. Al-Mumtahanah ayat 10, pernikahan antara seorang Muslim dengan non-Muslim diperbolehkan jika non-Muslim tersebut telah berhijrah dan memeluk Islam. Jika non-Muslim tersebut tetap mempertahankan keyakinannya yang berbeda, maka pernikahan tidak diperbolehkan. Selain itu, dalam QS Al-Ma'idah (5): 5 menjelaskan bahwa seorang muslim diizinkan menikahi wanita dari ahlul kitab (yaitu orang Yahudi dan Nasrani) asalkan mereka mengikuti aturan-aturan Islam dan tidak terlibat dalam praktek-praktek keagamaan yang bertentangan dengan Islam.

Namun, ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa pernikahan dengan non-Muslim hanya diperbolehkan dalam keadaan tertentu dan terbatas, seperti untuk tujuan perdamaian atau untuk menyebarkan Islam. Namun, pendapat ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Secara keseluruhan, Al-Qur'an melarang pernikahan antara Muslim dan non-Muslim dalam beberapa kondisi, dan memperbolehkannya dalam kondisi-kondisi tertentu yang diatur oleh ajaran Islam. Namun dianjurkan menghindari pernikahan dengan non-Muslim karena mudharat nya lebih besar dibandingkan manfaatnya.

Referensi

Cahaya, N. (2018). Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam. Hukum Islam, 18(2), 141-156.

Ibn Qudamah al-Maqdisi. (2001). Al-Mughni. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

Ibn Abidin. (1993). Fatawa al-Hindiyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

Imam Nawawi. (n.d.). Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab. Cairo: Dar Ihya' al-Kutub al-Arabiyyah.

Imam Syafii. (1984). Al-Umm. Beirut: Dar al-Fikr.

Yusuf, M. (2017). Masail Fiqhiyah; Memahami Permasalahan Kontemporer.Jakarta: Gunadarma Ilmu.

Zuhri, M. (2017). Pernikahan Beda Agama Menurut Perspektif Hukum Islam dan Positif di Indonesia. Jurnal Istinbath Hukum, 3(1), 19-40. https://doi.org/10.21043/ih.v3i1.2717

Hamid, M. (2018). Aspek Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jurnal Al-Hikmah, 10(1), 25-37. https://doi.org/10.24952/alhikmah.v10i1.1035

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun