Kaidah Ke-13
"Kemadharatan itu dihilangkan"
Kaidah Ke-18
"Ketika terdapat dua kemafsadatan maka hindari yang lebih besar madharatnya dengan melakukan yang lebih ringan mafsadatnya"
Kaidah Ke-19
"Mendahulukan untuk menolak kemafsadatan dari pada mengambil kemashlahatan"
Kaidah menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada memperoleh manfaat dalam hukum Islam menyebabkan pernikahan beda agama sebaiknya dihindari, karena tidak semua orang memeluk agama dengan tulus dari hati, melainkan mungkin memiliki motif tertentu. Oleh karena itu, hukum perkawinan beda agama harus dilihat dari kacamata manfaat dan mudharat. Jika mudharat lebih besar daripada manfaat, maka perkawinan beda agama dilarang. Sebaliknya, jika manfaat lebih besar daripada mudharat, maka diperbolehkan.Â
Hukum Islam itu sendiri terus mengalami perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi zaman yang terus berubah. Oleh karena itu, hukum Islam harus fleksibel dan elastis dalam memandang segala sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan. Dalam kasus pernikahan beda agama, jika khawatir akan berakibat buruk pada keimanan, maka haram hukumnya menikahi wanita Ahl al-Kitab.Â
Pendekatan nasikh mansukh membolehkan pernikahan antara Muslim dan Ahli Kitab karena ayat tentang larangan menikahi orang musyrik dalam QS Al-Baqarah: 221 telah dicabut oleh QS Al-Maidah: 5 yang memperbolehkan menikahi Ahli Kitab. Oleh karena itu, ayat yang datang kemudian menasakh ayat yang datang sebelumnya.
4. Pendapat 4 madzhab
Keempat madzhab (Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafii) memiliki pandangan yang berbeda-beda terkait pernikahan beda agama.
- Madzhab Hambali berpendapat bahwa pernikahan antara seorang Muslim dengan non-Muslim tidak dibenarkan, kecuali jika non-Muslim tersebut masuk Islam terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan pada hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa seorang Muslimah tidak boleh menikah dengan non-Muslim kecuali jika non-Muslim tersebut masuk Islam terlebih dahulu. (Lihat: Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, jilid 7, halaman 97)
- Madzhab Hanafi memperbolehkan pernikahan antara seorang Muslim dengan seorang ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani). Namun, pernikahan dengan orang yang tidak beragama sama sekali tidak dibenarkan. Hal ini berdasarkan pada ayat Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 5 yang mengizinkan pernikahan dengan ahlul kitab. (Lihat: Fatawa al-Hindiyyah, karya Ibn Abidin, jilid 3, halaman 274)
- Madzhab Maliki juga memperbolehkan pernikahan antara seorang Muslim dengan seorang ahlul kitab. Namun, pernikahan dengan orang yang tidak beragama sama sekali juga tidak dibenarkan. Hal ini berdasarkan pada ayat Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 5 dan hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa pernikahan hanya boleh dilakukan antara seorang Muslim dengan seorang Muslimah. (Lihat: Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, karya Imam Nawawi, jilid 18, halaman 45)
- Madzhab Syafii berpendapat bahwa pernikahan antara seorang Muslim dengan seorang ahlul kitab diperbolehkan, baik itu dengan seorang Yahudi maupun Nasrani. Namun, pernikahan dengan orang yang tidak beragama sama sekali tidak dibenarkan. Hal ini berdasarkan pada ayat Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 5 dan hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa pernikahan hanya boleh dilakukan antara seorang Muslim dengan seorang Muslimah atau seorang ahlul kitab. (Lihat: Al-Umm, karya Imam Syafii, jilid 5, halaman 31):