"Enak, cah ayu?" Naira menatap Utari yang tengah lahap menyantap nasi hangat dengan lauk pepes ayam kampung pedas buatannya.
Utari mengacungkan kedua jempol yang belepotan bumbu, sambil meringis malu. Namun dia mengambil bungkus kedua pepes yang terhidang di meja. Naira tampak senang, karena Utari tidak sok pemalu di hadapannya. Gadis itu terlihat menyukai masakan pedas buatannya, sama seperti Bagus Pandhita.
"Ibu memang luar biasa! Ini lezat banget!" Utari menjilati satu persatu jemarinya, dan semua tidak luput dari pengawasan mata tajam Bagus Pandhita yang duduk di kepala meja.
"Kamu itu lapar, apa doyan, sih?" tanya Bagus dengan nada pelan.
"Kangmas tahu sendiri, kan? Kerjaanku baru selesai jam enam sore, sementara Pak Warto hanya membawakanku secangkir kopi dan semangkok baso. Mana tadi siang, aku tidak sempat makan siang lagi! Cacing-cacing di perutku sudah memberontak ingin diisi sesuatu yang bergizi dan lezat!" protes Utari yang masih saja tidak berhenti mengunyah.
"Jangan menggodanya, Gus. Biarain saja, Ibu malah seneng cah ayu makannya banyak. Artinya masakan Ibu memang enak."
"Tuh, yang masak aja nggak protes!"
Utari memang belum pulang ke rumah. Setelah berkeluh kesah pada calon mertua, akhirnya Naira mengizinkan gadis itu untuk mampir. Naira terkejut dengan tampang pucat pasi Utari, untung saja dia sudah memasak khusus untuk gadis itu.
Ketika mereka tengah asyik menikmati makan malam, ternyata Bagus juga pulang dari perjalanan Dinas. Jadilah mereka menikmati makan malam bersama, seperti sebuah keluarga yang sesungguhnya. Bagus Pandhita yang semula mengira Utari akan bersikap malu-malu, dibuat terkejut dengan sikap gadis itu. Utari tidak menutupi selera makannya yang sangat tidak feminin.
"Memangnya mengerjakan apa sampai sore begitu?"
"Mas tidak tahu? Semenjak insiden kita tempo hari, semua orang seperti memusuhiku. Bukan setiap orang sih, tapi para penggemar Mas. Mereka itu orang berpendidikan, tapi mulut tidak bisa dijaga!"
"Jadi maksud cah ayu, ada yang bergosip di belakang? Biarin saja, tidak usah diladeni, ya. Mereka akan bungkam, setelah kalian menikah beneran."
"Riri juga tidak ambil pusing, Bu. Tapi dampaknya mereka seperti ada campur tangan untuk mengerjai Riri."
Bagus Pandhita tidak menampik jika kabar yang berembus itu juga sudah mempengaruhi kredibilitas kerjanya. Sepandai apapun mereka menyimpan bangkai, bau busuknya suatu saat akan tercium juga. Apalagi ada wartawan media lokal yang ikut memperkeruh keadaan.
"Menurut kamu baiknya gimana, Gus?" Naira menatap putranya penuh harap.
"Pernikahan kita kan tinggal seminggu lagi. Bagaimana jika kamu izin cuti saja?"
"Cuti? Mas lupa kalau aku ini masih pegawai honorer?"
"Iya juga, sih."
"Tapi mulai besok kamu sudah harus melaksanakan ritual pingitan. Kamu memang sudah tidak boleh keluar rumah lagi, setidaknya sebelum pernikahan dilaksanakan."
"Besok biar aku yang akan berbicara pada Om Wisnu. Beliau pasti akan mencari alasan tepat jika teman-teman sekantor menanyakanmu."
"Om Wisnu?"
"Jadi, Wisnu itu adik Ibu nomor dua. Dia sudah mengetahui rencana pernikahan kalian. Jadi, pasti dia akan mengerti dengan kondisi kamu, cah ayu."
Utari mulai berpikir. Pak Wisnu memang terlihat sangat peduli kepadanya. Beberapa kali Utari melihat pria itu memperhatikan dia, dan berusaha mencegah jika ada beberapa pegawai lain ingin memanfaatkan dirinya.
"Oh, begitu."
Setelah makan malam dan menunaikan ibadah berjamaah, Utari segera berpamitan. Meski Naira menahannya agar menginap saja, namun Utari menolak dengan halus. Kesibukan bukan hanya akan terjadi dalam keluarganya, namun keluarga Rekshananta juga akan melakukan hal yang sama.
"Aku sudah bilang tidak usah dianterin, Mas." rajuk Utari ketika melihat Bagus yang sudah memarkir motor besarnya di samping motor bebek gadis itu.
"Aku hanya mau memastikan, kalau calon istriku selamat sampai tujuan." Bagus terlihat keras kepala.
Utari hanya mengedikkan bahu tidak peduli. Utari mengucap salam sekali lagi kepada Naira, yang masih setia melihat keduanya dari pinggir Pendopo. Mereka akhirnya meninggalkan pelataran luas rumah itu, menyusuri jalanan menuju rumah Utari yang berjarak tidak terlalu jauh.
Utari melajukan motornya tidak terlalu kencang, sementara Bagus Pandhita mengikuti dari belakang. Dada Utari merasa hangat dengan perhatian dari pria itu. Meski mereka belum begitu mengenal, dan rasa lelah juga pasti mendera tubuh calon suaminya. Tapi Bagus Pandhita tetap meluangkan waktu, untuk bersamanya.
Setelah sepuluh menit melakukan perjalanan, mereka akhirnya tiba di rumah Utari, "Mas, tidak mau mampir dulu?"
"Untuk kali ini, sepertinya aku tidak akan mampir. Ada pekerjaan yang sudah menungguku." Bagus Pandhita masih berada di atas motor, namun sudah mencopot helm dan mematikan motor.
"Nanti Mama nanyain lagi." Utari memasukkan motornya ke Garasi, setelah itu dia kembali menemui Bagus Pandhita yang masih setia menunggu di halaman.
"Sampaikan salamku saja pada beliau." pria itu kembali mengenakan helmnya.
"Iya, terima kasih. Hati-hati di jalan, Mas."
"Selamat malam, dan jangan lupa nanti mimpikan aku, ya."
"Nggak janji!"
"Riri, bisa tidak sekaliii saja kamu itu tidak melawan saya?"
"Iya, Kangmas. Tapi mimpi kan, tidak bisa diatur-atur."
"Ck! Kamu itu." Bagus kemudian melepaskan helm yang sudah dipakai. Dia kemudian menarik tangan Utari yang berdiri tidak jauh darinya. Karena tidak siap, tubuh Utari limbung membentur dada Bagus Pandhita yang datar.
"Mas, mau ngapain, sih? Malu! Kalau ada tetangga yang liat gimana?" protes Utari sambil berusaha melepaskan dekapan pria itu.
"Sebentar saja. Kamu tidak kasihan padaku? Kita kan, tidak akan bertemu sampai hari pernikahan kita. Tujuh hari ke depan kita tidak boleh ketemuan, kamu pikir Mas nggak akan kangen?"
Setelah Utari yang harus membiasakan diri dengan sebutan itu, dan dia susah payah menelan rasa malunya. Kini pria itu juga mulai menyematkan panggilan itu, untuk dirinya sendiri. Mulanya panggilan itu terasa kaku dan aneh, namun lambat laun Utari mulai terbiasa. Toh, memang tradisi orang Jawa tidak membolehkan hanya menyebut nama saja dari suami kita.
Panggilan itu untuk menghormati orang yang lebih tua dari kita. Suami adalah salah satu orang yang harus dihormati. Masalahnya selama ini, Utari sudah nyaman menyebut Bagus Pandhita dengan sebutan 'Bapak'. Kini dia harus mengubah kebiasaan itu, sesuatu yang tidak mungkin mudah baginya.
Kali ini, Utari ingin meresapi rasa hangat yang menjalar hingga ke jantungnya. Pelukan Bagus tidak begitu erat, namun cukup untuk membuat Utari merasa nyaman dan terlindungi. Siapa bilang pria itu tidak bisa romantis, dipeluk seperti itu saja sudah membuat Utari seperti sudah tidak berpijak di atas bumi.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H