Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Rechtsvinding (Menemukan Hukum) Pajak

17 Agustus 2020   21:13 Diperbarui: 15 Januari 2021   21:55 8222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari dalam hitungan jari menjelang bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan (Anniversary) Republik Indonesia yang ke-75, seorang Pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang bukan sarjana hukum tetapi banyak memahami hukum, menyampaikan kata hatinya kepada penulis terkait dengan salah satu lembaga kontrol yang memberikan catatan kepadanya untuk ‘mengoreksi’ putusan pengadilan. 

Pejabat DJP yang juga musisi ini kemudian mengatakan perlunya mengingatkan kembali peran, fungsi dan kedudukan lembaga kontrol tersebut. “Jika suatu putusan pengadilan dianggap salah, baik itu memenangkan Wajib Pajak ataupun DJP, hal itu bukanlah ranah lembaga kontrol untuk mengoreksi. Kalau putusan pengadilan diintervensi oleh suatu lembaga, hal itu akan menimbulkan preseden yang tidak baik. Karena itu perlu kembali kepada khittah sesuai peraturan perundang-undangan”, lanjutnya.

Sementara itu di sisi yang berbeda, terdapat suatu kelompok yang memberikan makna yang berbeda-beda atas suatu peraturan perundang-undangan yang sama. “Jenis peraturannya sama, pasal dan ayat yang dimaksud juga sama, tetapi kenapa masing-masing memberikan makna yang berbeda? Bahkan kadang kita menemukan antara law maker dengan law authority juga memberikan makna yang berbeda atas peraturan yang sama”, kata mereka.

Berkenaan dengan fenomena tersebut, melalui tulisan ini penulis ingin menyajikan diskursus mengenai bagaimana mengupayakan berlakunya hukum sesuai dengan pembentukannya sebagaimana dikemukakan Roscoe Pound, yaitu sebagai law as tool as social engineering (hukum dibuat agar masyarakat melaksanakan atau bertindak sesuai dengan yang diinginkan hukum dimana hukum bertindak sebagai alat rekayasa sosial) dan social control (apakah masyarakat sudah bertindak atau berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku).

MENEMUKAN HUKUM PAJAK (RECHTSVINDING)

 

Seringkali dalam praktek kita menemukan perbedaan penafsiran terhadap hukum yang berlaku, termasuk di dalamnya peraturan perpajakan. Perbedaan penafsiran ini biasanya disebabkan karena adanya sudut pandang dan atau pengetahuan yang berbeda dalam memandang hukum. Di samping itu, perbedaan penafsiran ini juga terjadi karena adanya kepentingan yang berbeda dalam menafsirkan hukum, yang mana hal itu tentunya sangat bergantung pada makna apa yang dapat memberikan keuntungan baginya.

Berkenaan dengan fenomena yang terjadi tersebut, untuk memberikan makna atau arti hukum agar dapat memahami hukum termasuk peraturan di bidang perpajakan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan, perlu kiranya kita berbekal ilmu pengetahuan tentang bagaimanakah cara menemukan hukum (rechtsvinding) supaya hukum tidak ‘tersembunyi’. 

Berdasarkan uraian diatas, kemudian timbul pertanyaan siapakah yang mempunyai kewenangan untuk menemukan hukum? Ternyata mengenai siapa yang mempunyai kewenangan menemukan hukum terdapat dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa yang dapat menemukan hukum hanyalah hakim. Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa yang dapat melakukan penemuan hukum tidak hanya hakim an sich, tetapi masih terdapat kelompok lain diluar hakim.

Menurut Guru Besar sekaligus begawan hukum Universitas Gadjahmada, Sudikno Mertokusumo (alm), penemuan hukum bukanlah merupakan ilmu baru, tetapi telah lama dikenal dan dipraktekkan oleh para hakim, pembentuk undang-undang, jaksa, pengacara, para ahli hukum, dosen dan lainnya yang selama ini mempunyai tugas menyelesaikan masalah-masalah hukum. Ia pun menyampaikan bahwa di banyak negara telah banyak literatur tentang penemuan hukum (rechtsvinding) yang ditulis oleh para praktisi maupun ahli hukum. (Sudikno Mertokusumo, 1996).

Penemuan hukum pada dasarnya merupakan kegiatan dalam praktek hukum yang tentunya tidak mungkin dipisahkan dari ilmu atau teori hukum, termasuk dalam hal ini memahami asas/prinsip hukum dan ilmu tafsir hukum. Dalam konteks hukum perpajakan pun, prinsip dan teori hukum tersebut melekat padanya. Oleh karena itu sangat wajar jika para stakeholder peraturan perpajakan (fiskus, Wajib Pajak, hakim Pengadilan Pajak, dan komunitas lainnya) perlu kiranya senantiasa berkelindan dengan ilmu penemuan hukum.

Pada prinsipnya untuk menemukan hukum termasuk perundang-undangan di bidang perpajakan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu pertama dengan menerapkan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum yang berlaku umum (the principles of law) dan kedua dilakukan melalui penafsiran hukum (law interpretation) yang berlaku umum.

Dalam tulisan ini terkait dengan penemuan hukum, penulis memetik perspektif Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Penemuan Hukum”, yang memberikan paradigma bahwa yang dapat melakukan penemuan hukum bukan hanya para hakim, tetapi bisa juga dilakukan para pembentuk undang-undang (peraturan), jaksa, pengacara, para ahli hukum, dosen dan lainnya yang mempunyai tugas menyelesaikan masalah hukum.

ASAS/PRINSIP HUKUM

Salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam menemukan hukum (termasuk hukum pajak) sebagaimana diuraikan diatas adalah dengan mengimplementasikan asas hukum yang telah berlaku umum atau universal. Asas hukum biasanya tidak dituangkan dalam bunyi peraturan atau pasal yang mengatur. Namun demikian walau tidak dibunyikan dalam suatu peraturan, tetapi asas hukum berlaku sebagai ketentuan.

Mengingat asas hukum bersifat umum, ia tidak hanya berlaku bagi satu peristiwa tertentu saja tetapi berlaku secara umum. Asas hukum membuka kemungkinan terjadinya penyimpangan atau pengecualian yang mempunyai kedudukan kuat dan dibenarkan dalam memahami serta memaknai suatu peraturan. Hal ini sangat penting karena dalam praktik kadang kita menemukan adanya peraturan yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain, termasuk dalam konteks peraturan perpajakan.

Asas hukum yang dimaksud antara lain adalah asas res judicata pro veritate habetur, yaitu asas hukum yang mempunyai makna bahwa isi putusan pengadilan berlaku sebagai benar, apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan, walaupun dalam pandangan kita dan di depan mata jelas-jelas sama sekali tidak benar.

Sebagaimana disampaikan salah satu Pejabat DJP diatas walaupun lembaga kontrol merekomendasikan agar dilakukan koreksi terhadap putusan pengadilan yang dianggap salah, pada hemat kami rekomendasi tersebut jika dilaksanakan justru akan menimbulkan permasalahan baru mengingat sesuai dengan asas hukum res judicata pro veritate habetur, putusan hakim harus dianggap benar.

Mungkinkah kita melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan yang kita anggap salah? Jawabnya jelas sangat memungkinkan dan dapat dilakukan, tetapi harus melalui prosedur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika putusan pengadilan tersebut adalah putusan pengadilan pajak maka langkah untuk melakukan koreksi dilakukan melalui upaya hukum istimewa berupa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung mengingat putusan pengadilan pajak bersifat final.

Setelah kita membicarakan asas hukum res judicata pro veritate habetur, asas hukum berikutnya yang kita bahas adalah tentang Fiksi Hukum (law fiction), yaitu suatu asas hukum yang mempunyai makna bahwa jika suatu peraturan perundang-undangan telah sah berlaku, maka semua masyarakat dianggap telah mengetahui berlakunya peraturan tersebut walaupun ia belum pernah membaca, melihat bahkan mendengarnya.

Asas hukum tersebut dikatakan sebagai fiksi hukum karena keberlakuannya seperti cerita fiksi. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak atau belum pernah membaca, melihat bahkan mendengar suatu peraturan tetapi dianggap telah mengetahui dan memahami peraturan tersebut. Asas fiksi hukum ini mempunyai pengertian yang hampir sama dengan asas hukum ignorantia legis execusat neminem, yaitu suatu asas hukum yang mempunyai makna bahwa ketidaktahuan seseorang terhadap hukum (peraturan) bukanlah alasan pemaaf.

Jika terdapat Wajib Pajak yang telah terdaftar di suatu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tidak melaksanakan kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan kemudian dikenai sanksi administrasi berupa denda, maka Wajib Pajak tersebut tidak dapat mengelak untuk dikenai sanksi administrasi dengan alasan tidak mengetahui ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP).

Contoh lain misalnya, ada seseorang yang mempunyai penghasilan yang sangat besar (ribuan kali di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak) tidak pernah membayar pajak dan tidak pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan. Kemudian terhadapnya dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan dilanjutkan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, maka Wajib Pajak tersebut  tidak dapat mengelak dengan alasan tidak tahu UU Perpajakan.

Beberapa asas hukum penting lainnya yang berlaku umum di antaranya ”point d’interet point d’action” (siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan). Apabila Wajib Pajak menganggap fiskus tidak benar dalam menetapkan surat ketetapan pajak, maka Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum dengan melakukan keberatan kepada Dirjen Pajak. Selanjutnya apabila Wajib Pajak tidak puas dengan keputusan keberatan dimaksud, ia dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

Bagi fiskus, asas hukum yang termasuk penting dan perlu menjadi pegangan dalam melaksanakan tugas adalah asas hukum administrasi negara yang berupa freiss ermessen atau diskresi, yaitu kebebasan bertindak yang dimiliki pejabat administrasi negara yang dimungkinkan secara hukum dalam rangka bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan antara lain persoalan penting dan mendesak sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.

Sementara itu bagi fiskus yang juga menjadi regulator, perlu ditambah lagi dengan menerapkan asas pseudo wetgeving (perundang-undangan semu), yaitu membuat ketentuan yang mengatur hal-hal yang tidak diatur atau diperintahkan perundang-undangan untuk menyelesaikan persoalan penting dan mendesak. Misalnya dengan adanya bencana covid-19, pemerintah bisa membuat peraturan yang tidak diamanahkan oleh ketentuan yang lebih tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Disamping itu terdapat asas hukum presumptio iustea causa atau sering dikenal vermoeden van rechtmatigheid, artinya bahwa setiap keputusan tata usaha negara yang diterbitkan harus dianggap benar menurut hukum dan harus tetap dilaksanakan selama belum dibuktikan sebaliknya (dicabut) atau dinyatakan oleh hakim administrasi sebagai keputusan yang melawan hukum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas ini termasuk asas yang sangat penting bagi fiskus.

Contoh berlakunya asas hukum presumptio iustea causa misalnya fiskus menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) karena Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan badan. Tidak lama setelah penerbitan STP tersebut kemudian fiskus menyadari bahwa terjadi kesalahan dalam penerbitan STP karena Wajib Pajak ternyata menyampaikan SPT Tahunan tepat waktu.

Walaupun fiskus telah megetahui dan menyadari bahwa STP tersebut salah dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tetapi STP tersebut berdasarkan asas hukum presumptio iustea causa atau vermoeden van rechtmatigheid masih tetap berlaku dan sah secara hukum sepanjang belum dibatalkan atau dicabut oleh yang berwenang, baik itu dilakukan fiskus maupun pengadilan.

Selain asas hukum di atas, masih banyak asas hukum yang berlaku umum antara lain lex specialis derogat legi generalis (hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum), lex posteriori derogat legi priori (hukum yang belakangan/baru mengesampingkan hukum yang terdahulu), lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah), yang selama ini telah banyak kita kenal, dengar dan pahami dalam keseharian.

Hakim pengadilan pajak dan hakim lembaga peradilan lainnya bagaimana? Hakim pengadilan pajak maupun yang lain dalam melaksanakan tugas tentu harus menganut asas negatief wattelijk, yaitu bahwa hakim dalam memutus perkara harus berdasarkan peraturan yang berlaku dan juga harus berdasarkan keyakinannya. Hakim tidak dapat memutus perkara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hal yang dapat dilakukan hakim pengadilan pajak terbatas pada tindakan menemukan hukum (rechtsvinding).

Berkait dengan penemuan hukum yang dilakukan hakim, Baron de Charles de Montesquieu (1689-1755) dan Immanuel Kant (1724-1804), mempunyai pandangan la bouche de la loi, yaitu bahwa hakim adalah corong atau mulut Undang-Undang. Pandangan ini adalah pandangan klasik normatif dan sejalan dengan pandangan klasik lainnya lex dura sed tamen scrypta (hukum itu kaku atau keras, tetapi begitulah yang tertulis).

Pandangan klasik tersebut sangat berbeda dengan pandangan hukum modern yang antara lain dikemukakan Gustav Radbruch, mengenai Spannungsverhaltnis, yang melihat hukum tidak hanya sekedar kepastian hukum semata atau melihat hukum sebagai lembaga otonom yang tidak peduli dengan antara lain nilai-nilai kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan, tetapi juga melihat hukum dalam perspektif keadilan dan kemanfaatan.

Karena itu dalam pandangan hukum modern, sangat wajar jika hakim dalam menemukan hukum harus selalu memikirkan jauh ke depan konsepsi tentang nilai-nilai moralitas umum yang terdiri dari nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kepatutan dan kewajaran, kejujuran, keahlian dan keilmuan, penghormatan integritas dan profesi, serta pelayanan dan kepentingan publik. (Mahkamah Konstitusi dan Unhas, 2018).

Melanjutkan berbicara tentang asas hukum, ada pula asas in dubio pro reo, yaitu asas hukum yang mempunyai makna bahwa dalam hal terjadi keragu-raguan menetapkan hukuman maka didasarkan pada sanksi yang menguntungkan terdakwa/masyarakat. Apabila pada saat ini terdapat Wajib Pajak yang sedang dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, maka penyidikan tersebut didasarkan pada UU KUP yang sedang berlaku.

Namun demikian apabila pada saat penuntutan telah berlaku UU KUP baru, maka penuntutannya didasarkan pada UU KUP yang memberikan ancaman sanksi pidana yang lebih menguntungkan terdakwa (lebih ringan). Apabila UU KUP lama memberikan ancaman sanksi pidana yang lebih ringan, maka ancaman sanksi pidananya didasarkan pada UU KUP lama. Sebaliknya apabila UU KUP yang baru memberikan ancaman yang lebih ringan, maka ancaman sanksi pidananya didasarkan pada UU KUP baru.

Sebagaimana dikemukakan diatas walaupun asas hukum biasanya tidak dituangkan dalam bunyi peraturan atau pasal yang mengatur, bukan berarti hal itu menutup kemungkinan adanya suatu asas hukum yang dibunyikan dalam suatu peraturan. Hal ini dapat dicontohkan, asas hukum pidana nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali/tiada perbuatan dapat dipidana kecuali hal itu telah diatur dalam undang-undang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, asas hukum presumption of innocence/praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman, dan masih ada beberapa asas hukum lainnya yang menjadi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

PENAFSIRAN HUKUM

 

Untuk memberikan penafsiran hukum yang benar atas suatu hukum, perlu kiranya kita memahami ilmu tafsir hukum yang di antaranya sebagai berikut:

1.  Penafisran Otentik

Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu peraturan yang dilakukan dengan cara mengetahui dan memahami maksud dari pembuat peraturan perundang-undangan atau hukum (original intent). Untuk menekan seminimal mungkin terjadinya berbagai penafsiran, pembuat peraturan biasanya memberikan definisi atas suatu pengertian yang diatur atau memberikan penjelasan atas bunyi peraturan di bagian penjelasan peraturan.

Penafsiran otentik ini antara lain dapat dilakukan dengan cara melihat draft peraturan, risalah rapat para pembuat peraturan, memori penjelasan umum dan pasal tiap pasal, jawaban pemerintah kepada DPR, notulen pembahasan peraturan, pihak yang ikut membahas dan merumuskan peraturan,  dan hal lain yang berkaitan dengan penyusunan peraturan.

Pembuatan konstruksi dan intepretasi ini oleh Gustav Radbruch (1961) sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, dinamakan zu-ende-denken aines gedachten, yaitu suatu cara yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pembuat peraturan melalui karyanya itu. Mungkin hal itu adalah hal-hal yang memang terpikirkan oleh pembuat peraturan pada waktu itu, tetapi mungkin juga tidak. Dalam hal yang disebutkan belakangan ini dikatakan bahwa ia kurang menyadari jangkauan dari karyanya itu dan baru mengetahui melalui interpretasi yang jelas.

Contoh penafsiran otentik misalnya ketentuan dalam Pasal 35A ayat (2) Undang-Undang KUP yang intinya mengatur bahwa dalam hal data dan informasi perpajakan dari instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam ketentuan tersebut secara gramatikal (tertulis) sama sekali tidak mengatur mengenai intelijen pajak, tetapi ternyata ketentuan tersebut antara lain untuk mengatur intelijen pajak. Bagaimana cara mengetahuinya? Hal itu dapat diketahui dari dukumen atau pihak yang turut membahas dan atau merumuskan ketentuan tersebut (law maker). Kebetulan penulis termasuk salah satu anggota penyusun dan pembahas ketentuan tersebut.

2.  Penafsiran Sistematis

Penafsiran sistematis adalah penafsiran atas suatu peraturan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan peraturan-peraturan lain yang terkait, baik itu di antara pasal-pasal yang ada dalam 1 (satu) peraturan yang ada, maupun dalam konteks hukum umum dan konteks hukum khusus, antara hukum yang lebih tinggi dengan hukum yang lebih rendah, termasuk pula hubungan antara ketentuan yang sejajar (noscitur a sociis).

Karena itu dalam penafsiran sistematis ini asas-asas hukum (the principles of law) seperti lex specialis derogat legi generali (hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum), lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah), lex posteriori derogat legi priori (hukum yang kemudian mengesampingkan hukum yang terdahulu) harus dipahami oleh semua pihak khususnya yang melaksnakan praktek hukum, agar dapat mengetahui hukum mana yang harus diberlakukan.

Hal yang sangat penting dalam memberikan makna tafsir  sistematis adalah prinsip contextualism sebagaimana dikemukakan Ian Mac Leod dalam bukunya Legal Method, yaitu pertama asas noscitur a sociis (suatu kata harus diartikan dalam rangkainnya), kedua asas ejusdem generis (suatu kata dibatasi makna dalam kelompoknya), dan ketiga asas expressio unius exlusio alterus (kalau satu konsep digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain).

Berdasarkan dan sejalan dengan konsep contextualism sebagaimana dikemukakan Ian Mac Leod, dengan jelas kita dapat mengatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak dalam Undang-Undang PBB bukanlah makhluk yang sama dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang KUP. Karena Surat Ketetapan Pajak dan surat ketetapan pajak merupakan produk hukum yang berbeda, maka keberlakuan dan akibat atau konsekuensi hukumnya pun juga berbeda.

Contoh penafsiran sistematis, yaitu tentang pengurangan sanksi administrasi pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 Tahun 2013 yang mengatur bahwa pengurangan sanksi dapat diberikan menjadi kurang dari 24 bulan. Jika dibaca secara gramatikal maka harus melihat ketentuan sanksi administrasinya yang dapat dikenakan 24 bulan atau lebih itu ketentuan yang mana? Jika dibaca dengan menggunakan tafsir sistematis, maka yang dapat dikenai sanksi administrasi 24 bulan atau lebih hanya ketentuan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 19 Undang-Undang KUP.

3.  Penafsiran Historis

Penafsiran historis adalah cara menafsirkan peraturan yang dilakukan dengan melihat kronologis atau sejarah dibuatnya peraturan dikaitkan dengan perkembangan hukum secara umum atau yang masih ada hubungannya.

Sebagaimana tafsir otentik, penafsiran ini dapat lebih baik apabila dilakukan dengan cara memperolehnya dari melihat draft peraturan, risalah rapat para pembuat peraturan, memori penjelasan umum dan pasal tiap pasal, jawaban pemerintah kepada DPR, notulen pembahasan peraturan, pihak yang ikut membahas dan merumuskan peraturan,  dan hal lain yang berkaitan dengan penyusunan peraturan.

Contoh: dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 telah selesai mengatur ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf Undang-Undang KUP, tetapi kenapa dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah tersebut kembali mengatur ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP? Tentu ada historisnya.

Kala itu ketika membahas ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP dalam Pasal 35 Rancangan Peraturan Pemerintah, usulan pengaturan mengenai pengurangan sanksi administrasi 2% per bulan maksimal menjadi 24 bulan tidak disetujui. Namun hari berikutnya usulan tersebut disetujui, tetapi karena Pasal 35 sudah selesai dibahas dan diputus maka ketentuan mengenai pengurangan sanksi administrasi 2% persen per bulan maksimal menjadi  24 bulan diatur dalam pasal 36 Peraturan Pemerintah.

4.  Penafsiran Sosiologis

Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas undang-undang atau peraturan yang dilakukan dengan cara mengaitkannya dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat mengalami perkembangan yang sangat dinamis, sementara hukum tertulis tidak dapat berubah setiap saat. Maka perlu dilakukan penyesuaian ketentuan agar lebih bisa memberikan rasa keadilan dan public service yang lebih baik bagi masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi.

Contoh, beban dan tekanan yang dihadapi Wajib Pajak dengan terjadinya bencana Covid-19, menjadi alasan bagi otoritas pajak untuk menerbitkan kebijakan (policy) dan peraturan yang dapat meringankan beban Wajib Pajak sekaligus membantu dunia usaha, misalnya kebijakan pengurangan sanksi administrasi, pajak karyawan ditanggung pemerintah, kelonggaran waktu pengajuan dan penyelesaian upaya hukum,  pemanfaatan sarana on line dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, dan pemberian fasilitas perpajakan lainnya.

5.  Penafsiran Gramatikal

Penafsiran gramatikal adalah cara melakukan penafsiran atas suatu peraturan yang didasarkan pada tata bahasa yang terdiri rangkaian kata yang membentuk kalimat yang disusun oleh pembuat peraturan. Penafsiran ini lebih didasarkan pada arti masing-masing kata yang membentuk kalimat dalam undang-undang atau peraturan.

Para ahli hukum berpendapat bahwa penafsiran gramatikal ini merupakan penafsiran yang paling utama dan mempunyai makna expressum facit cecare tacitum,  artinya apabila kata-kata dalam undang-undang atau peraturan sudah jelas dan tegas (expressive verbis), maka penafsiran hukum tidak boleh menyimpang dari kata-kata dalam undang-undang atau peraturan tersebut, walaupun maksud pembuat undang-undang tidak sama dengan arti kata-kata dalam peraturan.

Contoh dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Dalam ketentuan ini dengan jelas dan tegas mengatur bahwa pengajuan keberatan hanya dapat dilakukan kepada Direktur Jenderal, sehingga tidak boleh ada kemungkinan untuk menafsirkan makna lain.

6.  Penafsiran Analogi

Penafsiran analogi adalah cara melakukan penafsiran atas peraturan yang dilakukan dengan cara memperluas cakupan peraturan tersebut dengan permasalahan yang sejenis atau setara atau analog yang tidak ada aturannya secara spesifik.

Analogi ini terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang diatur, namun demikian peraturan tersebut juga digunakan untuk kejadian lain yang tidak secara nyata atau tegas disebut dalam peraturan itu tetapi ada banyak kesamaaannya dengan kejadian tersebut. Penafsiran yang demikian akan cenderung ekstensif karena akan memperluas arti suatu peraturan.

Misal dalam undang-undang perpajakan antara surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP dan Surat Ketetapan Pajak dalam Undang-Undang PBB adalah  dua produk hukum yang berbeda yang mempunyai akibat dan konsekuensi hukum yang berbeda, tetapi kadang diberlakukan sebagai ’satu kesatuan’ yang sama karena adanya pemahaman yang tidak atau kurang komprehensif.

Biar terdapat variasi dalam contoh, penafsiran Analogi juga kami contohkan peristiwa hukum non perpajakan.  Pada tahun 1920 Hoge Raad Belanda (sama dengan Pasal 362 KUHP) memutuskan bahwa makna pencurian meliputi juga pencurian aliran listrik untuk kerugian suatu perusahaan listrik. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan pencurian dalam pasal tersebut dirumuskan dengan mengambil barang, sehingga perbuatan mengambil aliran listrik juga dianggap sebagai pencurian. Kemudian timbul permasalahan, apakah aliran listrik merupakan ’barang’ dan apakah aliran listrik tersebut dapat diambil?

7.  Penafsiran Argumentum a Contrario

Penafsiran argumentum a contrario adalah penafsiran atas undang-undang atau peraturan yang dilakukan dengan cara mendasarkan bunyi ketentuan secara terbalik atau berlawanan dengan suatu masalah yang tidak diatur dengan ketentuan yang diatur secara tegas dalam ketentuan tersebut.

Misalnya terdapat suatu Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang barang atau jasa yang tidak termasuk dalam kategori sebagai barang atau jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, artinya selain barang atau jasa tersebut merupakan barang atau jasa yang dikenai PPN (negative list).

PENUTUP

 

Tanggal 17 Agustus 2020, Indonesia telah 75 Tahun Merdeka, kurun waktu yang sangat dewasa bagi kita semua para stakeholder di bidang perpajakan jika dalam menemukan dan atau mengimplementasikan hukum perpajakan, senantiasa berkelindan dengan ruh dan nilai-nilai perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diperjuangkan para Pahlawan.

Kita dapat memetik pelajaran bahwa dalam mengimplementasikan peraturan di bidang perpajakan, para stakeholder di bidang perpajakan; baik itu fiskus, Wajib Pajak, hakim Pengadilan Pajak, auditor perpajakan, senantiasa dibekali dengan ilmu menemukan hukum sehingga dapat mengimplementasikan hukum sesuai dengan tujuan dibentuknya hukum, yaitu sebagai social engineering dan social control.

Hukum harus ditegakkan dan hukum harus dipahami tidak hanya sekedar teks-teks yang terdapat dalam suatu peraturan, tetapi ia harus dilihat sebagai satu kesatuan yang ideal dengan nilai-nilai moralitas umum yang antara lain terdiri dari nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kepatutan dan kewajaran, kejujuran, keilmuan dan keahlian, penghormatan integritas dan profesi, serta pelayanan dan kepentingan publik.

*) Penulis adalah Anggota Tim Penyusunan dan Pembahasan RUU Perpajakan 2003–2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun