Sebagaimana tafsir otentik, penafsiran ini dapat lebih baik apabila dilakukan dengan cara memperolehnya dari melihat draft peraturan, risalah rapat para pembuat peraturan, memori penjelasan umum dan pasal tiap pasal, jawaban pemerintah kepada DPR, notulen pembahasan peraturan, pihak yang ikut membahas dan merumuskan peraturan,  dan hal lain yang berkaitan dengan penyusunan peraturan.
Contoh: dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 telah selesai mengatur ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf Undang-Undang KUP, tetapi kenapa dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah tersebut kembali mengatur ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP? Tentu ada historisnya.
Kala itu ketika membahas ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP dalam Pasal 35 Rancangan Peraturan Pemerintah, usulan pengaturan mengenai pengurangan sanksi administrasi 2% per bulan maksimal menjadi 24 bulan tidak disetujui. Namun hari berikutnya usulan tersebut disetujui, tetapi karena Pasal 35 sudah selesai dibahas dan diputus maka ketentuan mengenai pengurangan sanksi administrasi 2% persen per bulan maksimal menjadi  24 bulan diatur dalam pasal 36 Peraturan Pemerintah.
4. Â Penafsiran Sosiologis
Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas undang-undang atau peraturan yang dilakukan dengan cara mengaitkannya dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat mengalami perkembangan yang sangat dinamis, sementara hukum tertulis tidak dapat berubah setiap saat. Maka perlu dilakukan penyesuaian ketentuan agar lebih bisa memberikan rasa keadilan dan public service yang lebih baik bagi masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi.
Contoh, beban dan tekanan yang dihadapi Wajib Pajak dengan terjadinya bencana Covid-19, menjadi alasan bagi otoritas pajak untuk menerbitkan kebijakan (policy) dan peraturan yang dapat meringankan beban Wajib Pajak sekaligus membantu dunia usaha, misalnya kebijakan pengurangan sanksi administrasi, pajak karyawan ditanggung pemerintah, kelonggaran waktu pengajuan dan penyelesaian upaya hukum, Â pemanfaatan sarana on line dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, dan pemberian fasilitas perpajakan lainnya.
5. Â Penafsiran Gramatikal
Penafsiran gramatikal adalah cara melakukan penafsiran atas suatu peraturan yang didasarkan pada tata bahasa yang terdiri rangkaian kata yang membentuk kalimat yang disusun oleh pembuat peraturan. Penafsiran ini lebih didasarkan pada arti masing-masing kata yang membentuk kalimat dalam undang-undang atau peraturan.
Para ahli hukum berpendapat bahwa penafsiran gramatikal ini merupakan penafsiran yang paling utama dan mempunyai makna expressum facit cecare tacitum, Â artinya apabila kata-kata dalam undang-undang atau peraturan sudah jelas dan tegas (expressive verbis), maka penafsiran hukum tidak boleh menyimpang dari kata-kata dalam undang-undang atau peraturan tersebut, walaupun maksud pembuat undang-undang tidak sama dengan arti kata-kata dalam peraturan.
Contoh dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Dalam ketentuan ini dengan jelas dan tegas mengatur bahwa pengajuan keberatan hanya dapat dilakukan kepada Direktur Jenderal, sehingga tidak boleh ada kemungkinan untuk menafsirkan makna lain.
6. Â Penafsiran Analogi