Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jiwa Tersangkar (1)

14 Mei 2019   09:41 Diperbarui: 14 Mei 2019   09:55 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu Misel bertugas sebagai piket pemegang waktu. Ia bak raja penguasa jagat sehingga waktu pun bisa dikuasainya. Tapi ia tidak dapat menjalankan fungsi itu dengan sewenang-wenang. Sebab jika hal itu terjadi, ia bakalan dipecat dengan tidak terhormat.

Ia sesungguhnya adalah suruhan dari seperangkat aturan yang sudah dibuat. Semuanya taat-tunduk pada aturan tersebut. Doa, belajar, kerja, makan dan berolah raga. Semuanya sudah dijadwalkan dengan rapi dan teratur.

Konon aturan ini akan membentuk karakter mereka guna menjadi pribadi yang benar-banar siap untuk mengabdi dalam tugas pelayanan sebagai imam. Mereka dilatih untuk menahan syawat karena kelak mereka tidak akan menikmati kemolekan tubuh perempuan meski hal itu selalu terlintas dalam benak mereka untuk melakukannya berkali-kali. Mereka telah memutuskan untuk tidak kawin seumur hidup.

Jarum jam menunjukkan pukul 19.00. Misel bangun dari meja belajarnya, menggerak-gerakan badan sejenak. Kemudian, merapikan tumpukan buku-buku filsafat dan teologi yang sudah dipelajari dan yang akan dipelajarinya. Ia membuka pintu kamarnya dan menutupnya kembali. Ia menuju menara Kapela (gereja) kemudian membunyikan lonceng sebanyak tiga kali.

"Teng...teng...teng..."

 Bunyi lonceng itu memecahkan keheningan sekaligus memberitahukan kepada semua penghuni rumah karantina untuk meninggalkan kesibukan dirinya. Penanda waktu merupakan hal yang sangat penting.

Bunyi lonceng adalah instruksi tunggal untuk aneka jadwal kegiatan yang telah disusun. Ini sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun. Semuanya sudah baku dan sulit terbantahkan.

Bunyi lonceng malam itu mewajibkan Misel dan teman-temannya, serta semuanya menuju ruang makan. Ruang makan yang sangat luas, yang bisa menampung hingga tiga ratusan orang. Penghuni rumah karantina memang bisa mencapai jumlah sekian.

O ya, penghuni rumah karantina ini tergolong spesial. Spesial karena penghuninya hanya sejenis, yakni berjenis kelamin laki-laki. Mereka semua adalah pejantan tangguh nan tampan gaga perkasa sekaligus perjaka. Hal inilah yang membuat mereka dikagumi, dihargai, dihormati oleh masyarakat, juga oleh para perempuan, perawan, janda, duda, kakek, nenek, bayi, anak-anak, yatim, piatu dan yatim piatu.

Jamuan makan malam merupakan sesuatu yang paling ditunggu. Maklum, malam itu itu adalah malam minggu dengan menu spesial soup daging babi. Menu kesukaan mayoritas penghuni rumah karantina. Lagi pula tidak ada menu lain yang menjadi alternatif. Semua menikmatinya dalam nuansa senda gurau, persaudaraan nan kokoh dalam satu suara yakni suara para pejantan tangguh.

Tidak ada tampang perempuan di rumah karantina selain seorang juru masak dengan penampilan seadanya. Meski demikian, dia menjadi yang paling cantik  dari semua yang ada di sana. Karena memang hanya dialah satu-satunya perempuan yang ada di rumah itu. Kadang ia terlihat genit. Kadang juga cuek dan sombong tatkalah Misel mengganggunya dengan candaan penuh gelak tawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun