"Hidup itu bingung. Bingung. Bingung.  Ya, bingung saja. Bingung itu  linglung. Linglung itu konyol. Dan, konyol itu ideot. Aish.., aku ini ideot?"
"Ya, kau ideot. Bukankah kau menjalani hidup yang bukan pilihanmu?
"Betul. Tapi, aku ingin membuat ibuku bahagia."
Bahagia? Bukankah dia memperalatmu untuk menutupi perilaku bobroknya terhadap ayahmu?"
"Aku sudah memaafkannya dan tak pernah ingin mengingatnya lagi."
"O, ya? Tapi bukankah kau lebih memilih untuk kawin dari pada menjadi imam selibater yang berarti kau tidak boleh kawin?"
Inilah pergulatan batin Misel dalam permenungan pribadinya. Ia sungguh merasa terpenjara dalam kebingungan, antara memilih untuk mengikuti ibunya yang menghendaki agar ia menjadi imam/pastor berjubah putih dan tidak kawin, ataukah mengikuti dorongan batinnya untuk hidup sesuai kodratnya sebagai manusia yaitu kawin.
Saat itu matahari telah pergi. Gelap menyelimuti jagat. Suasana sepi, sunyi, hening, mengitari dan menyelimuti rumah karantina. Misel dan teman-temannya asyik bergulat dalam kesendirian. Semuanya taat dan setia menjalankan rutinitas pribadi dalam kamar masing-masing.
Tak ada bunyi-bunyian yang mengganggu. Selain teriakan babi di kandang yang sedang berebut makanan. Atau, mungkin sedang saling merayu dan berjuang menyetubuhi satu sama lain.
Teriakan babi memang bukanlah hal yang asing bagi Misel dan teman-temannya. Teriakannya sudah sekian akrab di telinga mereka sehingga tidak lagi merasa terganggu. Mungkin jika babi tidak berteriak akan muncul rasa kangen pada teriakan hewan tersebut.
Babi adalah binatang favorit. Setiap hari Sabtu malam, daging babi menjadi santapan yang selalu hadir di meja makan. Semua menyantapnya dengan penuh suka cita. Tidak ada haram-haraman atau najis-najisan. Semuanya halal. Dan, tak ada efek buruk yang dihasilkan kecuali badan yang tambun mirip tubuh hewan yang disantap.