Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jiwa Tersangkar (1)

14 Mei 2019   09:41 Diperbarui: 14 Mei 2019   09:55 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hidup itu bingung. Bingung. Bingung.  Ya, bingung saja. Bingung itu  linglung. Linglung itu konyol. Dan, konyol itu ideot. Aish.., aku ini ideot?"

"Ya, kau ideot. Bukankah kau menjalani hidup yang bukan pilihanmu?

"Betul. Tapi, aku ingin membuat ibuku bahagia."

Bahagia? Bukankah dia memperalatmu untuk menutupi perilaku bobroknya terhadap ayahmu?"

"Aku sudah memaafkannya dan tak pernah ingin mengingatnya lagi."

"O, ya? Tapi bukankah kau lebih memilih untuk kawin dari pada menjadi imam selibater yang berarti kau tidak boleh kawin?"

Inilah pergulatan batin Misel dalam permenungan pribadinya. Ia sungguh merasa terpenjara dalam kebingungan, antara memilih untuk mengikuti ibunya yang menghendaki agar ia menjadi imam/pastor berjubah putih dan tidak kawin, ataukah mengikuti dorongan batinnya untuk hidup sesuai kodratnya sebagai manusia yaitu kawin.

Saat itu matahari telah pergi. Gelap menyelimuti jagat. Suasana sepi, sunyi, hening, mengitari dan menyelimuti rumah karantina. Misel dan teman-temannya asyik bergulat dalam kesendirian. Semuanya taat dan setia menjalankan rutinitas pribadi dalam kamar masing-masing.

Tak ada bunyi-bunyian yang mengganggu. Selain teriakan babi di kandang yang sedang berebut makanan. Atau, mungkin sedang saling merayu dan berjuang menyetubuhi satu sama lain.

Teriakan babi memang bukanlah hal yang asing bagi Misel dan teman-temannya. Teriakannya sudah sekian akrab di telinga mereka sehingga tidak lagi merasa terganggu. Mungkin jika babi tidak berteriak akan muncul rasa kangen pada teriakan hewan tersebut.

Babi adalah binatang favorit. Setiap hari Sabtu malam, daging babi menjadi santapan yang selalu hadir di meja makan. Semua menyantapnya dengan penuh suka cita. Tidak ada haram-haraman atau najis-najisan. Semuanya halal. Dan, tak ada efek buruk yang dihasilkan kecuali badan yang tambun mirip tubuh hewan yang disantap.

Malam itu Misel bertugas sebagai piket pemegang waktu. Ia bak raja penguasa jagat sehingga waktu pun bisa dikuasainya. Tapi ia tidak dapat menjalankan fungsi itu dengan sewenang-wenang. Sebab jika hal itu terjadi, ia bakalan dipecat dengan tidak terhormat.

Ia sesungguhnya adalah suruhan dari seperangkat aturan yang sudah dibuat. Semuanya taat-tunduk pada aturan tersebut. Doa, belajar, kerja, makan dan berolah raga. Semuanya sudah dijadwalkan dengan rapi dan teratur.

Konon aturan ini akan membentuk karakter mereka guna menjadi pribadi yang benar-banar siap untuk mengabdi dalam tugas pelayanan sebagai imam. Mereka dilatih untuk menahan syawat karena kelak mereka tidak akan menikmati kemolekan tubuh perempuan meski hal itu selalu terlintas dalam benak mereka untuk melakukannya berkali-kali. Mereka telah memutuskan untuk tidak kawin seumur hidup.

Jarum jam menunjukkan pukul 19.00. Misel bangun dari meja belajarnya, menggerak-gerakan badan sejenak. Kemudian, merapikan tumpukan buku-buku filsafat dan teologi yang sudah dipelajari dan yang akan dipelajarinya. Ia membuka pintu kamarnya dan menutupnya kembali. Ia menuju menara Kapela (gereja) kemudian membunyikan lonceng sebanyak tiga kali.

"Teng...teng...teng..."

 Bunyi lonceng itu memecahkan keheningan sekaligus memberitahukan kepada semua penghuni rumah karantina untuk meninggalkan kesibukan dirinya. Penanda waktu merupakan hal yang sangat penting.

Bunyi lonceng adalah instruksi tunggal untuk aneka jadwal kegiatan yang telah disusun. Ini sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun. Semuanya sudah baku dan sulit terbantahkan.

Bunyi lonceng malam itu mewajibkan Misel dan teman-temannya, serta semuanya menuju ruang makan. Ruang makan yang sangat luas, yang bisa menampung hingga tiga ratusan orang. Penghuni rumah karantina memang bisa mencapai jumlah sekian.

O ya, penghuni rumah karantina ini tergolong spesial. Spesial karena penghuninya hanya sejenis, yakni berjenis kelamin laki-laki. Mereka semua adalah pejantan tangguh nan tampan gaga perkasa sekaligus perjaka. Hal inilah yang membuat mereka dikagumi, dihargai, dihormati oleh masyarakat, juga oleh para perempuan, perawan, janda, duda, kakek, nenek, bayi, anak-anak, yatim, piatu dan yatim piatu.

Jamuan makan malam merupakan sesuatu yang paling ditunggu. Maklum, malam itu itu adalah malam minggu dengan menu spesial soup daging babi. Menu kesukaan mayoritas penghuni rumah karantina. Lagi pula tidak ada menu lain yang menjadi alternatif. Semua menikmatinya dalam nuansa senda gurau, persaudaraan nan kokoh dalam satu suara yakni suara para pejantan tangguh.

Tidak ada tampang perempuan di rumah karantina selain seorang juru masak dengan penampilan seadanya. Meski demikian, dia menjadi yang paling cantik  dari semua yang ada di sana. Karena memang hanya dialah satu-satunya perempuan yang ada di rumah itu. Kadang ia terlihat genit. Kadang juga cuek dan sombong tatkalah Misel mengganggunya dengan candaan penuh gelak tawa.

Misel menaruh perhatian pada Juru Masak itu. Orang-orang di rumah karantina itu tidak memedulikan, apa lagi curiga. Teman-temannya juga berpikir bahwa tidak mungkin Misel jatuh cinta pada perempuan itu.

Apa yang dilakukan Misel sebenarnya sudah kelewat batas. Ia sering pura-pura tak sengaja menyenggol pantat juru masak yang hitam, gendut dan keriting itu. Perempuan juru masak itu sama sekali tak menyadari kalau Misel memang benar-benar ingin melampiaskan syawatnya.

"Aiish, Ini tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi. Aku harus menekan hasratku terhadap perempuan itu. Aku harus tahu diri."

Demikianlah Misel bergumul dalam hatinya. Namun, semakin ia mengekang dirinya, semakin hasratnya begitu kuat untuk menggauli perempuan juru masak itu.

"Aiissh...,hasrat, engkau terasa lebih kuat dari logika. Sebegitu dasyatnya engkau menguasai nalarku, hingga aku mengabaikan perbedaan antara benar dan salah, pantas dan tidak pantas. Aku tak bedanya dengan binatang yang memiliki insting untuk kawin. Aiish..., apakah aku sama dengan babi di dalam kandang itu?"

Misel terus bergulat dengan hasratnya sendiri. Hasrat yang kian bergelora untuk menyetubuhi perempuan juru masak itu. Dalam kaca mata syawatnya, wanita itulah yang paling cantik. Tidak ada pilihan lain karena dialah satu-satunya wanita yang ada di rumah karantina itu.

Misel sadar betul kalau keberadaannya di sana adalah untuk menuntut ilmu, membentuk karakter yang dipersiapkan secara khusus guna menjadi pastor/imam selibater. Namun, ia tak kuasa menahan hasrat yang kian mempengaruhi pikirannya.

"Beranak cuculah, dan bertambah banyak, penuhilah  bumi dan taklukanlah itu."

Demikian kitab Kejadian pasal 1 ayat 28 menegaskan. Sebuah amanat kitab suci yang tentu saja mesti diamalkan dan dilaksanakan dalam hidup. Ayat kitab suci inilah yang kian bergemuruh dalam hati Misel. Nats tersebut dirasakan sangatlah mendukung hasrat-syawatnya yang menggebuh-gebuh itu.

Namun ia belum benar-benar ingin menuntaskannya. Ia terhalang oleh kuatnya aturan yang membelenggu syawatnya. Walau demikian ia berusaha mencari kesempatan agar bisa mengganyang dan menikmati tubuh gempal perempuan juru masak di rumah karantina itu.

Suatu waktu di pagi hari nan subuh, Misel berjalan mengendap-endap agar tidak kedengaran bunyi langkah kakinya menuju dapur. Seperti biasanya perempuan juru masak itu bangun lebih awal dari semua penghuni rumah karantina.

Dari balik jendela dapur, Misel menatap seksama tubuh perempuan juru masak itu yang asyik membersikan ketel air. Misel terlelap dalam hasrat yang sulit terbendung. Ia bagai buaya lapar yang siap mencabik dan menelan mangsanya.

Apa dayanya bunyi lonceng di menara Kapela menghentikan lamunan dan hasrat liarnya.

"Teng...teng...teng...!"

"Aiish... lonceng. Engkau lagi-lagi menjadi penguasa atas diriku. Bukankah engkau benda mati? Tapi bagamana mungkin yang mati bisa menguasai yang hidup? Engkau benda mati yang hanya bisa berbunyi jika dibunyikan. Namun siapa gerangan yang membunyikan lonceng itu. Mungkinkah  angin yang menggerakkannya?"

Kata-kata yang diungkapkan Misel dalam hatinya tak lebih sebagai ekspresi kekesalannya atas bunyi lonceng yang membuyarkan libido tak terbendungnya. Namun, ia juga dikagetkan oleh perempuan gembrot yang tanpa ia sadari memperhatikan gerak-geriknya di balik jendela dapur.

Rupanya perempuan itu tahu apa yang telah dilakukan Misel yakni menggerak-gerakan kepalanya, tangannya, pantatnya, dan kakinya. Entah, bersetubuh dengan tembok, angin, jendela atau bayangan dirinya sendiri.

Misel terperanjat tatkala perempuan pembangkit hasratnya berdiri tegap di hadapannya dengan senyum penuh kemenangan.

"Misel, mengapa engkau ada di sini? Apa yang sedang engkau lakukan di pagi yang subuh ini?"

Tanya wanita itu dengan lembut dan pura-pura menyelidiki. Padahal ia sudah tahu apa yang telah dilakukan Misel dalam kesendirinya. Misel menatap perempuan itu dan meresponnya dengan tergagap-gagap.

"Hhmm... a...a...ku, a...a...ku, aku sed...sed...dang ber...ber...ber...do...do..do...a."

Sejenak mereka saling beradu pandang. Misel tak sanggup mengelak hasrat liarnya lewat kerlingan mata kirinya ke arah perempuan juru masak itu. Namun kesempatan itu terpaksa harus dilewatkan, soalnya semua penghuni rumah karantina sudah bangun.

Melihat aksi Misel terhadap dirinya, perempuan juru masak itu menarik nafas dalam-dalam. Ia terpesona oleh kerlingan mata Misel. Mata seorang pria bertubuh atletis dan berwajah tampan yang jika disandingkan dengan dirinya akan terlihat kontras. Hitam versus putih, keriting versus lurus, gembrot versus langsing, rendah versus tinggi dan jelek versus tampan.

"Tapi..., mengapa Misel melakukan hal itu? Bukankah dia adalah pria berjubah putih yang kelak akan menjadi imam selibater? Adakah dia sedang menyembunyikan syawat di balik jubah?"

Inilah sekelumit pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran perempuan juru masak itu. Ia bingung bercampur gembira dengan keraguan yang teramat besar. Ia sadar betul jika paras dan postur tubuhnya sama sekali tidak membangkitkan minat pria pada umumnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun