Setelah sampai ke Kabupaten Sanggau, Penderitaaan perjalanan belum selesai, Rombongan harus menginap dan beristirahat lagi untuk menunggu kendaraan melanjutkan perjalanan ke desa trimulya, tempat dimana area transmigrasi berada.
Perjalan selanjutnya dari Kabupaten Sanggau ke Desa Trimulya, Kecamatan Mukok menggunakan beberapa kendaraan roda empat berupa truk terbuka dengan jarak sekitar 41 Km. Jalanan yang masih tanah kuning dan kurang layak dilewati, membuat waktu perjalanan mencapai 7 jam lebih karena seringnya truk amblas di perjalanan.
Itulah sedikit cerita perjalanan kehidupan masyarakat transmigrasi, datang dengan susah payah, tidak membawa uang hanya membawa badan dan perbekalan pakaian sekedarnya.
Cerita kesedihan warga transmigrasi belum berakhir, kita akan bercerita tentang kehidupan setelah menempati rumah yang dijatah Pemerintah untuk setiap kepala keluarga.
Kehidupan Transmigrasi Era 80-an di Sanggau
Kehidupan Serba Kekurangan
Per 1 keluarga transmigrasi mendapat jatah dari pemerintah berupa 1 hektar lahan untuk bercocok tanam dan seper-empat hektar plus hunian rumah ukuran rumah BTN sekitar 10x15 meter dengan atap seng dan tembok dari papan dan lantai tanah.
Setiap bulan per kepala keluarga mendapat bantuan dari Pemerintah berupa beras 1 karung dan ikan asin untuk bertahan sampai warga transmigrasi bisa makan sendiri, dan bisa mandiri mengolah lahan pertaniian dari jatah tanah yang didapatkan.
Bosan karena setiap hari makan lauk ikan asin saja, duitpun tak ada, Â ibu kami dan tetangga pun inisiatif untuk menukarkan ikan asin dengan ikan segar atau sayur kepada penduduk asli Kalimantan yaitu masyarakat Dayak.
Lama kelamaan, kebiasaan barter pun dilakukan dan terjadi hubungan keakraban antara masyarakat trans dan masyarakat asli.
Transfer Ilmu Pertanian
Masyarakat Trans telah terbiasa bercocok tanam terutama Padi disatu tempat yaitu di lahan sawah, sedangkan masyarakat asli cara bercocok tanam padi masih berpindah-pindah dengan cara tebas lahan, bakar lalu tanam, seperti yang tertulis dalam pendidikan sejarah yang diajarkan waktu sekolah (berladang, bertegalan, dan bersawah).
Namun, lambat laun karena kami sering barter makanan dan terjadi keakraban, Masyarakat asli melihat langsung cara pertanian masyarakat trans, akhirnya sedikit demi sedikit masyarakat asli berubah cara  bercocok tanam, dan mengikuti cara bercocok taman masyarakat trans, walaupun pada tahun 2024 ini sebagian masyarakat asli masih menggunakan cara bercocok tanam cara lama, hal ini wajar karena pupuk langka dan mahal.
Kekeluargaan yang kuat
Pada tahun 80-an s/d 90 an, Masyarakat trans Desa Trimulya ketika itu memiliki hubungan emosional yang kuat antara keluarga trans yang satu dengan keluarga trans lainnya walaupun berbeda daerah asal, mungkin saat itu merasa senasib sepenanggungan, Sama sama berjuang untuk hidup, sama sama merasakan hidup kekurangan, kesusahan, tidak punya uang.