Cerita Anak Transmigrasi : Antara ada dan tiada hadirnya Pemerintah
Masih ingatkah anda generasi kelahiran tahun 80-an, Program Transmigrasi yang dicanangkan oleh Almarhum Presiden ke dua Indonesia, Bapak Soeharto yang menurut kami telah sukses membawa perubahan signifikan terutama dalam pembangunan yang merata dan transfer ilmu yang dibawa masyarakat transmigrasi dari jawa ke masyarakat lokal.
Sebelum kami ceritakan lebih dalam, kami adalah anak transmigrasi yang lahir di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Bapak dan Ibu kami asli dari Cilacap Jawa Tengah yang mengikuti program transmigrasi pada tahun 1982 lalu.
Perjalanan dari Jawa Ke Kalimantan
Kata ibu kami, Perjalanan dari Jawa sampai ke Kalimantan Barat sangat melelahkan dan membutuhkan berhari hari perjalanan atau sekitar satu minggu lebih. perjalanan dimulai dari Pelabuhan Tanjung Mas Semarang bersama ratusan rombongan keluarga dari berbagai daerah di jawa tengah seperti rawalo, kebumen, wonosobo, kalisari, purwokerto, dan masih banyak lagi.
Barang barang yang dibawapun bermacam macam mulai dari sepeda jengki, peralatan tukang, cangkul, arit,bibit tanaman, ayam hidup, burung di dalam sangkar, pakaian seadanya, radio, dan masih banyak lagi.
Waktu perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Mas Semarang ke Pelabuhan Pontianak sekitar 3 hari dengan menggunakan kapal penumpang seperti kapal lawit yang ukurannya besar sekali.
Perjalanan dari Pontianak ke Area Transmigrasi
Sesampainya di Pelabuhan, Rombongan transmigrasi beristirahat beberapa hari sambil menunggu kendaraan yang akan membawa mereka ke tempat tujuan.
Kemudian rombongan transmigrasi melanjutkan perjalanan dari Ibukota pontianak menuju kabupaten sanggau masih menggunakan angkutan air, bedanya menggunakan perahu kecil yang dinamakan perahu bandong.

Dari Pontianak menuju Kabupaten Sanggau jika menggunakan jalur darat jaraknya sekitar 195 Km atau sekitar 3 -4 jam waktu berkendara karena di zaman sekarang tahun 2024 jalur darat telah ter-aspal semuanya dibandingkan dengan dulu ketika era tahun 80-an bisa berhari hari, karena akses jalan rusak dan masih banyak jalan tanah dan tergenang banjir.
Karena alasan itulah, penggunaan transportasi air melewati sungai kapuas di era 80-an sangat penting, karena lebih cepat dibandingkan dengan jalur darat. Sungai Kapuas adalah Sungai terpanjang di Kalimantan Barat yang menghubungkan seluruh Kabupaten di Kalimantan Barat. Jadi Sungai di era 80-an merupakan jalan air tol terbaik dan tercepat.
Menggunakan jalur air, rombongan transmigrasi sampai di Kabupaten Sanggau sekitar 12 jam lebih. Keterbatasan tenaga mesin di perahu bandong yang membuat perjalanan lambat tapi lancar.
Setelah sampai ke Kabupaten Sanggau, Penderitaaan perjalanan belum selesai, Rombongan harus menginap dan beristirahat lagi untuk menunggu kendaraan melanjutkan perjalanan ke desa trimulya, tempat dimana area transmigrasi berada.
Perjalan selanjutnya dari Kabupaten Sanggau ke Desa Trimulya, Kecamatan Mukok menggunakan beberapa kendaraan roda empat berupa truk terbuka dengan jarak sekitar 41 Km. Jalanan yang masih tanah kuning dan kurang layak dilewati, membuat waktu perjalanan mencapai 7 jam lebih karena seringnya truk amblas di perjalanan.
Itulah sedikit cerita perjalanan kehidupan masyarakat transmigrasi, datang dengan susah payah, tidak membawa uang hanya membawa badan dan perbekalan pakaian sekedarnya.
Cerita kesedihan warga transmigrasi belum berakhir, kita akan bercerita tentang kehidupan setelah menempati rumah yang dijatah Pemerintah untuk setiap kepala keluarga.
Kehidupan Transmigrasi Era 80-an di Sanggau
Kehidupan Serba Kekurangan
Per 1 keluarga transmigrasi mendapat jatah dari pemerintah berupa 1 hektar lahan untuk bercocok tanam dan seper-empat hektar plus hunian rumah ukuran rumah BTN sekitar 10x15 meter dengan atap seng dan tembok dari papan dan lantai tanah.
Setiap bulan per kepala keluarga mendapat bantuan dari Pemerintah berupa beras 1 karung dan ikan asin untuk bertahan sampai warga transmigrasi bisa makan sendiri, dan bisa mandiri mengolah lahan pertaniian dari jatah tanah yang didapatkan.
Bosan karena setiap hari makan lauk ikan asin saja, duitpun tak ada, ibu kami dan tetangga pun inisiatif untuk menukarkan ikan asin dengan ikan segar atau sayur kepada penduduk asli Kalimantan yaitu masyarakat Dayak.
Lama kelamaan, kebiasaan barter pun dilakukan dan terjadi hubungan keakraban antara masyarakat trans dan masyarakat asli.
Transfer Ilmu Pertanian
Masyarakat Trans telah terbiasa bercocok tanam terutama Padi disatu tempat yaitu di lahan sawah, sedangkan masyarakat asli cara bercocok tanam padi masih berpindah-pindah dengan cara tebas lahan, bakar lalu tanam, seperti yang tertulis dalam pendidikan sejarah yang diajarkan waktu sekolah (berladang, bertegalan, dan bersawah).
Namun, lambat laun karena kami sering barter makanan dan terjadi keakraban, Masyarakat asli melihat langsung cara pertanian masyarakat trans, akhirnya sedikit demi sedikit masyarakat asli berubah cara bercocok tanam, dan mengikuti cara bercocok taman masyarakat trans, walaupun pada tahun 2024 ini sebagian masyarakat asli masih menggunakan cara bercocok tanam cara lama, hal ini wajar karena pupuk langka dan mahal.
Kekeluargaan yang kuat
Pada tahun 80-an s/d 90 an, Masyarakat trans Desa Trimulya ketika itu memiliki hubungan emosional yang kuat antara keluarga trans yang satu dengan keluarga trans lainnya walaupun berbeda daerah asal, mungkin saat itu merasa senasib sepenanggungan, Sama sama berjuang untuk hidup, sama sama merasakan hidup kekurangan, kesusahan, tidak punya uang.
Hampir dalam satu desa itu kita kenal satu sama lain, apalagi ketika lebaran tiba, kami dan teman teman biasa setelah shalat idul fitri berlalan sampai malam mengunjungi setiap rumah untuk bersalaman.
Untuk Penerangan saat itu ketika malam belum ada lampu listrik, Kami biasa menggunakan pelita minyak. Sedangkan keluarga yang menggunakan lampu patromak merupakan orang kaya di desa, yang biasanya mata pencahariannya berdagang jual sembako.
Untuk kebutuhan hiburan, malam hari kami dan teman teman berjalan kaki menuju tempat orang kaya yang memiliki TV, itupun masih TV hitam putih dan masih menggunakan daya aki.
Dengan ukuran TV 14 inc hitam putih, kamipun nonton bareng bersama masyarakat lain seperti layar tancap yang saat itu hanya channel TVRI saja. Acara yang kami senangi saat itu adalah film combat, Film tembak tembakan yang hanya memiliki 5-10 pasukan namun bisa mengalahkan berbagai musuh dan rintangan.
Listrik masuk ke Desa Trimulya sekitar tahun 1995, itupun kadang hidup 12 jam dan mati lampu juga lama lebih dari 12 jam, tapi kita sangat senang sudah bisa menikmati listrik.
Kesabaran Berbuah Manis
Pada tahun 2000-an keatas, Pabrik Kelapa Sawit Masuk. Hal ini yang merupakan tonggak perubahan perekonomian masyarakat trans.
Perusahaan menawarkan Program Kelapa Sawit Plasma, Perusahaan menyewa lahan para penduduk untuk ditanami sawit dan membagi keuntungan dengan bagi hasil dengan lama kontrak yang telah ditentukan perusahaan.
Masyarakat trans pun ramai ramai mendaftarkan diri untuk menyewakan lahan mereka ke perusahaan dan ada sebagian masih mempertahankan lahan sawah mereka untuk tetap bercocok tanaman padi.
Hadirnya Perkebunan Kelapa Sawit, memberikan lapangan pekerjaan yang sangat luas, masyarakat trans ada yang bekerja sebagai penanam sawit, perawat sawit, pemanen sawit bahkan ada yang bekerja di kantor perusahaan sawit.
Perekonomian pun semakin tumbuh, masyarakat trans sudah banyak yang punya uang, dan mencoba membeli lahan kosong dengan harga murah dan menanam sawit sendiri karena mereka sudah mengetahui ilmu persawitan dari perusahaan.
Bahkan ada yang sudah mampu membeli truk untuk angkutan buah sawit dijual ke perusahaan. Namun, seiring kemajuan pesat perkebunan kelapa sawit, Permasalahan selanjutnya adalah Jalan yang rusak parah karena setiap hari dilewati ber ton ton truk bermuatan buah sawit.
Antara ada dan tiada hadirnya Pemerintah
Permasalahan petani sawit terjadi ketika kontrak Perusahaan dan Petani sawit plasma berakhir, Sebelumnya ketika masih tanggung jawab perusahaan, setiap minggu selalu ada perbaikan jalan untuk jalur transportasi buah sawit.
Namun karena kontrak telah berakhiir maka tidak ada lagi perbaiakan jalan dan sebagian besar para petani telah mandiri, bisa memanen sendiri dilahan sendiri, bisa jual sendiri ke perusahaan.
Hal yang parah sering terjadi, ketika satu truk amblas di jalan makan truk yang lainnya tidak bakalan bisa lewat, Sepanjang jalan penuh dengan puluhan truk yang tidak bisa lewat, hanya kendaraan roda dua yang bisa melewati, itupun dengan susah payah menerjang lumpur.
Para Sopir truk biasanya menghadapi situasi seperti itu dengan bersatu, membantu truk yang amblas dengan cara menderek dengan satu truk didepannya, jika tidak bisa maka akan di derek dengan tenaga 2 truk didepannya, sungguh perjuangan keras para supir truk sawit saat itu.
Untuk menyelesaikan permasalahan itu, Para tokoh masyarakat desa berusaha mengusulkan proposal perbaikan jalan ke Pemerintah setempat, namun belum ada tanggapan dan tindak lanjut untuk memperbaiki jalan.
Sehingga para tokoh desa mengumpulkan para petani sawit untuk berdiskusi membahas masalah jalan dan akhirnya mereka bersepakat untuk melakukan iuran patungan dengan cara setiap truk yang lewat membawa buah sawit dikenakan biaya antara Rp. 50.000 - Rp. 150.000 untuk biaya perbaikan jalan, menimbun jalan rusak dengan batu kerikil, membuat parit dengan menyewa alat berat seperti exavator dan keperluan lain.
Dan sampai sekarang masih dilakukan, Walaupun Jalanan masih tanah dari desa ke pabrik, Truk pengangkut buah sawit sangat mudah melewati jalan walau dalam kondisi hujan karena sebagian besar jalan tanah telah tercampur dengan bebatuan kecil yang keras.
Jadi jangan heran jika ada para pejabat penting pemerintahan yang datang ke desa merasa dicuekin, dalam arti para petani di undang rapat namun rata rata mereka memilih memanen sawit atau pergi ke ladang, karena percuma, masyarakat petani sawit belum merasakan sentuhan manis kebijakan pemerintah yang membuat para petani sawit tersenyum.
Era Presiden Jokowi
Masyarakat Desa Trimulya, Kecamatan Mukok, Kabupaten Sanggau sedikit tersenyum karena di akhir Pemerintahan Jokowi pada tahun 2023, jalan dari Kecamatan Ke Kabupaten sudah ter-aspal dengan mulus namun belum sampai ke Desa-desa, hanya sebagian kecil saja jalan ranyanya ter-aspal.
Jalan jalan gang desa juga telah sebagian dibeton melalui program Desa, Jalan utama disetiap desa juga telah ter-aspal walaupun hanya jalan aspal 3 km saja belum seluruhnya jalan aspal tersambung antara desa.
Kemudian Jaringan 4G telkomsel dan Indosat telah mengudara dengan sinyal penuh terutama di Desa Trimulya.
Hal ini cukup meringankan para petani sawit yang setiap harinya dibebani dengan iuran perbaikan jalan yang mengurangi pendapatan mereka.
Sekarang, sebagian besar akses masih jalan tanah dari Desa menuju ke Kecamatan, Yang dulunya masyarakat golongan kaya di desa ini menggunakan kendaraan seperti strada, hilux atau kendaraan yang tinggi dan bergardan dua, sekarang terlihat sudah banyak masyarakat yang membeli mobil berjenis avanza, kijang, gran max dan lain lain, karena jalan tanah berbatu yang selalu diperbaiki oleh para petani sawit itu sendiri, Bukan Pemerintah.
Permasalahan Jalan
Jalan Raya Trans yang menghubungkan Desa Trimulya dan Desa Desa lainnya ke Kecamatan Mukok ketika musim kemarau mengakibatkan debu berterbangan ketika kendaran lewat dan sangat berbahaya karena hampir jalan tidak kelihatan karena debu.
Ketika musim hujan justru jalan terkena banjir dadakan akibat rendahnya jalan dengan aliran sungai yang menyebabkan terhentinya seluruh aktifitas masyarakat yang angkut sawit ke pabrik, masyarakat yang ke kota untuk berbelanja dagangan, berobat dan lain lain. Semoga tulisan ini menggugah Pejabat bersangkutan untuk bergerak meninggikan jalan raya trans ini yang merupakan jalan fital menghubungkan desa ke kecamatan dan kota kabupaten. Sehingga kami bisa merasakan hadirnya Pemerintah di Desa kami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI