Tulis Kartika Sari pula, etika dalam foto jurnalistik secara internasional diatur dalam the National Press Photographers Association'sCode of Ethics, yang di dalamnya berisi mengenai petunjuk hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pengambilan gambar foto jurnalistik. Pengambilan foto di beberapa area tertentu harus memperhatikan aturan dan etika yang berlaku.
Jadi, menjadi seorang fotografer yang profesional, apalagi untuk foto prewedding, sang fotografer maupun event organizer setidaknya harus mempersiapkan 3 ( tiga ) dokumen yang harus diserahkan kepada klien. Satu surat izin dari pihak event organizer ke manajemen lokasi foto. Surat izin dari klien ke manajemen lokasi foto, dan itu harus ditandatangani dan rangkap dua. Dan satu berkas berisi  surat perjanjian antara fotografer  dan klien yang wajib diketahui oleh penanggung  jawab lokasi foto.
Surat perjanjian dan ketentuan tersebut sudah menjadi hal yang biasa dilakukan dalam bisnis, terutama bisnis jasa . Bisnis pesan kirim kue ulang tahun saja ada perjanjian ketentuan yang berlaku kok, masa ini tidak ?
Surat surat tersebut harus berisi hak dan kewajiban pengelola, event organizer dan klien, termasuk di dalamnya kewajiban fotografer untuk menjunjung tinggi kerahasiaan dan hak foto yang dimiliki oleh klien.
Itulah fotografer profesional, setidaknya menurut saya. Bukan sekedar bisa memotret dengan baik dan menghasilkan foto yang bagus saja. Jelas juga bukan karena merek atau harga kamera atau lensanya saja. Juga bukan sekedar mencari cuan atau konten semata.
Butuh lebih dari itu untuk bisa menjadi fotografer profesional.
Seorang fotografer yang profesional, sama seperti profesi lainnya yang terikat perjanjian kode etik.Â
Semoga tidak terulang lagi tragedi Bukit Teletubbies atau lokasi lain yang terbakar karena lalainya seorang fotografer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H