Mohon tunggu...
yanse arfinando
yanse arfinando Mohon Tunggu... Administrasi - Lebih berbahagia memberi daripada menerima

Pemerhati lingkungan dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Berkaca pada Tokyo Garbage War

31 Oktober 2018   09:01 Diperbarui: 25 November 2019   08:06 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa penghadangan truk sampah DKI Jakarta oleh Dinas Perhubungan Kota Bekasi mestinya menjadi momentum bagi para stakeholders khususnya Kepala Daerah untuk mengambil pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengelola sampah perkotaan yaitu secara terintegrasi mulai dari sumbernya (rumah, kantor, pertokoan, pasar dan fasilitas umum) hingga ke TPA. Secara terintegrasi maksudnya adalah sampah ditangani sebagai 1 (satu) rangkaian proses yang berkelanjutan mulai dari pengurangan jumlah timbulan sampah (generated waste) pada sumbernya hingga pengurangan jumlah sampah yang ditimbun di TPA.

Bila yang digunakan adalah pendekatan kebersihan dan keindahan kota saja maka bisa dipastikan jumlah timbulan sampah yang terkumpul di TPS adalah sama dengan yang ditimbun di TPA. 

Hal ini dikarenakan sampah hanya dibuang tanpa ada proses pengolahan.  

Hasilnya TPA menjadi cepat penuh dan mengundang masalah kesehatan, lingkungan dan sosial bagi masyarakat di sekitarnya.

Karenanya adalah mutlak untuk mengedukasi masyarakat sedari usia dini untuk tidak hanya bisa membuang sampah pada tempatnya tapi juga menangani dan mengolah sampah yang dihasilkannya. 

Penting diperhatikan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, TPS bukanlah Tempat Pembuangan Sementara tapi Tempat Penampungan Sementara; dan TPA bukanlah Tempat Pembuangan Akhir tapi Tempat Pemrosesan Akhir

Artinya paradigma kita harus berganti (sejak 10 tahun yang lalu) dari semula memandang sampah sebagai sesuatu yang harus dibuang menjadi sumberdaya (resource) yang harus ditangani, diolah, diproses sehingga dapat dimanfaatkan bahkan bernilai ekonomi.  

Perubahan paradigma inilah yang akan menghasilkan penurunan jumlah baik timbulan sampah maupun sampah yang ditimbun di TPA.

Peristiwa “Garbage War” menjadi momentum bagi Pemerintah Metropolitan Tokyo (membawahi 23 kota) untuk melakukan pengelolaan sampah kota secara terpadu dengan mengembangkan fasilitas-fasilitas pengolahan sampah (waste processing facilities) yang jenisnya bersesuaian dengan pemilahan sampah yang dilakukan oleh warganya.  

Sebagai contoh saat ini Pemerintah Kota Minato menyediakan 4 (empat) jenis fasilitas pengolahan sampah sehingga warga Minato diminta untuk memilah sampahnya menjadi 4 (empat) jenis pula yaitu sampah yang dapat dibakar, sampah yang tidak dapat dibakar, sampah berukuran besar dan sampah yang dapat didaur ulang.  Untuk memastikan keterpilahannya maka dilakukan pengumpulan dan pengangkutan pada hari yang berbeda untuk setiap jenis sampah.  

Setelah sampah diolah maka hanya residu/sisa dari fasilitas-fasilitas pengolahan sampah tersebut yang diangkut dan ditimbun di TPA. Untuk Tokyo bahkan Jepang secara umum insinerator menjadi fasilitas pengolahan sampah yang diandalkan karena dengan proses pembakaran terkendali pada suhu 800oC bisa mengurangi volume sampah hingga menjadi 5% volume asal dalam bentuk abu (Clean Authority of Tokyo, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun