Pada pertengahan Oktober 2018 media pemberitaan baik cetak maupun elektronik diramaikan dengan berita penghadangan belasan truk sampah DKI Jakarta yang hendak menuju ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.
Peristiwa serupa pernah terjadi di Jepang pada tahun 1971. Kala itu warga kota Koto memprotes dan memblokade jalan yang dilalui truk-truk pengangkut sampah dari 23 kota di Tokyo yang menuju TPA di daerah mereka.
Mengutip data dari Takashi Nakazawa pada Jurnal Local Environment (Vol. 22, 2017) pada waktu itu ada lebih dari 5.000 truk sampah setiap hari melintasi Koto mengangkut lebih dari 9.000 ton sampah.
Alhasil warga Koto terkena dampaknya: sampah yang tercecer di jalan raya, kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan polusi udara yang disebabkan oleh truk-truk sampah tersebut, juga berkembangnya lalat dan tikus serta bau yang menyengat dari timbunan sampah.
Akibat protes warga Koto, Gubernur Tokyo saat itu menyatakan Perang Melawan Sampah (Garbage War). Pernyataan perang tersebut menegaskan bahwa permasalahan sampah merupakan ancaman serius terhadap kehidupan sehari-hari manusia.
Ironinya manusia secara alami, sadar atau tidak, cenderung ingin menyingkirkan sampah dari pandangannya tanpa terlalu peduli kemana perginya.
Contohnya kebiasaan (buruk) membuang sampah ke sungai. Apakah si pelaku peduli bahwa aliran air akan membawa sampahnya ke hilir dan menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai yang memicu banjir saat hujan datang?
Atau kelakuan yang lebih beradab seperti buang air besar pada jamban di fasilitas umum. Tahukah kita kemana kotoran itu pergi setelah disiram/di-flush? Asalkan dia sudah lenyap dari pandangan, beres urusan bukan?
Demikianlah masalah sampah. Tampaknya saat ini kebanyakan pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia masih menggunakan pendekatan kebersihan dan keindahan kota semata. Yang penting tidak ada sampah menumpuk dan berceceran di dalam kota.
Sampah diangkut ke TPA di luar kota, atau dalam kasus DKI Jakarta diangkut ke luar wilayah administrasi pemerintahannya yaitu ke Bekasi di Provinsi Jawa Barat. Nanti kalau TPA-nya sudah penuh atau kalau truk sampahnya di hadang barulah kelimpungan.
Sampah menumpuk di dalam kota karena tidak terangkut hingga meluber ke jalan dan menimbulkan polusi udara dan mata.
Peristiwa penghadangan truk sampah DKI Jakarta oleh Dinas Perhubungan Kota Bekasi mestinya menjadi momentum bagi para stakeholders khususnya Kepala Daerah untuk mengambil pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengelola sampah perkotaan yaitu secara terintegrasi mulai dari sumbernya (rumah, kantor, pertokoan, pasar dan fasilitas umum) hingga ke TPA. Secara terintegrasi maksudnya adalah sampah ditangani sebagai 1 (satu) rangkaian proses yang berkelanjutan mulai dari pengurangan jumlah timbulan sampah (generated waste) pada sumbernya hingga pengurangan jumlah sampah yang ditimbun di TPA.
Bila yang digunakan adalah pendekatan kebersihan dan keindahan kota saja maka bisa dipastikan jumlah timbulan sampah yang terkumpul di TPS adalah sama dengan yang ditimbun di TPA.
Hal ini dikarenakan sampah hanya dibuang tanpa ada proses pengolahan.
Hasilnya TPA menjadi cepat penuh dan mengundang masalah kesehatan, lingkungan dan sosial bagi masyarakat di sekitarnya.
Karenanya adalah mutlak untuk mengedukasi masyarakat sedari usia dini untuk tidak hanya bisa membuang sampah pada tempatnya tapi juga menangani dan mengolah sampah yang dihasilkannya.
Penting diperhatikan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, TPS bukanlah Tempat Pembuangan Sementara tapi Tempat Penampungan Sementara; dan TPA bukanlah Tempat Pembuangan Akhir tapi Tempat Pemrosesan Akhir.
Artinya paradigma kita harus berganti (sejak 10 tahun yang lalu) dari semula memandang sampah sebagai sesuatu yang harus dibuang menjadi sumberdaya (resource) yang harus ditangani, diolah, diproses sehingga dapat dimanfaatkan bahkan bernilai ekonomi.
Perubahan paradigma inilah yang akan menghasilkan penurunan jumlah baik timbulan sampah maupun sampah yang ditimbun di TPA.
Peristiwa “Garbage War” menjadi momentum bagi Pemerintah Metropolitan Tokyo (membawahi 23 kota) untuk melakukan pengelolaan sampah kota secara terpadu dengan mengembangkan fasilitas-fasilitas pengolahan sampah (waste processing facilities) yang jenisnya bersesuaian dengan pemilahan sampah yang dilakukan oleh warganya.
Sebagai contoh saat ini Pemerintah Kota Minato menyediakan 4 (empat) jenis fasilitas pengolahan sampah sehingga warga Minato diminta untuk memilah sampahnya menjadi 4 (empat) jenis pula yaitu sampah yang dapat dibakar, sampah yang tidak dapat dibakar, sampah berukuran besar dan sampah yang dapat didaur ulang. Untuk memastikan keterpilahannya maka dilakukan pengumpulan dan pengangkutan pada hari yang berbeda untuk setiap jenis sampah.
Setelah sampah diolah maka hanya residu/sisa dari fasilitas-fasilitas pengolahan sampah tersebut yang diangkut dan ditimbun di TPA. Untuk Tokyo bahkan Jepang secara umum insinerator menjadi fasilitas pengolahan sampah yang diandalkan karena dengan proses pembakaran terkendali pada suhu 800oC bisa mengurangi volume sampah hingga menjadi 5% volume asal dalam bentuk abu (Clean Authority of Tokyo, 2016).
Disertai dengan kesadaran masyarakatnya untuk mengurangi dan memilah sampahnya, saat ini Jepang telah berhasil menekan jumlah timbulan sampah perkotaan.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup Jepang (2016) dalam kurun waktu 2000-2015 terjadi penurunan jumlah timbulan sampah hingga hampir 20%; secara per kapita pada tahun 2015 rata-rata jumlah sampah yang dihasilkan penduduk Jepang adalah 939 gr/hari dan yang sampai di TPA setelah melalui pemrosesan hanya 90 gr/hari (9,58%) atau kurang lebih sebesar 1 (satu) bungkus mie instan saja!
Peristiwa penghadangan truk sampah DKI Jakarta oleh Dinas Perhubungan Kota Bekasi semestinya membangkitkan kesadaran para pemangku kebijakan untuk mengambil langkah nyata yaitu membangun fasilitas-fasilitas pengolahan sampah ataupun mendayagunakan Bank Sampah yang telah ada di kotanya, sehingga ke depannya tidak ada lagi sampah yang diangkut ke TPA tanpa melalui fasilitas-fasilitas pengolahan sampah tersebut.
Sejalan dengan itu pengarusutamaan konsep 3R (Reduce, Reuse & Recycle) harus dilakukan secara sistematis dan terencana sehingga mendarahdaging dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bila ada kebersamaan pemerintah dan masyarakat, niscaya permasalahan sampah dapat ditangani dengan baik.
*) Penulis pernah mengikuti Staff Enhancement Program dari Bappenas dengan Topic: Waste Management pada tanggal 2-28 Oktober 2017 di Tokyo - Jepang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H