Mohon tunggu...
yanse arfinando
yanse arfinando Mohon Tunggu... Administrasi - Lebih berbahagia memberi daripada menerima

Pemerhati lingkungan dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Berkaca pada Tokyo Garbage War

31 Oktober 2018   09:01 Diperbarui: 25 November 2019   08:06 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pertengahan Oktober 2018 media pemberitaan baik cetak maupun elektronik diramaikan dengan berita penghadangan belasan truk sampah DKI Jakarta yang hendak menuju ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. 

Peristiwa serupa pernah terjadi di Jepang pada tahun 1971.  Kala itu warga kota Koto memprotes dan memblokade jalan yang dilalui truk-truk pengangkut sampah dari 23 kota di Tokyo yang menuju TPA di daerah mereka.  

Mengutip data dari Takashi Nakazawa pada Jurnal Local Environment (Vol. 22, 2017) pada waktu itu ada lebih dari 5.000 truk sampah setiap hari melintasi Koto mengangkut lebih dari 9.000 ton sampah. 

Alhasil warga Koto terkena dampaknya: sampah yang tercecer di jalan raya, kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan polusi udara yang disebabkan oleh truk-truk sampah tersebut, juga berkembangnya lalat dan tikus serta bau yang menyengat dari timbunan sampah.   

Akibat protes warga Koto, Gubernur Tokyo saat itu menyatakan Perang Melawan Sampah (Garbage War). Pernyataan perang tersebut menegaskan bahwa permasalahan sampah merupakan ancaman serius terhadap kehidupan sehari-hari manusia.

Ironinya manusia secara alami, sadar atau tidak, cenderung ingin menyingkirkan sampah dari pandangannya tanpa terlalu peduli kemana perginya. 

Contohnya kebiasaan (buruk) membuang sampah ke sungai. Apakah si pelaku peduli bahwa aliran air akan membawa sampahnya ke hilir dan menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai yang memicu banjir saat hujan datang?  

Atau kelakuan yang lebih beradab seperti buang air besar pada jamban di fasilitas umum. Tahukah kita kemana kotoran itu pergi setelah disiram/di-flush? Asalkan dia sudah lenyap dari pandangan, beres urusan bukan?

 Demikianlah masalah sampah.  Tampaknya saat ini kebanyakan pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia masih menggunakan pendekatan kebersihan dan keindahan kota semata.  Yang penting tidak ada sampah menumpuk dan berceceran di dalam kota. 

 Sampah diangkut ke TPA di luar kota, atau dalam kasus DKI Jakarta diangkut ke luar wilayah administrasi pemerintahannya yaitu ke Bekasi di Provinsi Jawa Barat.  Nanti kalau TPA-nya sudah penuh atau kalau truk sampahnya di hadang barulah kelimpungan.  

Sampah menumpuk di dalam kota karena tidak terangkut hingga meluber ke jalan dan menimbulkan polusi udara dan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun