Ribut-ribut antara Bu Tinah, Bendahara RW, dan Ceu Odah diselesaikan oleh Pak Sekel dengan bijaksana. Mereka berdamai dan saling bermaafan. Pak Sekel meminta saksi dari beberapa RT untuk menandatangani perjanjian bermaterai bahwa mereka harus bersikap baik dan adil terhadap Bu Tinah, Ceu Odah, dan Pak Bendahara RW.
"Janji, ya, saudara-saudara? Jangan ada fitnahan dan ghibahan mengenai Bu Tinah, Pak Bendahara, dan Ceu Odah lagi. Mari kita jaga kondusivitas RW 02 dan Kampung Trinil pada umumnya," ujar Pak Sekel.
Kor warga terdengar serempak, "Janjiiii."
Tiga pekan berlalu dengan tenang di Kampung Trinil sampai satu kehebohan terjadi. Warga berkumpul di warung kopi Cak Faris sambil mengerumuni Bang Mail dari RT 08. Bang Mail jengkel bukan kepalang. Dia gagal jadi anggota Pasukan Oranye padahal pekerjaan itu sudah di depan mata.Â
"Saya udah lolos tes kesehatan. SKCK diterima. Surat lamaran disetujui. Singkatnya saya itu udah diterima kerja. Eh, dua menit mau penutupan tiba-tiba nama saya dihapus, diganti sama nama anak Pak Lurah. Gimana saya kagak jengkel!"
"Emangnya anak Pak Lurah enggak kepengen kerja kantoran, apa? Kan dia sarjana," timpal Bang Udin.
"Elu semua pada pura-pura bego aja. Pasukan Oranye itu gaji gede kerja cuma nyapuin jalan sama mungut sampah. Siapa yang kagak ngiler," tukas Cang Rohim dari RT 03.
"Emang berapa gajinya?"
"Empat jutaan kalo kagak salah. Belon termasup tunjangan. Iya, gak, Mail?!" timpal Cang Rohim lagi. Mail mengangguk, "Ya kira-kira segitu, dah."
"Terus kalo gak keterima elu mau kerja apaan, Mail?" tanya teman Bang Mail yang berambut cepak.
Kasak-kusuk di RW 02 soal orang-dalam di perekrutan Pasukan Oranye terus menggema dan akhirnya jadi bola liar.Â