Sekarang murid sekolah sedang menikmati libur semester gasal (ganjil) sekaligus Natal dan tahun baru sampai 2 Januari 2024 nanti.Â
Bagi murid kelas akhir (6 SD dan 9 SMP) yang mengejar sekolah idaman lewat jalur prestasi, nilai rapor di semester gasal inilah salah satu yang menentukan lolos tidaknya mereka di jalur prestasi.
Sejak PPDB Zonasi diberlakukan pada tahun ajaran 2017/2018, ada empat jalur yang disediakan pemerintah untuk bisa diterima sebagai murid di satu sekolah, yaitu jalur zonasi, jalur prestasi, jalur afirmasi, dan jalur kepindahan (tugas) orang tua. Belakangan jalur prestasi makin memperbesar harapan calon peserta didik yang rumahnya di luar zonasi, tapi ingin masuk sekolah unggulan.
Kemdikbudristek sendiri telah menetapkan, lewat Permendikbud No. 44 Tahun 2019 Tentang PPDB, bahwa kuota jalur prestasi maksimal 30 persen (semula 5 persen). Di Kabupaten Magelang kuota jalur prestasi untuk SMP banyaknya 20 persen dan SMA 25 persen dari total daya tampung sekolah.
Ini jadi angin segar buat sekolah (yang dulunya) unggulan. Mereka bisa menerima murid pandai lebih banyak untuk mengembalikan pamor sebagai sekolah berprestasi terutama di bidang akademik. Makanya murid yang rumahnya tidak masuk zonasi di SMP dan SMA unggulan kini terpacu lagi untuk dapat nilai rapor yang tinggi.
Nilai yang disyaratkan untuk murid SD dan SMP yang ingin masuk jalur prestasi adalah nilai rata-rata rapor yang tinggi di lima semester terakhir.
Akan tetapi, makin besarnya kuota jalur prestasi ternyata juga menarik minat lulusan madrasah. Di jalur prestasi mereka bisa unggul telak kalau bisa menghapal Al-Qur'an beberapa juz (bab/bagian) sekaligus. Inilah kemudian yang memicu kecemburuan dari lulusan sekolah umum.
Eh, tunggu. Sudah PPDB Zonasi, kok, orientasinya masih ngincer sekolah unggulan?
Realita di desa sedikit berbeda dengan di kota. Orang desa lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah negeri (berlabel unggulan) walau secara ekonomi mereka mampu bayar sekolah swasta yang mahal. Alasannya termaktub dalam tiga hal berikut.
1.  Mutu akademik dan nonakademik di sekolah negeri unggulan sudah terbangun selama puluhan tahun. Selain nilai rata-rata akademik muridnya lebih tinggi dibanding sekolah nonunggulan, prestasi nonakademiknya pun segudang.
Komite Sekolah di negeri juga berani mengumpulkan sumbangan dari orang tua/wali untuk menyokong aneka kegiatan sekolah sampai ke tingkat nasional.
Walau nilai rapor si anak ada di urutan buncit, dia masih lebih pintar dibanding anak yang sekolah di negeri nonunggulan, bahkan swasta.
Maka jadi murid yang belajar di sekolah unggulan adalah kebanggaan walau dia sendiri tidak punya prestasi apa-apa di sekolah.
2. Murid sekolah unggulan hampir tidak pernah terlibat tawuran antarpelajar dan kejahatan jalanan. Mana ada orang tua yang mau menyekolahkan anak di sekolah yang terkenal tukang tawuran atau sering ada perpeloncoan kakak kelas ke adik kelasnya.
Di daerah, murid sekolah negeri unggulan amat sangat jarang terlibat tawuran dan kejahatan jalanan. Ini jadi pertimbangan orang tua untuk menjaga anak mereka tetap aman.
3. Lulusan sekolah negeri unggulan punya prestise dibanding lulusan swasta ketika mereka kuliah, bekerja, sampai punya anak-cucu.
Mereka akan dipandang sebagai anak yang pandai dan mudah menyerap ilmu, apalagi kalau berturut-turut belajar di sekolah negeri unggulan dari SD sampai SMA.
4. Orang tua yang masih memegang nilai-nilai tradisional lebih memilih memasukkan anak ke sekolah negeri meski sekolah swasta berbasis agama dan internasional sudah menjamur dan menawarkan kualitas pendidikan nomor wahid.
Sebabnya karena sekolah negeri dianggap masih punya rem pakem untuk tidak jor-joran dan berlebihan saat mengadakan segala kegiatan yang berhubungan dengan sekolah.
5. Jumlah sekolah SMP dan SMA negeri unggulan terbatas. Sebagai contoh, di tempat kami tinggal di Kecamatan Muntilan, Magelang cuma ada tiga SMP negeri dan satu SMA negeri. Bandingkan dengan kota kelahiran saya di Kebayoran Baru, Jaksel yang punya tujuh SMP Negeri dan empat SMA negeri.
Mutu tiap SMP di Kebayoran Baru pun relatif sama, tapi di Muntilan cuma satu SMP yang dikenal sebagai sekolah unggulan. Dua SMP lain "cuma" jadi serep buat mereka yang tidak diterima di SMP unggulan tersebut.
Maka tidak heran kalau orang tua dan murid berlomba memacu prestasi supaya kelak diterima di sekolah negeri unggulan dari jalur prestasi. Di jenjang SMP, jarak terjauh dari rumah ke sekolah maksimal 1,4 kilometer, kecuali di daerah yang penduduknya jarang dan persebaran sekolahnya tidak merata.
Pada jenjang SMA masih mending. Jarak terjauh di PPDB Zonasi ada di lingkup kecamatan, kecuali di kota besar yang jumlah sekolahnya lebih banyak atau di daerah yang persebaran sekolahnya sedikit.
Soal sekolah unggulan ini pemerintah sendiri yang menetapkan-sebelum tahun 2015, bahkan ada sekolah model (rujukan) yang semua programnya jadi contoh bagi lima sekolah lain di sekitarnya.
Prestasi Berjenjang dan Orang Dalam
Melihat alasan di atas maka kita bisa maklum kalau tiap tahun selalu muncul seabrek protes dan ungkapan kekecewaan soal PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).Â
Pada jalur prestasi, prestasi yang diakui dalam PPDB haruslah yang berjenjang dan diselenggarakan oleh "negara" seperti dinas pendidikan setempat, Balai Bahasa Provinsi, KKG (Kelompok Kerja guru), dan kepramukaan.
Juara 1 nasional langsung diterima bila mendaftar lewat jalur prestasi sebab skor mereka paling tinggi. Skor ini cuma bisa ditandingi oleh para penghapal Al-Qur'an. Namun, kalau si murid juara nasional lewat lomba beregu seperti Pramuka atau cabang rebana di MAPSI (Mata Pelajaran Agama islam dan Seni Islami), maka skornya lebih kecil dari peserta perorangan. Posisi pemegang piagam dari cabang beregu ini tidak aman kalau pada sekolah yang dituju banyak penghapal Al-Qur'an lulusan madrasah yang mendaftar di jalur prestasi.
Sementara itu, untuk menambah skor, murid yang nilai rata-rata rapornya tinggi boleh menyertakan piagam di lomba 'negara" yang diikutinya-kalau dia minimal menang di tingkat kabupaten/kota. Piagam yang disertakan pun tidak boleh semuanya. Murid hanya boleh memilih satu saja piagam yang didapat dari jenjang tertinggi.
Jadi walau si murid menang lomba cerdas-cermat tingkat nasional, tapi kalau yang mengadakan pihak swasta, kemenangan itu tidak bisa jadi modal masuk jalur prestasi.
Sayangnya, kompetisi yang diadakan "negara" masih kental dilumuri campur tangan orang-dalam. Orang-dalam itu bisa berasal dari panitia, juri, bahkan pelatih yang punya kepentingan hingga akhirnya sulit berlaku jujur dan adil. Peserta yang tampil amat bagus dan layak menang harus tersingkir karena anak dewan juri ternyata jadi peserta di lomba tersebut.
Keberpihakan pelatih juga bisa jadi batu sandungan. Kelompok hadroh anak kami pernah dicurangi pelatihnya sendiri dengan durasi latihan yang sedikit dan sengaja menukar dua keyboard yang berbeda merek dan setelan.
Related:Â Ketika Pelatih Memenangkan Satu Asuhannya dengan Melemahkan yang Lain
Sementara itu kami pernah mendengar sendiri panitia suatu lomba bilang jangan (kecamatan) Muntilan lagi  yang menang ke kabupaten. Gantian dari kecamatan lain biar adil. Lho, itu, kan, kompetisi, wajarnya yang terbaik yang menang, bukan menang karena jatah giliran.
Hafidz-hafidzah dan Ketidakpuasan dari Lulusan Sekolah Umum
Sementara itu, selain berjibaku dengan pendaftar di jalur zonasi dan kehadiran orang-dalam saat berkompetisi, para pejuang jalur prestasi kini juga kedatangan para hafidz dan hafidzah. Siapa sangka lulusan madrasah yang tadinya dipandang sepicek mata, ternyata bisa melibas juara nasional yang ingin masuk ke sekolah negeri unggulan.Â
Pada PPDB SMP tahun ajaran 2023/2024, salah satu SMP unggulan di Kabupaten Magelang kebanjiran pendaftar penghapal Al-Qur'an dari sekolah dibawah naungan NU dan Muhammadiyah. Hal ini mengakibatkan lulusan SD negeri yang biasanya mudah masuk ke SMP unggulan berdasarkan nilai rapor jadi gigit jari.
Orang tua yang anaknya gagal masuk sekolah unggulan kemudian protes kenapa jalur prestasi lulusan sekolah agama yang ada dibawah Kemenag disamakan dengan lulusan sekolah umum yang dinaungi Kemdikbudristek.Â
Kalau saya pribadi, sih, melubernya lulusan madrasah yang mendaftar ke sekolah negeri bisa dimaklumi. Tidak selamanya seorang murid ingin sekolah terus di madrasah. Lagipula belum ada kompetisi hafidz/hafidzah yang diadakan "negara". Musabaqah Tilawatil Qur'an yang kita kenal selama ini diprakarsai oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang dilembagakan secara nasional dengan dukungan pemerintah.
Makanya wajar para penghapal Qur'an ini dapat skor paling tinggi. Menghapal Al-Qur'an tidak seperti menghapal buku bacaan sebab ada ilmu yang harus dikuasai dalam membacanya, minimal tajwid dan qiraat. Hanya saja kalau disatukan dengan lulusan sekolah umum yang ingin-meneruskan-ke-sekolah-umum, memang rasanya kurang pas.
Maka dari itu, untuk mereduksi mangkel dan kezel di kalangan orang tua lulusan sekolah umum, penyatuan ini kita pandang saja sebagai persamaan hak pendidikan bagi semua anak Indonesia dan prinsip PPDB itu sendiri yang nondiskriminatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H