Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sayuran Samin

30 November 2020   15:46 Diperbarui: 30 November 2020   18:45 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: clipart.library.com

"Kok sayurnya layu semua? Sayur begini jangan dijual, Mas, bisa bikin sakit orang," kata seorang Ibu ketika Samin menawarkan dagangannya.

"Ini memang sayur layu sisa kemarin, Bu. Ibu boleh beli harga berapa saja terserah Ibu," jawab Samin.

"Mana ada yang mau beli sayur layu begini. Kalau saya sekeluarga sakit apa kamu mau tanggung jawab?!"

Samin diam saja tidak tahu harus menjawab apa. Digaruknya kepalanya yang tidak gatal.

Entah Ibu itu berceloteh apa lagi karena Samin tidak mendengarkan. Dia hanya sekilas mendengar kata "dilaporkan ke polisi" lalu pikirannya teringat kembali pada hari yang lalu ketika ibunya minta dibelikan losion anti nyamuk. 

Beberapa hari ini memang nyamuk sedang merajalela. Tidak malam tidak siang kulit bentol-bentol digigit nyamuk.

Ibunya gembira bukan kepalang saat menerima dua sachet losion anti nyamuk beraroma jeruk yang dibelikan Samin di warung Mpok Sopiah. Samin juga membelikan ibunya roti sobek dua rasa, telur ayam, dan mi instan bergambar penyanyi Korea seperti di televisi.

Ibunya hampir tidak pernah minta apa-apa meski Samin sering menawarkan macam-macam, maka ketika ibunya minta roti, telur, dan mi instan, Samin segera membelikannya.

Sekarang Samin kehabisan modal karena harus membeli pulsa untuk keponakannya mengerjakan tugas sekolah. 

Kata keponakannya kuota dari kementerian masih ada, tapi tidak bisa dipakai. Bagaimana kuotanya ada tapi tidak bisa dipakai? Samin tidak ambil pusing. Dia kembali ke warung Mpok Sopiah untuk membeli pulsa karena Mpok Sopiah tidak jualan paket kuota.

Keponakan Samin lebih suka minta uang pada Samin ketimbang minta pada ibunya yang adalah kakak kandung Samin. Mungkin karena takut ibunya marah karena dimintai uang atau tahu diri upah mingguan ibunya sebagai tukang cuci-setrika tidak banyak.

Dimana ayah si keponakan? Sudah meninggal tahun lalu. Motor ojeknya terserempet kereta karena si penumpang memaksa menerobos palang perlintasan.

Maka hari ini Samin terpaksa menjual sayuran dua hari lalu yang belum laku.

Si ibu yang tadi menceramahi Samin sudah pergi dan Samin kembali menawarkan sawi putih, kacang panjang, kubis, kentang, wortel, bayam, tomat, dan ketimun kepada orang-orang yang lewat di depan lapaknya.

Dan itu adalah hari terakhir Samin berjualan. Hari-hari berikutnya lapak itu kosong. Sepi. Kotor dihinggapi debu kemarau yang panasnya seperti membakar raga.

Pada hari ke delapan sejak lapak Samin kosong ada perempuan yang mendatangi rumah Samin. Diketuknya pintu rumah Samin yang terbuka lebar sambil mengucap Assalamualaikum. 

Anak-anak kecil tetangga Samin mengintip-intip sambil tertawa-tawa dari balik tembok. Anak-anak itu mengira Samin kedatangan artis.

Samin menghampiri dan perempuan itu langsung bicara.

"Saya Sally, Mas Samin. Saya tiap hari lewat depan lapak Anda. Tapi sudah seminggu ini lapak Mas Samin kosong..."

"Kak, kenalkan saya Anto," keponakan Samin datang tiba-tiba dan menyorongkan tangannya hendak berjabat tangan.

"Husss!" Samin cepat membuat gerakan mengusir dengan tangannya, mencegah keponakannya menyentuh tangan Sally.

"Maaf, keponakan saya memang tidak sopan," ujar Samin. "Ada keperluan apa ya, Mbak Sally? Apa sebelumnya kita pernah bertemu?"

Sally tersenyum. Pipi kanannya yang berlesung pipit membuat wajahnya makin memesona.

"Sudah seminggu saya lihat lapak Mas Samin kosong, apa Anda sudah tidak jualan lagi?"

Angin tiba-tiba berhembus menerpa wajah Samin. Angin itu seperti sengaja mengantarkan wangi lembut yang menguar dari tubuh Sally masuk ke hidung Samin, membuat Samin sedikit terpesona. Tapi dia cepat menguasai diri dan mempersilahkan Sally masuk.

"Ibu saya baru meninggal seminggu lalu, jadi saya istirahat dulu. Masih masa berkabung. Mungkin lusa saya jualan lagi, Mbak."

Sally menutup mulut dengan ujung jari-jari tangan kanannya, "Ohh, saya turut berduka cita atas kehilangannya. Apa ibu Anda sakit?"

Samin menggeleng lesu dan sedih, "Malamnya ibu saya masih seperti biasa. Menghabiskan sisa rotinya lalu tidur. Biasanya adzan subuh ibu sudah bangun, tapi sampai jam enam belum bangun juga. Ternyata ibu sudah meninggal," ucap Samin sambil tercekat. Susah payah dia menahan agar air matanya tidak jatuh karena mengingat peristiwa pada malam sebelum ibunya menutup mata.

"Min, insya Allah kamu dapat rejeki banyak karena sudah bikin ibu bahagia. Tidak usah dipikirkan sayuranmu yang tidak laku itu. Biar dijadikan pupuk saja semuanya. Sekarang ibu mau tidur yang lama. Jaga kesehatan dan jangan gampang sedih ya, Min."

"Maaf kalau saya menganggu dan mengusik masa berkabung Anda, Mas Samin," kata Sally.

Samin cepat menggeleng dan mengatakan tidak apa-apa. Lalu Sally mengutarakan maksud kedatangannya.

"Kakak saya dulu teman sekelas Anda di SMPN 10. Namanya Ronal. Sewaktu sekolah dia sering mengganggu dan meledek Anda dengan kata-kata jahat."

Samin mengingat sejenak tentang Ronal. Dia tentu ingat Ronal. Siapa yang tidak kenal anak paling populer di sekolah. Semua guru pun segan pada Ronal karena ayahnya sering memberi hadiah mahal untuk semua guru.

"Ada apa dengan Ronal?"

Sally menyerahkan tas kulit warna coklat kepada Samin, "Ini titipan dari Bang Ronal. Dia minta maaf atas kelakuan jahatnya kepada Anda semasa sekolah. Dia juga minta maaf tidak bisa datang langsung kesini karena sedang berobat di luar negeri."

Samin menerima tas itu, "Apa isinya?"

"Isinya tidak seberapa. Mohon maaf kami tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin minta maaf dan memberi kompensasi atas perundungan yang dilakukan Bang Ronal kepada Anda. Tolong maafkan Bang Ronal ya, Mas Samin," Sally berkata sehalus mungkin.

Sally sebenarnyalah ingin mengatakan bahwa Ronal sedang menanti ajal. Tapi tidak ada gunanya, sebab yang sangat dibutuhkan Ronal adalah maaf dari Samin bukan yang lain.

Ronal beberapa kali menyebut Samin dalam tidurnya dan Sally perlu waktu berminggu-minggu untuk mencari tahu siapa Samin dan melacak keberadaannya.

Jiwa Ronal pisah dari raganya setelah Sally membisikkan bahwa Samin telah memaafkannya dan bersedia menerima bantuan dari Ronal.

Dan Samin masih menyimpan lima puluh juta rupiah pemberian Sally di balik kasurnya. Motor matic hadiah dari Sally sedang dipakai Anto mengantar ibunya ke pasar.

Samin memanjatkan doa sepenuh hati kepada Sang Khalik untuk ibunya, untuk Ronal, untuk Sally, dan untuk semua orang yang dikasihinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun