Sally tersenyum. Pipi kanannya yang berlesung pipit membuat wajahnya makin memesona.
"Sudah seminggu saya lihat lapak Mas Samin kosong, apa Anda sudah tidak jualan lagi?"
Angin tiba-tiba berhembus menerpa wajah Samin. Angin itu seperti sengaja mengantarkan wangi lembut yang menguar dari tubuh Sally masuk ke hidung Samin, membuat Samin sedikit terpesona. Tapi dia cepat menguasai diri dan mempersilahkan Sally masuk.
"Ibu saya baru meninggal seminggu lalu, jadi saya istirahat dulu. Masih masa berkabung. Mungkin lusa saya jualan lagi, Mbak."
Sally menutup mulut dengan ujung jari-jari tangan kanannya, "Ohh, saya turut berduka cita atas kehilangannya. Apa ibu Anda sakit?"
Samin menggeleng lesu dan sedih, "Malamnya ibu saya masih seperti biasa. Menghabiskan sisa rotinya lalu tidur. Biasanya adzan subuh ibu sudah bangun, tapi sampai jam enam belum bangun juga. Ternyata ibu sudah meninggal," ucap Samin sambil tercekat. Susah payah dia menahan agar air matanya tidak jatuh karena mengingat peristiwa pada malam sebelum ibunya menutup mata.
"Min, insya Allah kamu dapat rejeki banyak karena sudah bikin ibu bahagia. Tidak usah dipikirkan sayuranmu yang tidak laku itu. Biar dijadikan pupuk saja semuanya. Sekarang ibu mau tidur yang lama. Jaga kesehatan dan jangan gampang sedih ya, Min."
"Maaf kalau saya menganggu dan mengusik masa berkabung Anda, Mas Samin," kata Sally.
Samin cepat menggeleng dan mengatakan tidak apa-apa. Lalu Sally mengutarakan maksud kedatangannya.
"Kakak saya dulu teman sekelas Anda di SMPN 10. Namanya Ronal. Sewaktu sekolah dia sering mengganggu dan meledek Anda dengan kata-kata jahat."
Samin mengingat sejenak tentang Ronal. Dia tentu ingat Ronal. Siapa yang tidak kenal anak paling populer di sekolah. Semua guru pun segan pada Ronal karena ayahnya sering memberi hadiah mahal untuk semua guru.