Indonesia tengah menghadapi dua peristiwa. Pertama, dinamika guncangan rantai pasok global. Kedua, dinamika antara laju inflasi.
Saya baru membaca rubrik opini harian KOMPAS, Minggu, 8 Agustus 2022. Padahal, artikel itu Edisi 7/8/. Sengaja saya beri bintangkan di WhatsApp, biar mudah mencari kembali.
Pasalnya, itu artikel Prof Muhammad Chatib Basri. Satu-satunya penulis yang paling saya demen di Kompas hanyalah Prof Khatib.
Dia menulis ekonomi makro dengan taste sastra yang kuat. Mengalir, crunchy, kendati dengan teori-teori bejibun, seperti ulasannya tentang kurva Phillips dalam kaitannya Indonesia terkini.
Lantas, saya kembali membuka beberapa coretan tentang persamaan kurva Phillips, dalam peristiwa ekonomi yang berbeda. Sekedar untuk memahami maksud tulisan Prof Chatib yang lumayan panjang di KOMPAS.
Tentu saja, dalam ekonometrika, persamaan kurva Philips, memiliki perhitungan yang rumit. Seperti ungkapan Prof Khatib di Kompas, kala persamaan kurva Philips diajarkan dalam mata kuliah ekonometrika di Australian National University (ANU).
Namun sederhananya, kurva Philips menjelaskan bahwa antara stabilitas harga dan kesempatan kerja yang tinggi tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Artinya, bila ingin mencapai kesempatan kerja yang tinggi/tingkat pengangguran rendah, konsekuensinya harus bersedia menanggung beban inflasi yang tinggi.
Dalam satu bagian persamaan kurva Philips, dijelaskan; dalam jangka pendek ekonomi menghadapi trade off/saling meniadakan, antara inflasi dan pengangguran. Semakin tinggi tingkat pengangguran, semakin rendah tingkat inflasi. Demikianpun sebaliknya, penyesuaian ekspektasi inflasi, akan menggeser kurva Philips keatas; yang ditandakan dengan meningkatnya permintan.
Akibatnya produsen akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja untuk meningkatkan kapasitas produksi. Pengangguran akan menurun, upah meningkat dan tingkat inflasi menurun.
Namun menurut Prof Chatib, sisi lain dari kurva Phillips adalah, upah yang meningkat, akan mengerek tingkat harga (inflasi)---sebagai ciri ekonomi yang memanas (overheating).
Dalam jangka panjang menurut teori kurva Philips, kurva Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU) akan vertikal, sebagai tanda, tingkat pengangguran di saat inflasi sudah tidak mengalami perubahan (konstan). Yang berarti perekonomian dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment ).
Ini sebagai efek dari ekspektasi inflasi dan supply shock. Dalam kasus Indonesia, kita tengah menghadapi dua peristiwa. Pertama, dinamika guncangan rantai pasok global, yang ditandai dengan inflasi harga produsen (IHP) yang meningkat. Kedua, dinamika antara laju inflasi, ketidakpastian dan gejolak harga.
Gangguan rantai pasok global akibat krisis geopolitik Eropa Timur serta penurunan performa ekonomi di negara-negara utama, menyebabkan terjadi penurunan produksi bahan baku industri. Keterbatasan pasokan bahan baku industri, menyebabkan inflasi harga produsen (IHP) terkerek dan biaya produksi meningkat
Pada triwulan II- 2022 IHP naik 4,09 persen terhadap triwulan I-2022 (q-to-q) dan naik 11,77 persen terhadap triwulan II-2021 (y-on-y). IHP menggabungkan tiga sektor (Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, dan Industri Pengolahan). Meningkatnya IHP, mengindikasikan, beban biaya produksi kian tinggi.
Konsekuensinya, produsen akan akan membebani kenaikan beban produksi pada konsumen. Namun itu tidak terjadi, disaat daya beli yang turun.
Akibatnya, produsen akan mengurangi pasokan atau menunda pengambilan margin keuntungan. Namun hal ini tak mungkin berlangsung lama.
Bayang-bayang harga energi yang tinggi, kebijakan suku bunga bank sentral dan ekspektasi inflasi, menjadikan ekonomi berada pada inflasi yang menggantung (overhang inflation). Teringatlah saya pada tahun 2013, dimana overhang inflation terjadi akibat ekspektasi kenaikan harga berlebihan pelaku usaha terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM.
Saat ini ini, peristiwa yang sama tengah kita alami, dimana ekspektasi inflasi yang tinggi dari pelaku usaha akibat harga energi dan bahan baku impor yang masih tingi.
Meningkatnya inflasi IHP di atas inflasi keranjang belanja konsumen/IHK pada triwulan 2-2022, menggambarkan, inflasi di level konsumen akan meningkat.
Dari data BPS, inflasi IHP secara tahunan 11,77% dan inflasi IHK secara tahunan 4,77%. Penundaan kenaikan harga oleh produsen, menjadi pemantik overhang inflation. Demikianpun core inflation, yang perlahan terus terkerek dan mendistorsi karakteristiknya yang persisten.
Dalam kondisi demikian (ekspektasi inflasi yang tinggi dan/atau overhang inflation), menjadi tantangan bagi BI mengambil posisi behind the curve. merespon ekspektasi inflasi dan tren suku bunga The Fed. Sikap BI yang masih hawkish, memantik kekhawatiran, bila tahun depan, BI akan menaikan suku bunga secara agresif.
Tentu saja, bayangan naiknya suku bunga kebijakan secara agresif tersebut, bersamaan dengan meningkatnya GWM rupiah, yang kian menyedot likuiditas perbankan.
Dalam artikelnya, Prof Chatib mengkhawatirkan, bila kombinasi kenaikan suku bunga kredit dan GWM, akan menggerus investasi.
Bank-bank besar, mungkin memiliki ruang likuiditas yang longgar, namun bagi bank kecil, kebijakan suku bunga agresif berikut kebijakan makroprudensial ketat, akan membuat bank-bank buku rendah memobilisasi dana, dengan menaikan bunga. Tentu saja, hal demikian, berlawanan arah dengan momentum pemulihan pertumbuhan ekonomi.
Saya sependapat dengan prof Chatib, bahwa BI mesti melakukan forward guidance, signal ke depan, peningkatan siklus moneter---menaikkan suku bunga (BI 7-Day 9 (Reverse) Repo Rate) dalam menetralisir ekspektasi inflasi. Kendati, hal tersebut resisten dengan pertumbuhan ekonomi. Inilah korban yang harus dibayar.
Dalam kurva Philips, ada yang dikenal dengan sacrifice ratio atau persentase PDB yang dikorbankan, jika pemerintah ingin menurunkan inflasi. Bila batas atas inflasi 5% dan inflasi terkerek 6%, maka untuk menurunkan inflasi 1%, PDB dengan persentase tertentu mesti dikorbankan.
Pengendalian inflasi melalui BI7DRR, akan berdampak pada perlambatan pengeluaran. Tingkat harga akan turun dan memberi disinsentif pada perusahaan, sehingga menahan diri untuk ekspansi.
Akibatnya, ada proporsi PDB yang hilang. Dari sinilah sacrifice ratio dihitung. Inilah harga yang harus dibayar, bila kebijakan moneter dan fiskal diperketat.
Tentu saja menghitung sacrifice ratio dikaitkan dengan cyclical unemployment (Okun's Law). Dimana tingkat pengangguran cyclical yang akan dikompensasi dengan penurunan PDB dengan persentase tertentu.
Dengan mengetahui sacrifice ratio, BI dapat menentukan tindakan yang harus diambil untuk mempengaruhi output dalam perekonomian dengan biaya paling rendah.
Kebijakan BI dengan memperketat siklus moneter, berisiko pada memperlambat investasi dan penurunan output. Namun bila langkah tersebut dilakukan pada momentum yang tepat, proporsi PDB yang hilang/dikorbankan, tidak berdampak terlalu dalam terhadap pengangguran cyclical.
Seperti pernyataan pernyataan Jason Furman (ekonom Harvard) yang dikutip Prof Chatib. Cara terbaik untuk mengerek upah riil pekerja, bukanlah dengan meningkatkan upah nominal, tetapi dengan menurunkan inflasi. Namun harus ada yang dikorbankan.
Teringatlah saya pada pengorbanan Natasha Romanoff/Black Widow dalam sekuel The Avengers. Di Vormir yang mencekam, Natasha mengorbankan diri.
Diawali pertarungan dua sahabat tentang siapa yang pantas berkorban untuk mendapat Soul Stone. Natasha memilih menjadikan dirinya sendiri sebagai tumbal demi sahabatnya Hawkeye melangsungkan hidup.
Di AS, pengangguran cyclical/NAIRU adalah 5%. Jika pengangguran <5%, maka inflasi akan terkerek, karena ekonomi mengalami overheating.
Jika pengangguran di >5%, maka inflasi akan menurun. Langkah Hawkish The Fed saat ini, akan menggerus permintaan, inflasi akan landai namun proporsi output menurun dan nilai PDB menjadi berkurang sebagai pengorbanan. Sebagaimana pengorbanan Black Widow demi kelangsungan hidup Hawkeye dalam The Avengers.
Namun dibalik itu, kebijakan fiskal menjadi penyangga melalui social safety net dalam memitigasi risiko cyclical unemployment. Disinilah, APBN idealnya, tetap siaga sebagai shock absorber.
Kewaspadaan
Bila benar AS akan menerapkan sacrifice ratio dengan Okun'S Law, maka ke depan, Indonesia akan berhadapan dengan risiko resesi ekonomi AS.
Dengan kinerja PDB AS yang negatif dua kuartal berturut-turut, menandakan AS secara technical telah masuk ke resesi. Meskipun kontraksi PDB tersebut cenderung turun. Disusul perlambatan ekonomi China.
Kombinasi risiko resesi AS dan kawasan Eropa serta perlambatan ekonomi China, akan mempertipis ekspor komoditas RI. Artinya Indonesia akan kekurangan salah satu sumber pendapatan.
Dengan inflasi yang terus terkerek, maka peralihan arah gerak ekonomi pada konsumsi domestik tidak optimal, seiring daya beli yang masih tergerus oleh inflasi.
Tren harga energi dan komoditas tengah menunjukan arah penurunan. Tentu commodity boom akan mengakhiri era rejeki nomplok (windfall income). Disaat yang sama, subsidi yang cenderung politis dan sementara, sulit diturunkan, apalagi menjelang tahun-tahun politik (2024). Seperti yang dikhawatirkan Prof Chatib.
Tentu tekanan beban subsidi dalam ruang fiskal akan berakhir, seiring melandainya harga energi dan komoditas. Seturut itu, penerimaan negara pun menipis.
Artinya, belanja negara cenderung mengikuti penerimaan atau pro siklus. Ruang fiskal tidak bertambah dan kemampuan menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas.
Saya mengamini pendapat Prof Chatib, bahwa penerimaan negara yang bergantung pada hasil SDA akan selalu fluktuatif. Sementara dalam situasi uncertainty, belanja negara bisa tetap atau meningkat. Ketika penerimaan negara menipis, sementara belanja meningkat, maka disiplin fiskal dengan defisit 3% terhadap PDB menjadi terganjal.
Namun di balik kekhawatiran tersebut Prof Chatib, Bloomberg merilis analisa OECD pada 2 Agustus 2022. Dari 32 negara, probability of recession Indonesia di posisi bontot; 3%. Terendah di atas India yang 0%. Namun untuk berada di posisi ini, pemerintah benar-benar memanfaatkan berkah windfall dan surplus APBN saat ini.
Teringatlah saya, pada teori counter cyclical policy ala nabi Yusuf as dalam Al quran : 46-49. Masa 7 tahun surplus hasil pertanian, adalah bantalan cadangan, untuk menghadapi masa paceklik 7 tahun ke depan. Nabi Yusuf meninggalkan legacy tentang pentingnya menjaga keseimbangan.
Dari kisah nabi Yusuf as, mengandaikan posisi kebijakan fiskal yang tepat terhadap konjungtur ekonomi (business cyclical) adalah counter cyclical policy.
Dalam keadaan booming, kebijakan fiskal kontraksioner dibutuhkan, agar ekonomi tidak overheating, dan kebijakan fiskal ekspansif saat resesi, untuk memberikan stimulus.
Selama APBN fokus dan berada trayek yang tepat, sebagai shock absorber terhadap risiko siklus bisnis, selama itu pula, tak ada yang patut dirisaukan berlebihan. Dan bapak manajemen modern, Peter F. Drucker berpesan:
"Concentration is the key to economic results. No other principle of effectiveness is violated as constantly today as the basic principle of concentration." Konsentrasi adalah kunci hasil ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H