Artinya, belanja negara cenderung mengikuti penerimaan atau pro siklus. Ruang fiskal tidak bertambah dan kemampuan menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas.
Saya mengamini pendapat Prof Chatib, bahwa penerimaan negara yang bergantung pada hasil SDA akan selalu fluktuatif. Sementara dalam situasi uncertainty, belanja negara bisa tetap atau meningkat. Ketika penerimaan negara menipis, sementara belanja meningkat, maka disiplin fiskal dengan defisit 3% terhadap PDB menjadi terganjal.
Namun di balik kekhawatiran tersebut Prof Chatib, Bloomberg merilis analisa OECD pada 2 Agustus 2022. Dari 32 negara, probability of recession Indonesia di posisi bontot; 3%. Terendah di atas India yang 0%. Namun untuk berada di posisi ini, pemerintah benar-benar memanfaatkan berkah windfall dan surplus APBN saat ini.
Teringatlah saya, pada teori counter cyclical policy ala nabi Yusuf as dalam Al quran : 46-49. Masa 7 tahun surplus hasil pertanian, adalah bantalan cadangan, untuk menghadapi masa paceklik 7 tahun ke depan. Nabi Yusuf meninggalkan legacy tentang pentingnya menjaga keseimbangan.
Dari kisah nabi Yusuf as, mengandaikan posisi kebijakan fiskal yang tepat terhadap konjungtur ekonomi (business cyclical) adalah counter cyclical policy.
Dalam keadaan booming, kebijakan fiskal kontraksioner dibutuhkan, agar ekonomi tidak overheating, dan kebijakan fiskal ekspansif saat resesi, untuk memberikan stimulus.
Selama APBN fokus dan berada trayek yang tepat, sebagai shock absorber terhadap risiko siklus bisnis, selama itu pula, tak ada yang patut dirisaukan berlebihan. Dan bapak manajemen modern, Peter F. Drucker berpesan:
"Concentration is the key to economic results. No other principle of effectiveness is violated as constantly today as the basic principle of concentration." Konsentrasi adalah kunci hasil ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H