Mohon tunggu...
Aditya Anggara
Aditya Anggara Mohon Tunggu... Akuntan - Belajar lewat menulis...

Bio

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

My First Kiss... (Bagian II)

14 Februari 2019   20:25 Diperbarui: 14 Februari 2019   23:59 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar bibir, sumber : Warta Kota - Tribunnews.com


Rintik hujan menemani malam mingguku di IGD saat jam menunjukkan pukul 22.15. Aku baru saja membaca WA-grup perihal rencana reuni sekolah yang ke-15. Wah, tak terasa sudah lima belas tahun berlalu sejak aku menanggalkan seragam putih abu-abu itu. Reuni tak ubahnya seperti menyambut tahun baru, cermin untuk refleksi diri, melihat apa yang sudah dicapai selama ini. Apakah masih tetap cakep atau semakin nyinyir dan gendut!

Yang jelas aku masih tetap jomblo, ngenes! Setamat SMA aku masuk fakultas kedokteran. Dulu milihnya ngasal aja, eh gak taunya keterima! Entah lah, apakah ada campur tangan yang kuasa disitu, aku pun tak tahu. Aku hanya menjalaninya saja. Awalnya semua berjalan lancar-lancar saja, sampai kemudian waktu menjalani co-ass di rumah sakit. Saat itu hidup seperti di neraka saja! Syukur lah semuanya sudah berlalu.

Selesai masa PTT tiga tahun di Papua aku ingin melanjutkan sekolah lagi. Menunggu proses sekolah, aku iseng ikut tim medis sebuah NGO kemanusiaan internasional untuk daerah konflik di kawasan Teluk. Lumayan, gajinya sebulan lebih besar dari gaji dokter PTT setahun!

Tanpa terasa lima tahun berlalu dengan cepatnya. Padahal rencana semula hanya setahun saja. Aku kemudian pulang setelah terkena serpihan granat lontar. Kerja di daerah konflik itu yah memang begitu. Gajinya sepadan denga resikonya.

"Dok, tolong dilihat pasien di kamar 711 itu dong dok" tanya Mirna, perawat IGD membuyarkan lamunanku.

"Lha, kenapa tidak dokternya saja dihubungi?"

"Tuh dia dok, dokter Linda hapenya mati. Dokter Budi bilang gak papa, itu efek dari kemo kemarin itu. Tapi pasiennya gelisah terus dok"

"Ya sudah, saya ke atas sekarang" kataku sambil membawa stetoskop.

"Malam ibu, saya dokter Ferry, apa keluhannya ya bu?" tanyaku dengan sopan kepada pasien yang nyaris plontos itu. Parasnya lumayan cantik, terlihat seperti Sinead O'Connor pelantun lagu lawas Nothing's Compares to U dulu itu.

Ups... mata dan bibir itu mengingatkanku pada seseorang yang tak pernah lekang dari ingatanku. Aku lalu melihat nama pada lembar status pasien, Yanti Nirmala. Seketika suara "klik" dari seat belt terngiang di telingaku. Dia tampak seperti my first kiss...

"Ferry? wah gak nyangka kita bisa ketemu disini. Aku tau kamu dokter, tapi aku gak tau kalo kamu kerja di sini, tapi kenapa Linda gak bilang ya?"

"Aku sih baru setengah tahun di sini Yan. Aku dokter jaga biasa, jadi nongkrongnya di IGD. Linda itu spesialis Penyakit Dalam, doi nongkrong di poliklinik atau di ruangan pasien. Jadi kami memang jarang ketemu. Eh, kamu tadi keluhannya apa Yan?"

"Nanti aja deh keluhannya, aku kangen ngobrol sama kamu..."

Jam menunjukkan angka 01.30 dini hari ketika aku meninggalkan kamar 711. Yanti sudah tertidur pulas setengah jam yang lalu tanpa obat penenang. Aku sendiri salut dengan ketegaran hatinya berjuang menghadapi kanker leukemia yang sudah diidapnya sejak lima tahun yang lalu. Ah, tiada bosan-bosannya aku menatap wajah itu dalam pulas tidurnya. Sebuah SMS kemudian memaksaku untuk kembali ke IGD, "dok dimn? ada nnek2 nenggak bygon.."

***

Kehadiran Yanti seketika mengubah hidupku. "Yang biru kelihatan lebih biru dan langit tampak selalu cerah" Jangan katakan kalau aku tak berusaha melawan "rasa" ini. Bak mengarungi arung jeram, aku tak kuasa melawan arusnya. Aku terpaksa menghanyutkan diri sembari berharap tidak akan menghantam batu besar atau tergulung arus.

Duh Gusti, aku ini bukan lagi anak remaja seperti lima belas tahun yang lalu. Aku juga bukan pria lugu yang tak pernah berpacaran. Tunggu, aku pernah pacaran tiga, empat.. tujuh kali! Dua kali nyaris menikah. Yang terakhir pacarku itu orang Thailand, bernama Siriporn Sanoh (arti bebasnya, anak manis pembawa kebahagiaan) sesama dokter di NGO ketika bertugas di kawasan Teluk dulu.

Pacaran sebulan, Siriporn mengajakku menikah. Tapi aku curiga, dan memeriksa profilnya. Ternyata dia dulu bernama Somsak Channarong (arti bebasnya, pejuang kuat yang berpengalaman) Aduh amsiong! Doi ternyata transgender. Duh Gusti, bibirku... Sejak itu aku jadi trauma, sebab ternyata tidak semua yang bersisik itu adalah ikan...

Kini aku sadar, aku ternyata benar-benar jatuh cinta kepada Yanti. Bukan saat sekarang ini saja, tetapi sejak lima belas tahun yang lalu. Ini bukanlah cinta pada pandangan kedua, melainkan cinta pada ciuman pertama. Tanpa pernah disadari, benih cinta telah tersemai oleh lipstik bebas transfer itu, kemudian bertumbuh secara perlahan persis seperti benalu yang menempel pada batang pohon indungnya. Kini aku tersadar, sekujur tubuhku ternyata sudah dibalut benalu...asmara...

Ah betapa bodohnya aku yang selalu menyangkal rasa itu. Ketika aku merasa sedih dan kesepian, aku selalu mengingat kisah itu. Bunyi "klik" itu selalu menyemangatiku. Aku mengabaikannya karena merasa itu hanya sebatas romantisme remaja saja.  Ah, aku berutang sebuah pengakuan jujur kepada Yanti. Walau tak mengubah apapun, Yanti berhak tahu bahwa sejak kisah dulu itu, aku tak pernah berhenti mencintainya.

***

Esok paginya setelah pergantian jaga IGD, aku segera ke kamar 711. Yanti terlihat segar. "Pagi Yan... sudah sarapan?" tanyaku ketika melihat makanan yang belum tersentuh.

"Ntar lagi deh, belum laper" kata Yanti sambil tersenyum.

"Ayo dong sarapan dulu, dikit juga gak papa, supaya bisa makan obatnya. Aku suapin ya" Astaga naga! ngomong apa aku barusan!

"Iya deh, aseek disuapin..." kata Yanti sambil tertawa.

Puji Tuhan, Alhamdulilah, Om Shanti Shanti Shanti... bisikku lega. Untunglah responnya positif! Aku ini memang harus berhati-hati. kalau dalam dunia per-udangan, aku ini lagi melting (proses perubahan cangkang) "AKA" kasmaran. Kondisiku tidak sebaik biasanya, makanya suka bertingkah atau mengucapkan hal-hal aneh. Aku kemudian meletakkan lembaran tisu di bawah dagu Yanti dan mulai menyuapinya.

Tak lama kemudian aku berbuat gila lagi dan cenderung asusila. Tetiba aku berkata lembut, "Yan, aku mau mengatakan sesuatu, tapi kamu jangan tersinggung ya.." 

Yanti terlihat kaget, "Apaan sih Fer..?" katanya sedikit cemas.

"Kamu janji dulu gak marah" kataku serius.

"Iya aku janji" kata Yanti kini semakin cemas

"Aku pengen cium kamu..." kataku tertahan....

Tetiba bumi berhenti berputar pada porosnya. Sang waktu menghentikan langkahnya. Aku termangu "menunggu sakratul maut!" memang bibir ini sudah lama menjadi pengangguran. Yanti kemudian meraih kepalaku menuju ke arahnya, dan kenangan lima belas tahun yang lalu itu pun terulang kembali. Seketika aku melayang dalam alam tanpa gravitasi bumi.

Bumi belum juga kembali berputar ketika aku membuat sebuah pengakuan kepada Yanti, aku tidak pernah berhenti mencintainya... Tapi dia kini mulai marah dalam linangan air mata, "Kenapa kamu gak pernah bilang? Kenapa kamu biarkan aku menikah dengan orang yang tidak kucintai untuk kemudian seketika bubar juga? Kamu jahat Fer.." isaknya lagi sambil memelukku.

"Maaf Yan, aku juga baru menyadarinya kemarin. Selama ini aku gak tahu karena selalu menyangkalnya, maaf ya Yan..." kataku sambil memeluknya.

Kami berdua terdiam saja sambil tetap berpelukan, dengan pikiran menerawang entah kemana. Yanti kelihatan sudah tenang, "Maaf tadi ya Fer, aku senang banget  kamu ngomong tadi. Walau tak mengubah apapun, aku senanggg banget dengarnya"

Aku kemudian melepaskan pelukanku dan menatapnya dengan tajam. "Apa maksudmu mengatakan walau tak mengubah apapun? Sebab bagiku ini sangat penting dan telah mengubah seluruh jalan hidupku ke depan!"

Kini Yanti menatapku dengan tajam, "Kamu harus sadar Fer, kamu kan dokter. Aku ini botak, jelek dan sekarat. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih akan hidup tiga bulan lagi..."

"Yan, hidup mati itu ditangan Tuhan, dan semua orang juga pasti akan mati. Dulu hampir setiap hari aku melihat orang mati, jadi aku tidak mengkhawatirkan hal itu. Aku cinta kamu, tetapi belasan tahun aku menyimpan dan menyangkalnya. Kamu tahu seperti apa rasanya mencium pacar tetapi bayangan bibirmu yang selalu ada di kepalaku, dan itu berlangsung terus selama belasan tahun! Aku gak mau tersiksa lagi. Aku hanya mau cium kamu, dan aku mau kamu mengetahuinya!

Yanti menatapku lama sekali seakan tidak percaya kepada apa yang baru saja didengarnya. "Kamu bukan karena kasihan kan ngomong gitu samaku?"

"Kasihan? Kalo kasihan, pasti aku sudah punya seribu bini. Setidaknya setiap bulan ada saja wanita yang mau bunuh diri. Kalo aku kasihan aku pasti berkata, jangan bunuh diri, aku jomblo, aku membutuhkanmu disini, menikahlah denganku... ah ah ah ah..." aku tak dapat menahan tawa...

"Hahahaha..." Yanti tertawa lepas sampai terlihat dua butiran kecil air di matanya. Ia kemudian menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan, lalu meraih kepalaku. Bumi seketika berputar cepat pada porosnya ketika pintu kamar di buka. Dokter Linda masuk dan terkejut ketika melihat "dua orang pasien" berada diatas satu ranjang...

***

Sudah seminggu Yanti berada di rumah sakit. Kondisinya sudah membaik dan seharusnya sudah boleh pulang. Tetapi tampaknya ia lebih betah di rumah sakit daripada di rumahnya yang sepi. Menurut Linda terserah Yanti saja sepanjang dia merasa nyaman, karena itu bagus buat perkembangan kesehatannya.

Hari ini aku off. Malamnya aku mengajak Yanti makan malam di sebuah cafe tak jauh dari rumah sakit. Malam tampak indah sekali bertaburkan cahaya bintang di langit. Cafe kebetulan sepi pengunjung. Kami lalu duduk di meja pojokan. Lagu A Sky Full Of Stars dari Coldplay yang dinyanyikan penyanyi itu nyaris membuatku melting. Yanti meremas jari tanganku, terlihat happy dengan atmosfir cafe yang romantis.

Aku kemudian berlutut menghadap Yanti sembari memberikan cincin dan berkata, Yan, aku mau melamarmu, mau kah kamu menjadi istriku?"

Yanti terperanjat, terpana ketika aku memasukkan cincin tadi ke jari manis tangannya. Ia lalu memelukku sambil berteriak, "aku mau jadi istrimu...!" Seketika orang di sekitar kami bertepuk tangan. Sebuah siulan kuat dari arah kiri membuatku tertawa, "thanks bro" teriakku juga...

Seperti biasanya suasana hening meliputi kamar Yanti di rumah sakit. Tapi suasana itu berbanding terbalik dengan yang kami rasakan di dalam pikiran kami masing-masing. Plafon kamar pun tampak seperti bermandikan ribuan cahaya bintang yang begitu indah. Tak ada yang pernah tahu akan hari esok. Biarlah esok menjadi urusan esok saja. Malam ini kami ingin berduaan saja menikmati valentine ini.

Sebelumnya aku sudah berbicara kepada perawat di nurse station. Di kamar 711 ada "dua orang pasien dalam satu ranjang" Aku sudah membawa stetoskop, thermometer dan tensi sendiri, jadi suster tidak perlu repot mengurus pasien. Sekotak coklat plus bolu gulung ternyata cukup ampuh mengurangi volume tawa para suster di situ. "Happy valentine ya suster..." kataku seraya pergi.

"Makasih dok, happy valentine juga..."

Aditya Anggara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun