Kemarin itu saya datang ke sebuah kopi tiam (kedai kopi) untuk menyaksikan acara Islah antara pejabat Bulog dengan Kemdag terkait kegaduhan soal perberasan kemarin. Akan tetapi karena terlambat datang saya akhirnya mendapat posisi duduk paling belakang persis di dekat toilet. Jadinya saya terpaksa menonton acara lewat monitor yang memang sudah tersedia.
Acara kemudian dimulai dengan cipika-cipiki dan basa-basi antara kedua petinggi seperti saling memuji dan sebagainya. Lama kelamaan acara berjalan datar dan membosankan. Tak kuasa menahan kantuk, saya pun akhirnya tertidur dalam duduk, dan kemudian bermimpi... menjadi seorang juragan beras.
***
Bisnis beras di negeri ini memang paling enak sedunia. Dulu akong (kakek) saya pedagang beras eceran di Guangzhou. Ketika itu di Guangzhou belum ada bisnis "KW-branded" seperti misalnya tas/sepatu Gucci, Ferragamo ataupun Hermes KW (palsu) Kehidupan sangat sulit, sehingga kemudian memaksa kakek untuk hijrah ke Cianjur, Indonesia yang tersohor dengan beras enaknya itu.
Bisnis beras atau apa pun itu akan lebih gampang kalau kita tahu filosofi/karakter dan aturan mainnya! Terkadang Teori dan Realita di pasar itu sangat jauh berbeda. Tetapi Realita yang kita pakai sebagai pegangan. Dulu ketika pertama kali bermain beras, saya memulai karir dari bawah sebagai pengepul. Oleh karena itu saya harus kenal betul karakter petani ini.
Reformasi dari kota dua dekade lalu justru membuat petani semakin melarat! Reformasi membawa hedonisme, konsumerisme, politik praktis, ekstasi, sabu dan juga kafe remang-remang, yang pada akhirnya menjerumuskan petani itu kedunia "asik-asik dan esek-esek..." lalu kemudian memiskinkan mereka.
Akhirnya petani tidak punya modal lagi untuk musim tanam baru. Solusinya sederhana, "Mengatasi masalah (dengan) masalah!" alias Ijon! Petani itu lalu saya modali (hutangi) sesuai dengan luas sawahnya, dengan perjanjian seluruh hasil panen akan saya beli sesuai dengan harga yang sudah ditentukan, dikurangi biaya bunga dan administrasi...
Jangan langsung menuduh saya jahat atau lintah darat, walaupun di sawah itu memang banyak juga lintahnya. Kalau sawah itu gagal panen karena wereng, tikus atau banjir misalnya, saya pasti akan merana juga karena investasi saya itu akan tampak seperti investasi bodong...
Solusi djitoe untuk masalah seperti ini biasanya adalah, saya kemudian membeli sawah petani tersebut. Sipetani tetap mengusahakan sawah tersebut dengan sistim sewa/bagi hasil. Secara teori/defacto pada kolom pekerjaan di KTP-nya, tetaplah tertulis petani. Namun secara dejure ia sudah bermutasi menjadi seorang koeli tani!
Dibeberapa desa di Jawa Barat, saya mempunyai kilang padi. Syukurlah berkat kemajuan zaman, kini kilang padi (mobile) yang menjemput gabah ke sawah. Dari segi biaya transportasi jelas lebih efisien, karena saya hanya mengangkut beras bagian saya saja ke kota.
***
Kini saya naik kelas! Kini saya berdagang beras di Pasar Induk Cipinang dan Kramat Jati lewat beberapa toko. Bisnis di kota ini sangat perlu untuk mensinergikan bisnis di pedesaan tadi. Selama ini harga beras saya dikontrol oleh tauke-tauke dari Pasar Cipinang. Sekarang saya turut bersama para tauke ini untuk mengontrol harga eceran beras di Jakarta!
Bisnis di pedesaan tadi tetap berjalan dibawah arahan Perangkat Desa dan orang kepercayaan saya. Perangkat Desa ini sangat diperlukan terkait kependudukan dan luas aktual sawah petani. Data mereka ini lebih valid dari pada data BPS maupun Kementan/Dinas Pertanian setempat! Ini untuk menghindarkan "orang yang tidak berhak" meminjam dari saya, ataupun meminjam lebih dari luasan sawah yang sebenarnya!
Walaupun baru beberapa tahun bermain di Cipinang, tetapi saya sudah terhitung senior diantara para tauke. Rahasianya terletak dari bisnis di pedesaan tadi! Ketika Mafia dan Juragan beras bermain dengan meng-hold barang, seketika pula para tauke di Cipinang ini akan "menggelepar" karena tiada pasokan! Gudang mereka pun langsung kosong melompong...
Sebaliknya dengan saya. Walaupun beras menghilang dari pasaran, tetapi di gudang saya masih penuh dengan beras dari ex gudang saya yang di desa! Saya pun tetap melayani customer seperti biasanya, walaupun dengan membatasi penjualan. Inilah yang membuat marwah saya tetap terjaga ketulenannya sebagai pedagang beras di Cipinang dan Kramat Jati.
Banyak yang menuduh kalau pedagang beras itu merangkap spekulan yang suka mengambil kesempatan dalam kesempitan. Itu semuanya fitnah belaka! Fitnah itu selalunya lebih kejam daripada diselingkuhin! Padahal ketika harga beras melambung tinggi, justru para pedagang terpaksa mengurangi marginnya agar harga beras tersebut bisa terjangkau konsumen.
Margin berjualan beras itu sangat tipis. Keuntungan itu terlihat besar karena volume transaksinya juga besar. Itu saja. Dari setiap kilonya saya cuma ambil untung Rp 250,- kecil banget kan... Tetapi karena volume penjualan saya itu 200 ton per hari, maka marginnya menjadi Rp 50 juta per hari... Ehm... Amin...
***
Kini saya naik kelas lagi! Saya lalu bergabung dengan para Mafia, Spekulan raksasa, boss of the boss, yang gaya hidupnya seperti pada film Crazy Rich Asians itu. Disini kebersamaan itu sangat kuat dan dihargai. Semboyannya adalah, bersatu kita teguh bercerai kita rubuh!
"Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan" Kalau bermain sendirian pasti tidak akan dapat bertahan. Tetapi kalau bermain bersama maka harga akan bisa dikontrol, karena ini terkait dengan modal raksasa dan gudang maha besar untuk menyetok beras!
Tahun lalu itu saya hoki besar. Alam begitu ramah terhadap Asia. Cuaca yang baik membuat panen melimpah di Cina, Vietnam, Thailand, Myanmar, Malaysia dan juga Indonesia. Kini stok beras melimpah dan harga beras jatuh ke titik nadir. Tidak ada traders yang mau beli karena dimana-mana panen melimpah.
Tetapi justru disinilah keuntungan besar itu bermula! Harga beras kemudian anjlok menjadi US 0,6 per kg. Setelah membelinya, saya kemudian menyimpan beras itu di gudang-gudang yang saya sewa di Vietnam, Cina maupun Thailand. Suatu waktu kelak, beras itu pasti akan hijrah juga ke pasar Cipinang...
Surplus beras di tanah air itu juga bersifat semu. Hitungannya begini, Musim Tanam dua kali, dan dua kali pula panen raya. Surplus hanya ketika panen raya, dan tekor ketika paceklik! Kalau diakumulasi dari Januari-Desember, total panen dikurangi konsumsi selama setahun akan minus! Atau supaya jangan minus, pada saat pacelik itu masyarakat dilarang makan nasi...
Tetapi orang Kementan berikut para S3 Pertanian itu berteriak, "Kita surplus, Kita swasembada dan bisa mengekspor beras...(ketika panen raya saja, tetapi ketika paceklik, kita wajib hukumnya mengimpor beras dari luar, hiks...)
Didalam negeri harga gabah juga jatuh saat panen raya. Walaupun diamanatkan oleh Undang-Undang, namun Bulog pun tak kuasa untuk menahan harga gabah supaya sesuai dengan HPP berdasarkan Kepres. Saya kemudian datang untuk memborong gabah petani-petani malang itu dengan harga yang ekonomis. Bulog sebenarnya bukan tidak punya duit untuk membeli gabah, tetapi tidak punya gudang untuk menyimpannya!
Ini memang kesalahan besar! Seharusnya Bulog belajar dari saya saja dan mengabaikan Ahli-ahli Pertanian itu. Justru pada saat panen raya inilah saya memborong beras baik lokal maupun overseas untuk mendapatkan harga yang sangat murah. Ketika paceklik nanti tiba, maka saya akan untung besar.
***
Kita ini adalah bangsa "kefefet!" Artinya berpikir, bermusyawarah lalu bertindak itu hanya ketika sudah kepepet bin terpepet! Kalau sudah terdesak barulah grasa-grusu untuk menganalisa situasi dan mencari tahu apa persoalan yang terjadi.
Bak harimau yang mengintai mangsa di malam yang pekat, paceklik itu pun tiba tanpa disadari. Tiba-tiba saja harga beras di Pasar Cipinang merangkak naik! Pasokan dari sentra-sentra beras kini menipis. Gudang Bulog kini tinggal setengah karena berasnya dipasok ke pasar. Bulog lalu mengundang media termasuk "wartawan bodrek" untuk meliput gudang Bulog yang masih terisi beras... Lalu semuanya berteriak, "Stok beras Bulog masih banyak!"
Saya hanya tersipu malu melihatnya. Itu bukan beras Bulog tetapi beras Pemerintah untuk Cadangan Nasional dan Gawat Darurat! Hiks...
Saya kemudian tampil menjadi pahlawan. Bagaimana tidak! Memangnya gampang menyediakan beras 500 ribu ton dalam sekejap! Tetapi semuanya sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya, termasuk juga segala dokumen yang diperlukan dan shipping-nya...
Hasil tidak pernah menipu usaha! Hasil maksimal itu hanya bisa digapai lewat perencanaan yang matang dan tepat pula. Kakek saya selalu mengajarkan, Panen dan Paceklik itu selalu berjodoh seperti Yin dan Yang, Siang dan Malam, Pria dan Wanita. Dibawah langit ini tidak ada yang baru. Apa yang tampak baru sebenarnya sudah lama ada. Kakek saya berkata, "Simpanlah ketika panen dan keluarkan ketika paceklik tiba, maka kamu akan selamat..."
Secara teori saya ini bukanlah seorang ekonom ataupun pakar manajemen dengan gelar sekurangnya MM ataupun MBA. Saya ini cuma lulusan SMA sore dengan nilai pas-pasan.
"Kalau kamu sudah niat tetap dagang beras, yah gak usah pusingin Teori Relativitas Einstein itu deh," kata  guru Fisika saya  dulu sembari menuliskan angka 5 di raporku...
Tetapi tidak mengapa. Bukankah Liem Sioe Liong dan para taipan raksasa lainnya itu pun tidak makan sekolahan? Gelar MBA dari Harvard juga bukan jadi jaminan untuk sukses. Dulu saya suka membaca buku "What They Don't Teach You at Harvard Business Scholl" untuk memotivasi saya yang blue collar ini agar bisa lebih sukses dari kaum white collar itu...
***
"Mas, bangun mas" teriak waiter itu separuh kesal. Tampaknya saya sudah lama tertidur. Kafe itu tampak sepi ditemani suara jangkrik dari gelapnya malam. Sepertinya acara Islah antara Bulog dengan Kemdag itu sudah bubar. Bahkan kini saya ragu, apakah tadi memang ada acara islah atau tidak ya...?
Saya kemudian mereguk kopi dingin itu. Ups ternyata ada lalernya... Duh Gusti, kenapa hidup ini ironis banget ya! Tadi saya bermimpi menjadi Juragan beras yang hidupnya seperti dalam film Crazy Rich Asians itu, kenapa sekarang realitanya saya jadi orang kere...
Tanpa sadar saya lalu mengucapkan perkataan kakek dulu, Â "Kehidupan itu seperti Yin dan Yang, Siang dan Malam. Jadi kalau hidupmu sekarang kere, maka percayalah hidupmu nanti akan kaya raya. Itulah yang disebut keseimbangan alam..."
"Kaya darimana? Dari Hongkong!" kata waiter itu tiba-tiba protes.
"Bukan mas, kakek saya dari Guangzhou bukan dari Hongkong..." kataku sambil tertawa... hahahaha... Namanya juga mimpi mas bro...
Aditya Anggara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H