Tanpa terasa Jaka someh dan Dewi Sekar sudah menempuh perjalanan cukup jauh. Melewati banyak kampung dan perbukitan. Waktu itu hari sudah sore ketika mereka memasuki sebuah perkampungan yang berada di balik sebuah bukit yang terlihat gersang dan tandus. Jarang sekali ada tanaman kecuali hanya ilalang yang nampak begitu lebatnya. Kampung itu pun nampak kumuh dan miskin. Meskipun ada aliran sungai kecil yang melintasi kampung tersebut, namun hanya sedikit pepohonan yang terlihat tumbuh di daerah itu. Penduduknya banyak yang kurus seperti kekurangan nutrisi.
Jaka Someh merasa sangat penasaran ketika melihat kondisi perkampungan tersebut. Kampung itu begitu miskin namun bukan karena ulah dari para penjahat yang berkuasa. Jaka Someh menghentikan gerobaknya di sebuah rumah kayu reot yang berada di pinggir jalan. Dewi Sekar merasa penasaran dengan perbuatan Jaka Someh, dia  bertanya kepada Jaka Someh
 "Ada apa kang? Kenapa berhenti?"
Jaka Someh hanya membalas pertanyaan Dewi Sekar dengan senyuman. Dewi Sekar bertambah rasa penasarannya, dia pun mengulangi lagi pertanyaannya,
"Kenapa kita berhenti di sini kang Someh...?"
Jaka Someh hanya menjawab ringan pertanyaan Dewi Sekar
"Tidak ada apa-apa nyai...akang hanya ingin istirahat dulu sejenak...akang ingin buang air dulu...boleh Kan?"
Dewi Sekar merasa lega pertanyaannya di jawab Jaka Someh
"Ooh begitu, saya kira akang berniat menginap di kampung ini".
Jaka Someh yang mendengar ucapan Dewi Sekar seperti itu, malah menggoda Dewi Sekar
"Memang kalau menginap di sini, kenapa nyai? Kan tidak apa-apa...akang sebenarnya ingin menginap di kampung ini..."
Wajah Dewi Sekar menjadi cemberut mendengar candaan Jaka Someh
"Kang Someh bagaimana sih...kita kan sedang terburu-buru..., tidak boleh lagi ada waktu yang terbuang...Kita harus segera sampai di Gunung Tampomas...Masa Akang tidak kasihan kepada Saya, istrinya sendiri...."
Jaka Someh tersenyum kecil sambil melirik ke wajah Dewi Sekar yang sedang cemberut
"Iya, iya...Nyai. Akang bercanda...mohon maaf...cuma berhenti sebentar saja koq, akang mau ada hajat dulu...sebentar ya..."
Tanpa memperdulikan lagi kepada istrinya yang masih cemberut, Jaka Someh langsung turun dari gerobak dan berjalan ke sebuah rumah yang berada di pinggir jalan. Setelah sampai di depan rumah tersebut, dia mengucapkan Salam
"Permisi, permisi, apakah ada orang di rumah...?"
Namun tak ada jawaban dari dalam rumah tersebut. Setelah mengulangi Salam nya untuk kesekian kali, akhirnya nampak seorang wanita setengah baya keluar dari rumah, dia bertanya kepada Jaka Someh
"Ada apa kang...ada keperluan apa ke rumah saya "
Jaka Someh menjawab pertanyaan perempuan tersebut dengan balik bertanya
"Permisi bu, saya mau bertanya kalau tempat buang hajat di sini dimana ya bu? Kebetulan saya seorang musafir yang sedang melewati kampung ini. Saya berdua bersama istri saya...yang itu istri saya. Oh iya bu, ini  kampung apa ya?".
Jaka Someh menunjuk ke arah Dewi Sekar yang sedang duduk di atas gerobak sapinya. Dewi Sekar tersenyum ke arah wanita itu, yang di balas dengan senyuman juga oleh si wanita tadi.
"ini namanya Kampung Kahuripan, kang"
Wanita itu kemudian menunjuk ke sebuah arah di belakang bukit tandus yang tidak jauh dari rumahnya. Di Sana terdapat sungai yang biasa di gunakan oleh warga untuk mandi, mencuci pakaian sekaligus untuk buang hajat. Hanya saja untuk buang hajat, warga biasanya memilih sungai yang lebih jauh ke arah muara. Setelah mendapat penjelasan dari wanitu itu, Jaka Someh pergi ke arah yang di tunjuk oleh wanita tadi, dan menghilang di balik bebukitan.
Sebenarnya Jaka Someh tidak ingin buang hajat. Dia berpura-pura sakit perut karena hatinya penasaran dengan kampung itu. Dia ingin menyelidiki dan mengetahui kondisi kampung itu. Mengapa kampung itu miskin padahal terdapat aliran sungai di wilayah itu? Padahal banyak lahan yang bisa di garap di bukit itu. Bukan justru membiarkannya menjadi Taman ilalang yang tidak mampu menghilangkan kelaparan warga kampung. Lahan dan sumber air pun menjadi sia-sia karena tidak diolah untuk mendapatkan kemanfaatan. Sumber mata airnya berasal dari pegunungan yang letaknya agak jauh dari kampung itu. Meskipun letak sungainya berada di bawah bukit, tapi mesti ada cara untuk mengalirkannya ke atas bukit untuk mengairi lahan tandus yang ada di sana. Â ketinggian bukit itu pun sebenarnya tidak terlalu tinggi. Jaka Someh terus mengamati ke beberapa lokasi yang ada di bawah bukit. Dilihatnya di sebelah selatan terdapat hutan bambu.
Setelah puas mengamati kondisi dan topografi wilayah itu, Jaka Someh meloncat melesat naik ke puncak bukit dengan sekali lompatan. Tubuhnya ringan dan bertenaga. Setelah berada di puncak bukit, dia kembali mengamati keadaan sekitar wilayah itu. Beberapa bagian bukit di penuhi ilalang dan tanaman perdu, sedangkan sisanya tanah tandus. Sungguh sayang bukit ini tidak di garap baik oleh warga. Warga kampung justru malah banyak yang mengalami kelaparan. Padahal kalau mereka mau bekerja keras, bukit tandus tersebut bisa saja di rubah menjadi lahan subur yang menghasilkan banyak tanaman. Tanaman sandang pangan.
Setelah puas mengamati puncak bukit, Jaka someh kembali turun ke bawah, ke arah aliran sungai. Kemudian berjalan menyusuri aliran sungai menuju tempat dia meninggalkan Dewi Sekar sendirian. Dilihatnya istrinya sedang was-was menunggu. Melihat suaminya sudah kembali, Dewi Sekar memanyunkan bibirnya dan berkata
"Saya kira kang Someh tersesat...lama tidak muncul-muncul...sampai hati saya was-was tak karuan.Tidak lucu kan, akang...kalau ada berita seorang lelaki yang sedang buang hajat di sungai, hilang dicaplok buaya hi...hi..."
Jaka Someh tertawa mendengar Dewi Sekar yang ngambek kepadanya. Kemudian Jaka Someh berkata
"Ya tidak mungkin  Nyai, masa ada buaya di sungai yang banyak batunya seperti itu...iya deh akang maaf, akang agak lama...tapi akang senang, Nyai ternyata mengkhawatirkan keselamatan akang...Alhamdulillah, he...he..."
Dewi Sekar kembali mencibirkan bibir setelah mendengar ucapan suaminya yang merayu. Dengan wajah memerah, Dewi Sekar membalas rayuan suaminya
"Hiih...Ge Er..., siapa juga yang mengkhawatirkan kang Someh..."
Jaka Someh tertawa mendengar cibiran Dewi Sekar
"Iya...iya...akang minta maaf...ayo  sekarang  kita berangkat lagi saja...biar Nyai tidak marah-marah lagi ke akang...he...he..."
Dewi Sekar kembali tersenyum mendengar ucapan Jaka Someh yang melemah kepadanya. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
Tanpa terasa malam sudah menggantikan siang, namun Jaka Someh masih tetap terus mengendarai gerobak sapinya. Dewi Sekar duduk di sampingnya. Sambil mengobrol dan bercanda, mereka  menikmati perjalanan malam tersebut. Malam pun semakin bertambah larut.
Untunglah malam itu sedang purnama, bahkan purnama yang tidak biasa karena ukuran bulannya terlihat lebih besar. Begitu indahnya fenomena supermoon, cahaya yang lembut menerangi jalan-jalan gelap yang sedang dilewati. Jaka Someh berkata lembut kepada istrinya sambil menunjuk ke arah bulan
"Nyai, lihat...bulannya kelihatan lebih besar ya...indah sekali..."Â
Pandangan Dewi Sekar mengikuti ke arah yang di tunjuk oleh Jaka Someh
"Iya, kang. Bulannya indah sekali...saya baru sadar ternyata langit begitu indah apabila sedang purnama..."
Jaka Someh tersenyum mendengar ucapan Dewi Sekar. Â Tanpa terasa Dewi Sekar kemudian menyandarkan kepala di bahu suaminya. Jaka someh yang jarang merasakan bersentuhan dengan wanita, hatinya menjadi dag dig dug tidak karuan. Meskipun Dewi Sekar sudah resmi menjadi istrinya, namun tetap saja dia merasa kikuk dan sungkan. Ingin rasanya dia memeluk istrinya, namun tangannnya serasa tak berdaya untuk melakukannya. Hanya pikirannya saja yang sibuk tidak karuan. Jantungnya berdebar sangat keras, bahkan Dewi Sekar mampu mendengar detak jantung Jaka Someh yang sedang berdegup kencang. Dewi Sekar tersenyum, kemudian memandangi wajah suaminya. Ada perasaan iseng untuk menggoda suaminya yang nampak masih terlihat polos.
" Muka akang kenapa menjadi pucat seperti itu, kenapa... apakah akang sakit ya..?."
"eh...ah...anu..anu...akang tidak apa-apa..nyai...eh..ah....aduh..."
Jaka Someh terbata-bata menjawab pertanyaan iseng istrinya. Dewi Sekar tersenyum, kemudian memeluk  erat Jaka someh.
Malam bertambah larut, angin malam berhembus menerpa keheningan malam. Rasanya begitu dingin menambah keharmonisan sepasang pengantin baru yang baru saja sedang di mabuk asmara. Terdengar suara alunan anjing hutan yang  melolong.
Malam bertambah larut, Jaka Someh menyuruh Dewi Sekar untuk segera istirahat tidur
"Nyai, sudah malam...silahkan ...kamu istirahat dulu saja...biar besok pagi nyai bisa kembali fresh...".
Dewi Sekar menuruti anjuran suaminya, sambil melirik ke wajah Jaka Someh, dia berkata dengan suara yang lembut
"Ya kang someh...kalau begitu...saya tidur dulu ya, kang. He...he...".Â
Dewi Sekar kemudian membaringkan dirinya di atas gerobak sapi yang dikemudikan Jaka Someh. Tak lama setelah itu, dia pun tertidur pulas dengan mimpi indahnya.
Bersambung ke Bab 45 Pemuda Yang Kuat
Kembali Lihat Daftar Isi dan Sinopsis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H