Aku tertawa, membuat wajah Nikho merah padam.
"Jadi, kau tidak hanya sedang ingin meruntuhkan kesombongannya, kan?" seruku. Nikho melotot padaku, "Akui saja, Nik. Kau benar-benar menyukainya, dan jika kau ingin memenangkan hatinya, kau harus berusaha sendiri. Kau tak bisa lagi mengandalkan aku sebagai pemandumu."
"Entahlah, tapi kau tahu aku tak bisa melakukannya sendiri."
"Bukankah kau selalu optimis dalam segala hal?"
"Kau tahu ini berbeda."
Aku tahu, mungkin saat ini Nikho belum menyadari sepenuhnya, apa arti semua yang dirasakannya hanya karena seorang penyanyi caffe.Â
Keesokannya, Nikho kembali datang ke rumah sakit. Sendiri. Dia mulai ngobrol dengan Utari, meski terlihat kaku tapi Nikho terlihat jauh lebih baik. Tak sekasar dan emosional seperti dulu.
Jujur, hal itu membuat hati Magnolia bergetar. Tapi dia tetap saja memasang kuda-kuda kalau-kalau pria itu memang hanya memberi kebaikan palsu saja.Â
Bahkan saat Nikho mengajaknya makan siang di restoran dekat rumah sakit, sikap wanita itu tetap saja dingin.Â
Mereka makan tanpa suara. Tapi akhirnya Nikho memutuskan untuk mencairkan suasana.
"Aku meminta Ervan untuk mencari pekerjaan baru untukmu."