Part 2
Before, Part 1
Saat kami hendak memasuki mobil di halaman parkir restoran, ada sebuah pemandangan yang menyita perhatian. Teriakan seorang wanita di antara beberapa pria yang hendak memaksanya memasuki sebuah mobil.
Jika hanya sebuah pertengkaran antara sepasang kekasih, itu tidak akan kami hiraukan. Tapi apa yang kulihat sangatlah berbeda, jelas wanita itu dipaksa untuk masuk ke city carwarna hitam itu.
Aku bergerak ke arah mereka, tapi Nikho menahanku. "Kau mau ke mana?"
"Wanita itu," sahutku.
"Itu bukan urusan kita, biarkan saja."
"Nikho, apa kau tidak lihat apa yang terjadi? Jika kau tidak mau membantunya jangan halangi aku?" seruku tetap melangkah menghampiri keributan itu.
Setengah tubuhnya sudah terdorong masuk ke dalam mobil, "Lepaskan aku!" serunya.
"Lepaskan dia!" Perintahku menghentikan mereka.Â
Beberapa di antara mereka terdiam lalu menolehku, begitu pun wanita itu. Melihat ada kesempatan maka dia melepaskan diri dan berlari ke belakang tubuhku.
"Tolong aku," pintanya dipenuhi rasa takut. Kulirik sejenak dari bahuku. Lalu kukembalikan pandangan ke arah para pria bertubuh kekar itu.Â
Mereka tampak marah karena kesenangannya kuganggu, tanpa kata mereka menyerangku. Dan tentu harus kulayani, dan tak kusangka ternyata mereka cukup tangguh. Cukup membuatku kewelahan, dalam hati kurutuk Nikho yang tak mengirim bantuan untukku. Padahal ke mana-mana kami selalu dikawal beberapa anak buah setia yang tentu saja mahir beladiri.
Apakah Nikho sengaja ingin aku mati?
Aku tahu aku tidak akan bertahan lama jika terus dikeroyok orang-orang ini, mereka pastilah sangat terlatih.Â
Saat tubuhku terbanting dan hendak mendspat serangan susulan, seseorang datang menghalangi dan menghajar orang-orang itu dengan ganas. Kusegera berdiri, ternyata Nikho turun tangan sendiri untuk membantuku.Â
Aku pun membantunya menyelesaikan apa yang aku mulai. Membuat orang-orang itu melarikan diri.
Setelah keadaan aman, Nikho menghampiriku tanpa menanyakan bagaimana nasibku.
"Kupikir kau akan membiarkanku mati!" kesalku menggerutu.
"Mana mungkin kau kubiarkan mati sekarang, masih banyak yang harus kau lakukan."
Jawabannya sungguh tak memuaskan.Â
Dan kini Nikho menoleh ke arah wanita itu yang terlihat ketakutan, dia memeluk tubuhnya sendiri. Sesekali menatap kami. Jelas rasa takut menyelimutinya, jardi kuhampiri dia.
"Kau tidak apa-apa?"
Wanita itu hanya menggeleng seraya sedikit mundur. Mata lentiknya melirikku  beberapa detik lalu matanya mengarah kepada Nikho yang menatapnya tanpa kedip. Beberapa helai rambutnya yang bersntakan di wajah disibaknya ke belakang. Seketika sebuah paras rupawan terpampang di hadapan kami.Â
Sejenak membuat jantungku berhenti berdetak. Tapi pandanganku dengan segera terhalang tubuh Nikho yang sudah berada di antara tubuhku dan wanita itu.Â
Tak ada suara yang kudengar terlontar, tapi wanita itu menatap Nikho dengan tatapan aneh. Dan aku sendiri tak tahu seperti apa Nikho menatapnya karena di membelakangku.
Menit berikutnya wanita itu berteriak. "Taksi!" dan segera berlari menuju taksi yang berhenti di pinggir jalan. Menenggelamkan dirinya ke dalam taksi biru itu.
Tubuh Nikho memutar menatap wanita itu pergi, saat itulah aku melihat sebuah sorot berbeda di matanya. Sorot yang tak pernah kulihat selama ini.
"Van, suruh seseorang mengikutinya. Aku ingin tahu semua tentang wanita itu!" perintahnya.
Kutoleh dia. "Apa?"
"Kau tahu aku tidak suka mengulang kalimatku!" geramnya.
"Ok."
Segera kuhampiri Reno dan memerintahkannya sesuai keinginan Nikho.
Reno paling ahli dalam hal itu. Dia berhasil mendapatkan di mana dia tinggal, dan dimana dia bekerja. Sayangnya, tak banyak yang bisa dikoreksi tentang wanita itu.
Tapi apa yang kami dapatkan itu cukup. Besok malamnya, kami pergi ke tempat wanita itu bekerja.
Sebuah caffe yang tak pernah kami kunjungi, menjadi tempat wajib yang Nikho datangi sejak malam itu. Di jam yang sama, kami duduk di meja yang sama menikmati lantunan lagu-lagu syahdu yang dipersembahkan oleh wanita itu.
Selama beberapa malam kami hanya melakukan itu, hingga sebuah malam Nikho mendatanginya melalui menejer caffe.
Ada ketakutan di mata wanita itu saat kami menemuinya. Mungkin wanita itu tahu siapa kami!
"Kau masih ingat denganku?" tanya Nikho.
"Ya, terima kasih sudah menolongku waktu itu. Tapi aku terburu-buru, aku harus segera ke stage!"jawabnya sedikit gugup.
"Tak perlu, akan ada yang menggantikanmu malam ini," sahut Nikho mencegahnya.
"Apa maksudmu?"
"Menejer caffe sudah memberimu ijin untuk tidak manggung malam ini."
Ada keheranan di dalam ekspresi wanita itu yang kami ketahui namanya, Magnolia. Sebuah nama yang cantik, sama seperti parasnya.Â
"Aku tidak mengerti?"
"Malam ini, kau harus ikut denganku!" itu terdengar seperti sebuah perintah, bukan permintaan.
"Ikut denganmu?" tanyanya heran.
"Ya,"
"Maaf, tapi aku harus bekerja!" tolaknya.
"Aku akan mengganti kerugianmu malam ini, kau tinggal katakan berapa!" timpal Nikho.
Magnolia membalas dengan tatapan tak menyenangkan, dia memberi ekspresi seolah baru saja ditusuk belati.
"Maaf, Tuan. Aku tidak akan pergi ke mana pun!" tolaknnya.
"Sayangnya, kau tidak dalam posisi untuk menolakku, Nona."
Kediaman memenuhi sekitar kami untuk beberapa saat. Tatapannya menaruh sebuah terkaan. "Jadi, kau meminta balasan dari pertolonganmu tempo hari?"
Nikho diam beberapa detik sebelum menjawab. "Anggap saja begitu."
Rahang Magnolia terlihat sedikit menggeras, membuatnya kian cantik.
"Apa yang kau inginkan?"
"Bisakah kau tidak banyak bertanya?" balas Nikho,
"Aku perlu tahu ke mana kau akan membawaku pergi," pernyataannya menjelaskan dia bukan wanita caffe pada umumnya. Yang mudah diajak pergi oleh pria-pria berkantong tebal.
"Kau akan tahu nanti."
"Aku tidak akan pergi sebelum tahu tujuanku," keukeuhnya.Â
Bisa kurasakan Nikho sedikit menggeram, sikap wanita itu sepertinya mulai membuatnya hilang kesabaran.Â
"Kau terlalu cerewet dan keras. Apa kau ingin bernegosiasi?" seru Nikho. "Baiklah, berapa yang kau mau? Sebutkan! Akan kusiapkan berapa pun yang kau minta."
Kulebarkan mata mendengar kalimat Nikho, sudah pasti seperti apa reaksi wanita itu. Tanpa menyahut dia melayangkan sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Nikho. Seketika wajah Nikho terlempat ke samping kanan. Hal itu juga menyulut amarah Nikho.
"Kau berani menamparku!" geramnya.
"Itu adalah hadiah dari kekurangajaranmu, Tuan. Kau pikir siapa dirimu? Kau pikir aku ini barang yang bisa kau beli? Maaf, ksu salah orang. Permisi!" serunya melewati kami begitu saja untuk menuju pintu samping.Â
Nikho diam membatu tanpa reaksi. Ini kali pertama seorang wanita menamparnya setelah menolaknya mentah-mentah. Jelas Nikho merasa harga dirinya runtuh seketika.Â
Dia meraba bekas tamparan itu, lalu menyunggingkan senyum tipis yang sinis. "Van, jangan biarkan dia lepas dari pandanganmu!" perintahnya. Ada amarah yang memuncak dalam nadanya, dan itu membuatku mulai khawatir.Â
Bersambung ....
Next, Part 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H