"Dengar Ed, aku tidak mau keluarga kita memiliki hubungan dengan gadis liar penggoda itu. Dan aku tidak akan membiarkan dia merebut kebahagiaan putriku. Tidak akan!"
"Kalau begitu, aku tak keberatan kehilangan keluarga ini. Karena aku tidak akan membiarkan kalian menyakitinya, aku tidak akan mengikuti kelemahanmu, Mas. Kelemahan yang membuat kita kehilangan wanita yang kita cintai, seharusnya dulu..., tak kubiarkan kamu menikahinya jika aku tahu kamu akan membiarkan Mama menyingkirkannya. Kita bahkan tidak tahu, apakah dia masih hidup atau tidak sampai sekarang!" mata Edwan memerah. Tapi ada amarah yang menguasai dirinya, ada luka yang tak pernah bisa sembuh.
Dan Hardi akhirnya hanya berdiri terpaku, bahkan ketika Edwan sudah meninggalkan ruangannya. Tapi ia membenarkan perkataan adiknya.
Â
Edwan menghampiri Sonia di pantry ketika jam istirahat. Gadis itu sedang menikmati makan siangnya ketika sift istirahatnya, "Maaf Sonia, aku harus kembali ke kantor. Tapi kamu tidak perlu khawatir, nanti aku sendiri yang akan menjemputmu pulang!" janjinya.
"Kurasa itu nggak perlu, Om. Aku bisa pulang sendiri kok!" tolak Sonia.
"Tidak, Sonia. Aku masih tak bisa membiarkanmu pulang seorang diri,"
"Om," potong Sonia. "Om nggak perlu khawatir, aku sudah lebih siap menjaga diriku. Lagipula sepulang kerja nanti, aku berencana pergi ke bengkel Pak Andi. Aku sudah lama nggak ke sana!"
Edwan memasang wajah kecewa. "Jadi akan ada yang menjemputmu, apa boleh buat..., aku ini kan sudah tua. Mungkin kamu malu berdua bersamaku!" seru Edwan dengan nada gurauan.
"Om ini ngomong apa sih, kalau begitu harusnya saat ini aku juga malu ngobrol dengan pria tua seperti, Om!" balas Sonia membuat Edwan tertawa.
"Baiklah kalau begitu, tapi ingat, jangan pulang sendiri. Mintalah seseorang menjemputmu, mungkin salah satu teman Dimas!" sarannya,