Sonia tidak terkejut dengan hal itu, ia juga tidak takut dengan ancaman Nancy.
"Aku bisa melakukan lebih dari itu, Nancy. Apa kau tahu...," Sonia menatap langsung ke mata gadis itu, "Aku baru saja keluar dari penjara karena membunuh Ayahku!"
Nancy melebarkan mata, mulutnya sedikit membuka tanpa suara. Tapi ia tak sepenuhnya mempercayai hal itu, mungkin gadis miskin itu hanya ingin menakutinya saja. Hanya menggertak!
"Kamu pikir kamu bisa membuatku takut!" balasnya.
"Jika kamu ragu akan hal itu, mungkin sebaiknya kamu bertanya kepada Papamu, aku yakin, dia sudah mencari banyak informasi tentangku. Jadi Nona manis, sebaiknya kamu berfikir seribu kali jika ingin berurusan denganku!" ancamnya tanpa ragu. Dan kali ini ekspresi Sonia juga penuh dengan ancaman. Nancy mulai dirayapi perasaan takut. Perlahan ia mundur lalu berbalik dan setengah berlari ke mobilnya.
Sonia menatap gadis itu hingga menghilang dari pandangannya, baru setelah itu ia bernafas lega. "Apa yang kulakukan!" desisnya menyeka wajah. "Sonia kau baru saja membuat masalah baru!"
Sonia menyadari apa yang dilakukannya, tapi ia tak ingin menjadi lemah karena itu hanya akan membuatnya tertindas. Ia pernah mengalami hal yang jauh lebih buruk. Bertahun-tahun mendapatkan kekerasan dari Ayah tirinya, lalu mengalami masa brutal di penjara anak di masa awal ia memasuki tempat itu. Dan ia berhasil bertahan hingga tak ada yang berani mengganggunya lagi. Maka kali inipun, ia juga harus bisa menghadapi mereka semua. Meski orang-orang itu memiliki kekuasaan.
* * *
Edwan berbicara dengan Reza di ruangan pribadi Reza, ia hanya ingin memastikan Sonia tidak bermasalah dengan siapapun. "Kamu sepertinya peduli sekali dengan gadis itu, kenapa tidak kamu nikahi saja. Itu akan menjadikan semuanya mudah, kamu bisa melindunginya, dia tak perlu bekerja, dan yang pasti..., kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun!" usul Reza sekenanya. Â
Tapi Edwan justru mendengus. "Dia hanya menganggapku seperti Ayahnya!" ada nada kecewa dalam suaranya. Edwan memungut cangkir tehnya dan menyesapnya beberapa kali, lalu meletakkan cangkir itu kembali ke meja.
"Tapi tidak dirimu, kamu tak menganggapnya sebagai putrimu. Dia wanita yang istimewa bagimu, iya kan?" goda Reza. Edwan melirik lalu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.