Perlahan pula dia terhuyung, memegangi dadanya yang mulai serasa sesak. Mulutnya bergerak-gerak, "Al-Alan!" desisnya lirih. Aku diam menatapnya, dia terduduk di lantai memegangi kasur. Lalu perlahan, dengan menahan rasa di sekujur tubuhnya dia menatapku. Lalu matanya berpindah ke cangkir di atas nakas.
"Tunggu!" serunya, "Albert, tidak mungkin gagal jantung..., dia..., tidak memiliki riwayat sakit jantung. Alan!"
Aku masih diam. Bergeming.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya menuduh. Bulir bening kembali meleleh dari matanya yang indah, "Alan, jawab aku?" desaknya.
Aku masih diam sampai beberapa detik. Menatap wajah cantiknya yang berurai airmata.
"Kita tahu Ran, kita tak bisa hidup satu sama lain!" sahutku, "kau juga tahu, aku sangat mencintaimu. Tapi kau lebih memilih menjadi pengantin papa, bukan pengantinku. Kita, terperangkap dalam linkaran yang rumit!" aku melangkah perlahan, dia mulai kesakitan.
"Aku tak bisa melihat kalian hidup bersama, aku sudah mencoba Ran!" suaraku mulai bergetar, "tapi aku tak bisa, pura-pura tidak mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, tapi aku juga sangat menyayangi papa!" airmataku mulai mengalir, kulihat Rana menggerakan mulutnya. Tapi tak terdengar apapun,
Aku berlutut di depannya, memungut wajahnya, "kita tahu..., papa...tidak bisa hidup tanpa aku____, dan kau...tak bisa hidup tanpa papa." ini semakin perih, aku juga mulai kesulitan berkata-kata, "dan aku,____ aku..., aku tak bisa, hidup tanpa kalian!" kurasakan cairan kental keluar dari hidungku, "katakan..., katakan sekali saja, bahwa kau...kau...juga mencintaiku!" pintaku dengan suara yang cukup lemah. Tanganku bergetar, aku bahkan tak bisa merasakannya. Selain sesenggukan yang keluar dari tenggorokan Rana, yang mulutnya...juga mulai mengeluarkan busa.
Ku biarkan tubuhku jatuh tersungkur sebelum mendengar permintaan terakhirku, mataku mulai memberat. Masih bisa kulihat Rana yang terduduk, dengan sedu yang kian melemah. Sebelum mataku menutup, aku bisa merasakan dengan lemah tangan Rana merabaiku. Dia memungut sesuatu dari kantung jasku, membaca tulisan di botol mungil itu.
Beberapa detik setelahnya, tubuhnya tergeletak lemah disisiku, menatapku. Suara botol menggelinding menjadi suara terakhir yang menggelitiki telingaku. Seperti alunan merdu simfoni yang harusnya melantun di pesta pernikahan papa hari ini.