"Kau kan punya banyak teman kencan, tidak patut kau merasa cemburu pada Albert!" dia terlihat kesal karena pertanyaanku. Terlihat sekali dia sangat membela papa.
"Aku sudah meninggalkan mereka semua, lagipula mereka bukan pacarku!" Â
Dia berdiri, "Alan, kapan kau akan dewasa. Kau pikir ini tidak berat untukku?" ketusnya lalu berlalu meninggalkanku tercenung sendiri menggantung di pinggir kolam.
Â
Aku tahu, aku menyadari dia mencintai papa dan juga aku. Tapi dia tetap harus memilih satu dari kami, dia pikir...aku memiliki hati yang jauh lebih kuat dari papa. Hanya karena selama ini aku sering mempermainkan perasaan wanita, tapi kurasa dia juga tahu bahwa selama ini aku juga terluka. Luka yang tidak akan pernah sembuh. Lalu dari sisi mana bahwa aku lebih kuat dari papa?
Papa bisa menemukan obat ketika Rana hadir dalam hidupnya, tapi apakah Rana bisa menjadi obat untukku ketika dia memutuskan untuk menjadi ibu tiriku?
* * *
Aku menyender tembok di sisi pintu balkon, bukan niat menguping pembicaraan papa dan Rana. Tapi aku memang menguping kan?
Kami sempat bicara enam mata beberapa saat tadi, dengan suara bergetar Rana mengatakan bahwa dia ingin menikah dengan papa. Dan dia meminta persetujuanku, tentu saja aku menyetujui. Aku tak bisa melihat Rana terluka karena penolakanku. Biar saja hatiku karam. Aku lebih rela. Â
"Kau adalah pria yang ingin aku nikahi, Albert. Aku sangat mencintaimu!" ungkapnya,
"Aku hanya tidak ingin mengkhianati putraku!" desis papa. Sepertinya mereka sedang berhadapan, bertatapan mesra. Aku tahu itu meski aku hanya bisa mendengar.