"Kau tidak mengkhianati siapapun," potong Rana, "kau yang aku inginkan, untuk menjadi seluruh hidupku!" rasanya sakit sekali mendengar Rana mengatakan hal itu. Tapi kebahagiaan dua orang itu juga segalanya bagiku, aku tahu saat ini papa dan Rana tengah menikmati ciuman hangat dibawah sinar bulan. Dan itu membuatku ingin berteriak.
Demi papa, demi Rana. Aku mencoba untuk menyisihkan perasaanku. Aku mencoba bersikap bahwa aku tak pernah mencintainya. Aku ingin menjadi teman yang baik baginya, aku ingin menjadi adik yang manis baginya seperti yang pernah dia katakan. Aku juga ingin menjadi anak yang baik untuk papa.
Aku mendampingi papa melamar Rana kepada orangtuanya, aku juga mendampingi mereka membuat gaun pengantin. Dan hari ini, akhirnya hari ini tiba. Dimana Rana dan papa akan mengikat janji suci.
Acara dilaksanakan dirumah saja, itu keinginan Rana. Saat ini dia sudah siap, hanya tinggal menunggu papa. Karena papa mendadak ada urusan penting, maka papa pergi keluar sebentar. Tapi acaranya seharusnya sudah dimulai dan papa belum juga kembali. Rana terlihat sangat cemas, dia berjalan mondar-mandir menjinjing gaun pengantinnya yang indah.
"Alan, tolong hubungi lagi papamu. Kenapa dia belum juga kembali?" cemasnya. Aku hanya diam. Lalu bibi membuka pintu, saat ini aku dan Rana sedang berada di dalam kamar papa,
"Den Alan, tuan...!"
Rana langsung memotong, "bibi, Albert sudah kembali?" tanyanya, antara cemas dan girang bercampur menjadi satu. Tapi seketika itu semua lenyap, wajahnya memutih, "tidak non Rana, tuan...tuan Albert!"
"Ada apa dengan Albert?"
"Tuan Albert mengalami kecelakaan, nyawanya tidak bisa diselamatkan!"
Rana membatu. Tak bereaksi. Satu detik, dua detik, lima detik. Lalu dia menggeleng perlahan, "tidak, bibi jangan becanda. Ini sama sekali tidak lucu!" desisnya,
"Jenazah tuan Albert sudah berada di rumah sakit," isak bibi, "kata pak polisi, kemungkinan tuan Albert meninggal sebelum kecelakaan terjadi!"