[caption caption="pixhome.blogspot.com"][/caption]Sebelumnya, Pengantin Papaku (2)
Â
Beberapa hari ini aku harus melihat langit mendung di dua sisi, pertama pada papa, kedua...keceriaan Rana yang memudar. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Rana. Kalau papa aku sudah pasti tahu. Dan itu karena aku.
"Pa, aku tidak masalah kok, kalau papa mau menjalih hubungan dengan seseorang. Asal itu bisa membuat papa senang, dan...orang itu...!"
"Papa tidak memikirkan itu lagi, mengurusmu saja terkadang membuat papa pusing!" potong papa.
"Kenapa jadi aku?"
"Kapan kau akan fokus pada satu gadis saja?" papa melirikku tajam, "bukankah kau bilang kau jatuh cinta pada seseorang, tapi papa masih memergokimu gonta-ganti cewe!" sindirnya,
"Dia hanya menganggapku sebagai adik, apa boleh buat!"
"Kau sama payahnya dengan papa, tak bisa menakhlukan hati wanita!"
"Hanya satu wanita pa, tapi setidaknya kami dekat!" protesku. Kami diam melanjutkan sarapan, lalu kupecahkan kediaman itu dengan bertanya kepadanya, "pa, ehm..., lalu...bagaimana dengan teman chatt papa itu?"
Papa terdiam, berhenti mengunyah lalu perlahan menatapku.
"Papa tidak lagi berhubungan dengannya," sahutnya datar. Aku bisa menangkap kesedihan dalam nadanya, aku tahu papa tidak rela putus kontak dengan teman chattnya itu.
"Kenapa?"
"Papa ini kan sudah tua, daripada memikirkan hal seperti itu...kan lebih baik papa memikirkan kelakuanmu yang amburadul itu!"
"Ohok!"
Air putih yang sedang mencium lidahku harus muncrat keluar membasahi meja dan beberapa hidangan. Tapi untungnya aku tidak kesedak, segera kulap mulutku dengan tisu dan membalas tatapan papa.
"Kau tahu, papa tidak mau kau tumbuh seperti anak-anak relasi papa. Berteman dengan miras, sex party, dan disambung narkotika. Papa tidak ingin melihatmu hancur, papa membebaskanmu melakukan apapun bukan berarti...kau bisa menggauli semua itu!" terang papa. Aku hanya mematung, "papa tidak akan menjodohkanmu demi bisnis, meski teman-teman papa sering menanyakanmu untuk putri mereka. Papa tidak mau, kau menjalani rumah tangga seperti itu. Yang pada akhirnya, kau akan menghancurkan hidupmu, anak-anakmu. Tidak Alan! Papa tahu bagaimana rasanya, dan itu cukup menyakitkan!"
Aku kian terpaku. Papa memang menikah karena perjodohan dengan wanita itu, papa belajar mencintainya. Memberinya kasih sayang, tapi apa yang dia dapat? Hanya pengkhianatan, dan tak hanya sekali. Meskipun aku telah hadir diantara mereka, wanita itu tetap saja berlaku sesuka hatinya. Pergi kesana-kemari tidak jelas, pulang dalam keadaan mabuk. Hingga dia bertemu dengan seseorang yang menurutnya pangeran hatinya, dia pergi. Bersama pria itu, meninggalkan papa. Meninggalkanku.
Kami masih berharap wanita itu akan kembali pada kami, hingga suatu hari, saat papa membawaku berlibur ke Australi. Kami bertemu dengannya, di sebuah restoran, dia bersama pria itu. Aku sangat merindukannya, maka akupun berlari dan langsung memeluknya. Kupikir dia akan memelukku, menciumku, karena kerinduan yang sama. Bagaimanapun aku adalah anaknya. Tapi apa?
Dia mendorongku hingga jatuh terjerembat, memarahiku dengan lantang hingga semua mata mengarah padaku.
"Kau ini, dasar anak tidak tahu aturan. Datang-datang langsung memelukku seenaknya, kau pikir kau ini siapa? Ha?"
"Mama...!"
"Aku bukan mamamu, pergi! Aku tidak punya anak sepertimu!"
"Gisela!" seru Albert, "kau boleh tidak menganggapku, tapi bagaimanapun...Alan adalah anakmu. Dia lahir dari rahimmu!"
"Itulah kebodohanku, seharusnya dia tak pernah kulahirkan!"
"Kau keterlaluan Gisela,"
Keesokan harinya, papa mendapat surat gugatan cerai. Dan dia langsung menandatanganinya, saat itu usiaku 8 tahun. Aku cukup mengerti dengan perlakuan wanita itu terhadapku, sejak hari itu aku tidak mengharapkannya lagi. Bagiku dia sudah mati. Dia tak pernah ada.
* * *
Aku menjemput Rana di kantornya, seperti biasa aku harus menunggunya lebih dari satu jam di parkiran.
"Kalau kau terus membuntutiku begini bagaimana aku bisa mendapat cowo untuk kencan!" ketusnya begitu memasuki mobilku, "kencan saja denganku, aku siap kapan saja!" balasku.
"Maumu!"
Aku tertawa ringan dan langsung tancap gas. Sebenarnya aku tahu kalau dia juga memiliki perasaan terhadapku, tapi mungkin karena gengsi dengan usia atau teman-temannya maka dia tak mau mengakui hal itu.
"Kenapa kau tidak mau pacaran denganku?" sekali lagi kutanyakan hal itu padanya, dia sedang memejamkan mata. Joknya ia turunkan sedikit, kedua kakinya menekuk naik ke jok, tubuhnya miring menghadapku. Dia memeluk bantal yang memang selalu ada di dalam mobilku, bantalku semasa kecil. Dia sangat menyukainya. Dia memang biasa tidur sejenak di dalam mobil setiap kali kujemput dari kantor. Tapi kali ini aku tahu dia belum terlelap.
"Pacarmu banyak Alan, aku tidak mau menjadi salah satu dari mereka!" sahutnya tanpa membuka mata, aku menepikan mobilku di pinggir jalan yang cukup sepi dekat taman kota. Di bawah rindang pohon Cherry. Ku tatap wajah manisnya yang bermake-up lembut.
"Aku mengencani mereka karena kau masih selalu menolakku."
"Alasan!"
"Kalau aku berhenti berlaku seperti itu, kau mau...berkencan denganku?" tanyaku lembut. Dia membuka matanya perlahan, membalas tatapanku.
"Mungkin bisa ku pertimbangkan!"
"Sungguh?" girangku spontan. Aku sedikit mendekat padanya, memasang rona kebahagiaan. Dia tersenyum juga, lalu tiba-tiba saja dia menarik tubuhnya dari jok. Menggerakannya ke arahku, kurasakan sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibirku. Mataku melotot seketika, itu bibirnya, yang dia sapukan dua detik ke bibirku. Aku hanya mampu mematung tak percaya, sementara dia tersenyum melihat reaksiku lalu berkata,
"Terima kasih sudah menadi adikku yang manis!" ucapnya. Aku ingin membuka mulut tetapi ia segera memotong, "aku mau tidur, jangan menggangguku!" ancamnya. Ia segera ke posisinya yang semula dan memejamkan mata, kutatap kembali wajahnya. Aku masih tersesat dalam pikiranku sendiri, apakah tadi itu nyata? Dia menciumku!
Aku girang bukan kepalang, meski hanya sapuan ringan selama dua detik. Tapi itu adalah sebuah sinyal kuat yang bisa ku tangkap darinya. Hembusan lembut menerpa darinya, dia sudah terlelap. Dan sangat anggun saat tertidur.
Kami jadi semakin dekat, tapi masih sama. Tak berstatus pacaran, dia justru berkata, "baiklah Alan, jika aku tak juga mendapatkan pria yang cocok dalam tahun ini..., kau boleh menjadi pacarku!" berarti harus menunggu tahun depan. Tirak adil. Tapi aku tetap senang, dan ya, aku sudah meninggalkan kebiasaanku gonta-ganti cewe. Aku akan setia terhadapnya seperti kata papa. Jika aku ingin mendapatkan perhatiannya aku harus buktikan bahwa aku pantas untuknya.
Â
Hari ini aku berencana membawa Rana ke rumah untuk makan malam. Sekalian ku kenalkan ke papa, dia cantik sekali memakai gaun perak rancangannya sendiri, dilengkapi dengan blazer putih yang modis. Wah..., kalau begini, papa bisa kecantol juga. Aku mulai kuatir.
"Rumahmu lumayan nyaman, penataannya bagus!" pujinya, aku meringis sambil menggaruk leherku yang sudah tentu tidak gatal, "sebenarnya papa yang pandai mengatur ruangan, aku sih paling...cuma bisa memberantaki!"
Dia tertawa lembut, aku menyuruhnya untuk duduk dulu di ruang tengah. Bibi segera datang membawa secangkir teh melati hangat untuknya. Sementara aku memanggil papa di ruang kerjanya,
Papa menghentikan langkah ketika sampai di ruang tamu, Rana berdiri dari duduknya. Mereka bertatapan, membuatku heran. Tapi aku dan papa kembali melangkah hingga ke depan Rana. Mereka masih bertatapan seolah saling mengenal.
Tunggu, saling mengenal? Tidak mungkin!
"Albert!" sapa Rana. Aku terpaku.
"Rana!" balas papa.
Aku semakin terpaku. Mereka saling mengenal! Aku tak tahu harus bagaimana selain hanya diam memandangi keduanya secara bergantian. Mengartikan tatapan mereka yang sungguh membuatku gusar. Tatapan yang penuh kerinduan bagai sepasang kekasih yang baru dipertemukan setelah sekian lama terpisah.
Â
__________o0o__________
Â
Selanjutnya, Pengantin Papaku (4) || Pengantin Papaku (1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H