Ku tatap ketiga wanita itu yang menurutku hampir semuanya memiliki tubuh yang seksi, terutama wanita yang menubrukku. Yang bahkan tidak malu berbicara sembrono di muka umum, wajahnya memang standar wanita pribumi, dengan kulit kuning langsat, mata coklat tidak terlalu besar. Dia tidak terlalu cantik. Tapi manis.
"Yang rambut merah boleh juga, Lan!" bisik Amar, aku hanya meliriknya. Tapi si Andrew segera menyeletuk, "alaaaah..., paling mereka cuma modus. Pura-pura nabrak biar diajak kenalan, biasa!"
Aku sependapat dengannya. Contohnya sudah banyak, tapi entah...aku justru sedikit terganggu dengan wajah wanita itu. Tapi kulanjutkan saja lariku bersama dua sohibku yang sama-sama brengsek. Kami sedang di GBK saat itu.
Siangnya...,
Kutepikan mobilku ke sebuah bengkel yang memang kusus mobil-mobil sepertiku. Memang bukan langganan sih, tapi bengkel yang yang terdekat dari tempat ban mobilku mleduk. Aku harus meminta bantuan dua bocah penjual koran untuk mendorongkannya, lalu kubagi saja upah keringat untuk mereka. Senyum girang langsung mengembang dan mereka berlari riang setelah menerima beberapa lembar uang merah dariku. Mungkin bagi mereka itu banyak, padahal bagiku, itu cuma recehan.
"Ada apa dengan mobilnya mas?" tanya seseorang.
Sebuah suara yang rasanya aku pernah mendengarnya, kuputar tubuhku secepat kilat. Kami berdua sama-sama terkejut. Diam. Melotot. Wanita itu? Yang tari pagi, dia... Kuperhatikan dia dari atas hingga bawah. Ia memakai pakaian seorang montir, dengan rambut yang masih tergerai indah sebahu. Entah kenapa terselip rasa senang di hatiku. Meski aku tetap bersikap dingin padanya,
"Bannya pecah. Aku tidak membawa ban serep, bisakah kau ganti?"
"Ok, tak masalah mas!"
"Apa aku terlihat seperti mas-mas?" protesku sedikit lantang, dia sedikit tersentak tapi tetap tenang, "woi...santai saja, tak perlu marah-marah, nanti cepat tua!"
"Apa?"