Sebilah sisir melayang ke arahku. Segera saja aku berlari meninggalkan ruangan itu sambil tertawa kecil. Acaranya memang diadakan di rumahku. Rumah papa tepatnya, karena aku tahu papa belum mengalih wariskannya padaku. Aku berjalan santai sambil membayangkan dia mengenakan gaunnya. Dia pasti akan cantik sekali.
Dia memang cantik. Wanita tercantik yang pernah kutemui, meski teman-temanku mengatakan dia biasa-biasa saja. Awalnya aku juga berpikir demikian saat pertama kali kami bertemu. Pada hari itu juga pendapatku tentangnya berubah. Dia adalah wanita yang berbeda, wanita yang mengubah anggapanku terhadap semua wanita. Karena bagiku, semua wanita itu adalah pelacur. Mereka tak segan memamerkan lekuk tubuhnya hanya demi kesenangan dan materi. Mereka semuanya hanyalah makhluk pencari kenikmatan, baik lahir maupun batin. Aku benci mereka. Aku muak setiap berurusan dengan wanita.
Tapi aku bukan gay. Tentu! Aku benci bukan berarti tak pernah bersama mereka. Aku sering bersama mereka, menghabiskan malam bersama hingga akhirnya kucampakan mereka setelah aku puas. Ya, aku butuh mereka hanya untuk mengisi malamku yang kosong. Setelah itu, bye...aku tak peduli mereka mau tenggelem di belahan bumi sebelah mana. Aku tak peduli mereka hamil atau tidak. Yang penting, urusanku dengan mereka...selesai! Titik.
* * *
BRUKK!
Aku terkejut ketika kurasakan ada sesuatu yang menubrukku. Kubalikan badan dan kulihat seorang wanita terjerembat di tanah,
Dua orang wanita lainnya datang dan langsung membantunya berdiri, "aduh Ran, kok bisa jatuh gini sih?" seru yang berambut merah yang ku yakin karena pewarna. Dia cantik, dan menatapku genit. Sementara wanita yang jatuh itu, yang di panggil Ran oleh si rambut merah. Biasa saja terhadapku.
"Kau tidak punya mata ya, menabrak orang seenaknya?" makiku kesal.
"Hei, bagaimanapun temanku yang jatuh bukan kau. Kenapa kau marah-marah?" tukas yang berambut pendek, bergaya tomboy.
"Sudah, maaf ya!" seru wanita itu, "aku sudah tidak tahan, keburu muncrat kencingku. Arghh...!" serunya langsung berlari meninggalkan dua temannya.
"Ran, tunggu!" seru si tomboy menyusul, tapi kembali lagi karena si rambut merah masih berdiri menatapku, "ayo, dasar ganjen!" tariknya.