"Oleh karena itu, aku ingin berubah!" tegasku. Ia bangkit dari duduknya, berjalan ke arahku dengan menawan. Bram, dia memang pria tampan yang menarik hati. Hampir semua orang-orang sepertiku tak mampu menolak pesonanya, bahkan banyak juga wanita yang menginginkannya karena tidak tahu siapa dia sebenarnya. Ia berlutut di depanku, menaruh kedua tangannya di kasur. Mengurungku.
Kami bertatapan dalam diam.
"Apa menurutmu...jika suatu saat istrimu tahu bagaimana masalalumu..., dia akan bisa menerima. Bahwa suaminya, dulu seorang gay?" nada suara menyimpan suatu arti.
"Dia tidak akan tahu!" sanggahku.
"Suatu saat dia akan tahu. Dengar Dit, sebaiknya kau mengikuti kata hatimu. Sebelum kau melukainya, lebih baik jangan. Kau tidak akan berhasil!"
"Kita tidak tahu sebelum mencoba!" sahutku keukeuh.
"Dan apakah kau bisa, memperlakukannya dengan baik. Bukankah kau bilang..., kau sama sekali tak bisa tertarik dengan wanita manapun, akui saja Dit, kita bukan satu-satunya. Kau tidak sendirian, kita bisa mencari kebahagiaan bersama. Karena aku..., benar-benar jatuh cinta padamu!" aku Bram.
"Tapi aku tidak!"
"Sungguh?" ragunya, "aku tahu tatapanmu terhadapku, kau juga mencintaiku kan? Akui itu sayang!" pinta Bram menyentuh pipi kiriku. Seketika sentuhannya membuatku bergetar. Membuatku menahan nafas. Aku tahu dia mengetahui itu. Ku akui, aku memang jatuh cinta padanya. Tapi...,
"Tidak!" aku menjauhkan kepalaku darinya. Sedikit membuang muka ke samping, "aku tidak mau lagi, apa kau tahu...?" ku kembalikan wajahku menatapnya dengan mata memerah, "aku sangat tersiksa..., aku masih bisa merasakan sakitnya saat ibuku menatapku dengan kecewa setelah tahu bagaimana diriku. Aku berusaha..., untuk bisa menjadi normal,"
"Kita normal!" potong Bram.