"Kau lapar ya, ya sudah...kita pulang. Om juga lapar, nanti lanjutkan di rumah saja pijitnya. Kita gantian deh, ok!" serunya. Aku hanya mengangguk. Mungkin karena sudah lama kehilangan ayah, jadi aku berfikir...perhatian om Tirta ku anggap sebagai perhatian seorang ayah kepadaku. Karena diapun belum memiliki anak.
Sesampainya di rumah kami mandi dan langsung makan sebelum waktu makan malam tiba. Kebetulan hari minggu, toko om Tirta memang tutup.
"Mas, ku ajak mbak Yuni ikut pengajian sekalian ya!" ijin tante Lina yang sudah rapi, aku dan om Tirta sedang menonton tv saat itu.
"Iya!" sahutnya simple, ia hanya melirik ke arah istrinya dengan tetap menyimak acara televisi. Tak lama, ibuku muncul dari kamar. Lalu mereka segera pergi. Selama 30 menit kami diam di depan tv.
Lalu tiba-tiba om Tirta mematikan televisinya, aku sedikit kesal karena acara vaforitku harus terpotong.
"Kok tvnya di matiin om?" protesku,
"Katanya mau lanjut mijitin om. Ayo, nanti gantian kau kupijit juga!" katanya berdiri dan berjalan ke kamarnya. Aku masih diam untuk beberapa saat. Tapi kupikir tak ada salahnya, anggap saja seperti memijit ayah sendiri. Akupun menyusul ke kamarnya, ketika sampai ku temukan om Tirta sudah menelungkup di atas kasur hanya mengenakan celana kolor warna abu-abu.
Aku cuek saja, akupun naik ke kasur dan mulai memijit punggungnya. Kira-kira setelah 15 menitan kupijit, om Tirta berbalik menatapku.
"Sekarang giliranmu, ayo!" iapun bangkit duduk.
"Tidak usah om, aku tidak capek kok!"
"Tidak bisa begitu, tadi kan om sudah janji mau memijitmu. Ayo, buka bajumu biar lebih enak!" suruhnya. Lagi-lagi aku hanya menurut, entah kenapa aku serasa tak mampu menolak permintaanya. Ku buka bajuku dan ku baringkan tubuhku menghadap kasur.