Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Aku Tak Ingin Menjadi Sampah

27 Juli 2016   16:33 Diperbarui: 27 Juli 2016   16:39 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="99pcwallpaper.com"][/caption]Usiaku 9 tahun saat itu, ibuku mengajakku berlibur ke rumah sepupunya. Dia seorang pedagang kain, tokonya lumayan ramai setiap hari. Dia memang ramah, memperlakukan kami dengan sangat baik. Dia sudah menikah, tapi belum memiliki anak. Istrinya sangat cantik, dan sangat menyukaiku. Katakan saja..., mereka menganggapku seperti anak mereka.

Biasanya ibuku akan membantu om Tirta di tokonya. Ya, namanya Tirta. Dia juga orang yang cukup tampan. Suatu sore dia mengajakku memancing di sungai, aku sangat gembira karena memancing adalah salah satu hobiku.

"Bagaimana sekolahmu, Dit?"

"Baik om,"

"Otakmu masih jenius kan, pertahankan. Biar kau jadi orang sukses!" pesannya seraya menggaruk lehernya. Ku tatap aliran sungai yang cukup deras di hadapan kami. Kebetulan aku memang tergolong pintar, meski tidak populer di sekolah.

"Dit, pundak om pegel nih. Tolong pijitin ya!" pintanya tiba-tiba. Ku toleh dia yang tengah menggerak-gerakan kedua bahunya, tanpa menyahut ku tarik pancinganku keluar dari air dan menaruhnya di atas batu besar tempat kami duduk. Aku berpindah ke belakangnya, berdiri dan mulai memijit pundak om Tirta.

"Pijitanmu enak Dit!" pujinya, "pindah ke kaki ya!" pintanya sambil memutar tubuhnya. Ia juga sudah tak memegang pancingannya lagi, aku segera memijit kakinya pula.

Aku tahu om Tirta terus memperhatikan wajahku, "kau tahu Dit, kau bocah yang sangat menawan. Kalau besar nanti pasti banyak yang suka!" aku tak mengerti arti ucapannya saat itu. Tapi tatapan matanya menyimpan sesuatu.

"Naik ke sini dong, Dit!" pintanya menepuk pahanya. Ku turuti permintaannya, aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku seperti mendnegar om Tirta mendesis, seketika ku jauhkan tanganku dan bertanya, "om Tirta kenapa?" cemasku. Matanya yang memejam membuka dengan cepat, menatapku dengan ekspresi kecewa.

"Kok berhenti, kau tidak iklas memijitku ya?"

"E..., bukan om. Tapi...!" kalimatku terhenti oleh suara gemuruh dari perutku. Baik aku maupun om Tirta melebarkan mata, lalu seulas senyum lahir di bibirnya, membuat pipiku memerah dan meringis malu,

"Kau lapar ya, ya sudah...kita pulang. Om juga lapar, nanti lanjutkan di rumah saja pijitnya. Kita gantian deh, ok!" serunya. Aku hanya mengangguk. Mungkin karena sudah lama kehilangan ayah, jadi aku berfikir...perhatian om Tirta ku anggap sebagai perhatian seorang ayah kepadaku. Karena diapun belum memiliki anak.

Sesampainya di rumah kami mandi dan langsung makan sebelum waktu makan malam tiba. Kebetulan hari minggu, toko om Tirta memang tutup.

"Mas, ku ajak mbak Yuni ikut pengajian sekalian ya!" ijin tante Lina yang sudah rapi, aku dan om Tirta sedang menonton tv saat itu.

"Iya!" sahutnya simple, ia hanya melirik ke arah istrinya dengan tetap menyimak acara televisi. Tak lama, ibuku muncul dari kamar. Lalu mereka segera pergi. Selama 30 menit kami diam di depan tv.

Lalu tiba-tiba om Tirta mematikan televisinya, aku sedikit kesal karena acara vaforitku harus terpotong.

"Kok tvnya di matiin om?" protesku,

"Katanya mau lanjut mijitin om. Ayo, nanti gantian kau kupijit juga!" katanya berdiri dan berjalan ke kamarnya. Aku masih diam untuk beberapa saat. Tapi kupikir tak ada salahnya, anggap saja seperti memijit ayah sendiri. Akupun menyusul ke kamarnya, ketika sampai ku temukan om Tirta sudah menelungkup di atas kasur hanya mengenakan celana kolor warna abu-abu.

Aku cuek saja, akupun naik ke kasur dan mulai memijit punggungnya. Kira-kira setelah 15 menitan kupijit, om Tirta berbalik menatapku.

"Sekarang giliranmu, ayo!" iapun bangkit duduk.

"Tidak usah om, aku tidak capek kok!"

"Tidak bisa begitu, tadi kan om sudah janji mau memijitmu. Ayo, buka bajumu biar lebih enak!" suruhnya. Lagi-lagi aku hanya menurut, entah kenapa aku serasa tak mampu menolak permintaanya. Ku buka bajuku dan ku baringkan tubuhku menghadap kasur.

Om Tirta memijit seluruh tubuhku dengan cukup lembut, aku hampir terlelap ketika sesuatu menyentuh bagian pribadiku. Langsung aku melonjak jauh, berbalik menatapnya.

"Kok sampai kesana om?"

"Biar enak, seluruh bagian tubuhmu harus di pijit. Tidak apa-apa, sini. Tapi nanti gantian ya!"

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kuturuti perkataannya. Pijit-memijit itu pun berlanjut hingga aku merasakan sesuatu yang berbeda, yang saat itu tak aku mengerti apa namanya. Tapi entah, aku merasa menyukai sensasinya. Dua hari kemudian, aku dan ibu kembali ke kotaku. Selama perjalanan pulang, aku tak bisa menyingkirkan kejadian malam itu di kamar om Tirta dari benakku. Apalagi om Tirta bilang, kalau dia ada waktu dia akan berkunjung ke rumahku.

Dan itu benar, lima tahun kemudian dia datang ke kotaku dan menginap di rumah kami. Aku sudah mulai lupa padanya karena selama lima tahun tak ada kontak. Meski selama ini ibuku sering berhubungan dengannya lewat telepon tapi ibu tak pernah menyebut namanya atau membicarakannya.

"Hai Dit, lama tidak ketemu. Om kangen deh!" katanya mengelus kepalaku, "kau sudah besar rupanya, tambah cakep!" pujinya.

"Dit, antar om Tirta ke kamar yang tadi kau bereskan. Dia pasti lelah perjalanan jauh!" suruh ibuku.

"Ayo om!" ajakku berjalan dahulu.

Om Tirta datang karena ada urusan dengan bisnis kainnya, kebetulan...ibu adalah satu-satunya saudaranya di kota kami. Ibu juga cukup sibuk dengan bisnis cateringnya. Rumahku memang tak terlalu besar, tapi terdiri dari dua lantai. Lantai bawah ibu jadikan sebagai tempat usaha cateringnya, dan lantai atas adalah rumah kami. Ada tiga kamar tidur yang tak terlalu besar, satu ruang tamu, satu dapur sekaligus ruang makan dan satu kamar mandi. Di bagian atap dibangun satu tempat untuk menjemur pakaian, biasanya aku suka membaca buku disana.

Dua hari sudah om Tirta menginap di rumah kami, dia terlihat sangat sibuk. Pergi pagi pulang malam, yang ku dengar istrinya sudah melahirkan seorang anak perempuan yang sangat cantik.

Tubuhku sedikit melonjak ketika pintu kamarku terbuka tiba-tiba, om Tirta muncul di ambang pintu, "Dit, ibumu kemana? Om bawa martabak tuh!"

"Ibu sedang pergi arisan om?"

"Sudah lama?"

Ku lirik jam di dinding yang baru menunjuk jam 8 malam, "baru setengah jam om, biasanya pulangnya sampai jam 10!" sahutku santai.

"Oh...!" sahutnya menutup pintu dan berjalan menghampiriku yang tengah mengerjakan tugas sekolahku di meja belajar. Dia berdiri di sampingku, "belajar apa?" tanyanya.

"Matematika om, sudah mau selesai kok!"

"Om mau minta tolong, boleh tidak?"

Ku toleh wajahnya yang nampak lelah, "minta tolong apa om?" tanyaku tanpa curiga. Dia mengembangkan senyum tipis, menaruh tangannya di salah satu pundakku,

"Pijitin om ya, cape nih!"

PIJIT!

Tiba-tiba anganku melayang ke masa lima tahun silam. Dimana proses pijit-memijit menjadi berbeda, aku terdiam tak menyahut. Ku turunkan pandanganku dari matanya, memutar pulpen di tanganku.

"Kau tidak mau mijitin om ya, masa' om nanti harus minta pijit ibumu. Dia pasti lelah juga, kasihan!"

Aku tidak berfikir yang aneh tentang itu, toh om Tirta kan sepupu ibu. Tentu om Tirta segan meminta ibu untuk memijitnya karena ibu memang juga lelah seharian bekerja.

"Iya om, mau di sini atau di kamar om?" kataku menyanggupi. Om Tirta melebarkan senyumannya, "di sini saja, kau punya lotion kan?" sahutnya.

Aku mengangguk. Ku taruh pulpenku di atas buku yang masih terbuka, lalu aku bangkit untuk mengambil lotion di meja lain. Om Tirta langsung saja membuka bajunya dan berbaring telungkup di atas kasurku, menyisakan celana boxer hitamnya. Akupun segera naik dan mulai memijitnya,

"Pijitanmu tambah enak Dit, nanti gantian kau juga om pijit ya. Biar impas!" katanya. Aku terdiam sesaat, kejadian lima tahun silam memang hanya terjadi sekali. Tapi aku masih bisa merasakan sensasinya hingga detik ini, dan itu yang membuatku sering melakukannya sendiri. Tentu secara diam-diam karena aku tak mau ibuku tahu.

Tubuhku mulai berkeringat memijitnya, karena aku lupa menyalakan kipas. Aku berhenti memijit untuk beristirahat, om Tirta bangkit duduk, "capek ya?" tanyanya.

Jawabanku hanya sebuah cengiran.

"Sini, om pijit tanganmu!" katanya memungut lengan kananku dan mulai memijitnya. Kini gantian om Tirta yang memijitku, seperti dulu, aku harus melepas bajuku juga. Dan seperti dulu pula, pijit-memijit kami berubah menjadi sensai yang lain. Entah, aku sangat menikmatinya. Bedanya, malam ini lebih dari itu. Om Tirta mengajariku ilmu baru, di usiaku yang menginjak remaja, aku tahu apa nama dari perbuatan kami.

Kali ini bukan hanya menggunakan tangan, tapi kami benar-benar melakukannya. Bahkan kami sampai mengulanginya secara adil. Anehnya, aku tak merasa canggung ataupun malu lagi. Justru sangat menikmatinya. Dan om Tirta segera kembali ke kamarnya ketika mendengar gerbang pendek rumah terbuka. Artinya, ibu sudah pulang. Akupun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sejak itu, setiap ada kesempatan om Tirta pasti akan memintanya lagi. Kami bahkan pernah melakukannya saat menjemur pakaian. Hingga waktunya om Tirta harus kembali ke kotanya, aku merasakan sesuatu yang hilang saat menatapnya pergi. Aku terlanjur menyukai apa yang kami lakukan, jika dia pergi...artinya...aku harus melakukannya sendiri ketika menginginkannya. Jadi di dalam hati, aku berharap om Tirta akan datang lagi dan tinggal di rumah kami. Tapi ternyata tidak, karena dia terlanjur pergi, pergi selamanya. Meninggalkanku di dasar jurang yang paling kelam.

"Bu, ada apa?" tanyaku saat ibuku membeku menerima telepon keesokan harinya ketika kami sedang sarapan pagi, "Adit, om Tirta...kecelakaan___dia meninggal!" seru ibuku dengan suara bergetar.

Aku terpaku. Sendok di tanganku lepas perlahan. Ada sesuatu yang menghantam dadaku, merenggutnya dan membawanya pergi. Menjadikannya kosong. Aku merasa kehilangan. Tapi entah, apakah aku merasa kehilangan om Tirta karena sosoknya, atau merasa kehilangan akan sentuhannya, perlakuannya. Karena aku tahu, aku tak akan bertemu lagi dengannya. Tak akan mengulang apa yang kami lakukan saat bersama. Tidak lagi!

 

* * *

"Sejak itu..., setiap aku mengingatnya. Aku menginginkan hal itu, aku tidak tahu apakah aku merindukan om Tirta, ataukah...apa yang di lalukannya terhadapku. Yang jelas..., saat aku merasa sendiri..., aku melakukan hal itu sendirian. Membayangkan om Tirta yang menyentuhku!" ku hirup udara dari lubang hidungku, menatapnya yang diam bergeming di depanku.

Aku duduk di tepi ranjang, dan sosok yang selama beberapa bulan terus mencoba mendekatiku ini duduk di sofa. Kami berada di sebuah kamar hotel.

"Lalu, apakah kau pernah berhubungan dengan oranglain selama ini?"

Ku tatap matanya yang meminta kepastian.

"Beberapa, teman kuliah, terkadang...bertemu di klub!"

"Lalu kenapa kau tidak mau berhubungan denganku?" protesnya. Matanya menatapku penuh arti, "karena aku tidak mau lagi, ibuku ingin aku menikah dengan seorang wanita!"

"Wanita..., he...he...!" dia tertawa. Merdu. Seperti biasa, dan itu adalah salah satu hal yang membuatku harus sekuat tenaga untuk tak menginginkannya, "bisakah kau?"

"Aku tidak ingin menyakiti ibuku!"

"Kau sudah melakukannya Dit, kau sudah melakukannya!"

"Oleh karena itu, aku ingin berubah!" tegasku. Ia bangkit dari duduknya, berjalan ke arahku dengan menawan. Bram, dia memang pria tampan yang menarik hati. Hampir semua orang-orang sepertiku tak mampu menolak pesonanya, bahkan banyak juga wanita yang menginginkannya karena tidak tahu siapa dia sebenarnya. Ia berlutut di depanku, menaruh kedua tangannya di kasur. Mengurungku.

Kami bertatapan dalam diam.

"Apa menurutmu...jika suatu saat istrimu tahu bagaimana masalalumu..., dia akan bisa menerima. Bahwa suaminya, dulu seorang gay?" nada suara menyimpan suatu arti.

"Dia tidak akan tahu!" sanggahku.

"Suatu saat dia akan tahu. Dengar Dit, sebaiknya kau mengikuti kata hatimu. Sebelum kau melukainya, lebih baik jangan. Kau tidak akan berhasil!"

"Kita tidak tahu sebelum mencoba!" sahutku keukeuh.

"Dan apakah kau bisa, memperlakukannya dengan baik. Bukankah kau bilang..., kau sama sekali tak bisa tertarik dengan wanita manapun, akui saja Dit, kita bukan satu-satunya. Kau tidak sendirian, kita bisa mencari kebahagiaan bersama. Karena aku..., benar-benar jatuh cinta padamu!" aku Bram.

"Tapi aku tidak!"

"Sungguh?" ragunya, "aku tahu tatapanmu terhadapku, kau juga mencintaiku kan? Akui itu sayang!" pinta Bram menyentuh pipi kiriku. Seketika sentuhannya membuatku bergetar. Membuatku menahan nafas. Aku tahu dia mengetahui itu. Ku akui, aku memang jatuh cinta padanya. Tapi...,

"Tidak!" aku menjauhkan kepalaku darinya. Sedikit membuang muka ke samping, "aku tidak mau lagi, apa kau tahu...?" ku kembalikan wajahku menatapnya dengan mata memerah, "aku sangat tersiksa..., aku masih bisa merasakan sakitnya saat ibuku menatapku dengan kecewa setelah tahu bagaimana diriku. Aku berusaha..., untuk bisa menjadi normal,"

"Kita normal!" potong Bram.

"Kita sakit," sela Adit, "kita sakit Bram, bahkan kita seperti penyakit..., dan aku tidak mau menjadi sampah!"

Kalimatku membuat Bram membeku, aku tahu apa yang baru saja aku ucapkan itu telah menyakitinya. Juga semua orang seperti kami jika mereka mendengarnya. Terus terang, itu juga menyakitiku.

Satu tahun terakhir, aku mencoba melawan diriku sendiri. Beberapa pria yang sempat membuatku tertarik dan mencoba menjalin hubungan denganku, sebisa mungkin ku jauhi mereka. Aku mencoba dekat dengan beberapa teman kantor wanita, mencoba menjalin hubungan dengan mereka. Tapi selalu tak berhasil, dan semakin aku mencoba..., jiwaku terasa kian tersiksa. Seperti saat ini, ketika aku harus berhadapan dengan Bram.

"Sampah!" desis Bram getir.

"Kita sakit Bram, kita butuh psikiater. Akui itu!"

Bram mengulas senyum pahit, senyum yang membuat hatiku pedih. Lalu ia bangkit berdiri, masih dengan menatapku. Lalu ia melangkah meninggalkan kamar hotel tanpa sepatah katapun.

Aku tahu kalimat terakhirku begitu menyakitinya, ku sarankan dia untuk pergi ke psikiater. Tapi aku sendiri tidak yakin apakah aku juga punya nyali untuk pergi ke psikiater?

Dan benarkah..., kami butuh psikiater?

 

__________o0o__________

 

  Artikel ini pertama kali di publish di www.kompasiana.com,

Dan karya ini di ikutsertakan dalam Event bulan kemanusiaan RTC.

 [caption caption="Logo Rumpies The Club"]

[/caption]

©Y_Airy | Jakarta, 27 Juli 2016

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun