Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Panggil Aku Komunis

15 Mei 2016   14:37 Diperbarui: 15 Mei 2016   14:54 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sad girl, quotesgram.com"][/caption]

 "Ini mencolok sekali, aku ndak mau mas!" tolakku untuk kesekian kali ketika kami mencari baju acara lamaran, aku mau semuanya yang simple saja. Padahal sebenarnya mas Lukman maunya pesan kusus dari butik seperti pakaian pengantin kami nanti.

Padahal acara lamarannya saja belum terjadi, tapi beberapa hari yang lalu Mas Lukman sudah menghubungi temannya yang memiliki butik kusus pakaian pengantin. Bukankah itu artinya tanggal pernikahan juga belum di tentukan?

Tapi aku senang, karena itu membuktikan bahwa Mas Lukman memang benar-benar mencintaiku. Kami baru 7 bulan menjalin hubungan, bertemu orangtua masing-masing saja masih bisa di hitung dengan jari mengingat kami sama-sama sibuk dalam pekerjaan masing-masing. Aku seorang teller di sebuah bank Swasta di kotaku, sementara Mas Lukman berpangkat Briptu yang aktif di Kesatuan Polantas Polri. Terkadang karena pekerjaannya aku bahkan merasa tersiksa karena kami jadi jarang bertemu, paling kami hanya bisa bertegur sapa selepas subuh selama beberapa menit melalui video call, kalau sempat. Kalau waktunya mepet ya hanya teleponan saja.

"Tapi ini cocok dengan warna kulitmu!"

"Kamu kan tahu seleraku mas,"

"Ok, mas ngikut aja deh!" sahutnya menyerah, "oya dek, kamu sudah melengkapi berkas-berkas data yang aku minta?" tanyanya tiba-tiba. Ya, karena Mas Lukman adalah pengabdi negara maka memerlukan data-data lengkap calon istrinya juga, sampai ke silsilahnya.

"Maaf mas, belum lengkap semua sepertinya!" sahutku sambil menoleh padanya dan berhenti memilih-milih pakaian, "datanya masih di pegang bapak Mas, mungkin masih perlu mendetail lagi!"

"Tapi jangan terlalu lama, agar mas bisa segera mengajukannya!" pintanya dengan mimik yang lucu. Meski gurat-gurat tegas tetap tak bisa hilang dari rautnya. Aku pun tersenyum membesarkan hatinya, "segera ku usahakan!"

Setelah menemukan setelan yang cocok kami mencari makanan lebih dulu, mumpung hari ini ia free lalu jalan-jalan sebentar. Setelah itu kami menuju rumahku yang letak desanya lumayan memakan waktu dari pusat kota, memang dari rumah ke tempat kerjaku saja aku membutuhkan waktu lebih dari satu jam menggunakan motor. Tadinya sempat mau ngekost di dekat kerjaan tapi bapak sama ibu tidak mengijinkan, jadi ya aku harus ekstra bangun pagi tiap hari di jam kerja agar tidak terlambat.

Memasuki desa tiba-tiba jantungku berderap tidak karuan, aku pun tak mengerti kenapa? Mas Lukman mengetahui kegelisahanku.

"Kamu kenapa dek?" tanya Mas Lukman sambil tetap memperhatikan jalan, ia memakai mobil kakaknya yang seorang perwira angkatan laut yang saat ini sedang bertugas. Hampir semua keluarganya memang terjun mengabdi pada negara, itu yang menjadikanku minder saat awal menjalani hubungan dengannya. Ia adalah putra bungsu yang cukup di sayangi oleh kedua orang tuanya, kedua kakaknya, seorang lelaki dan seorang perempuan. Kakak perempuannya juga seorang dokter di AL, dan sangat cantik. Pernah aku bertemu dengannya, dan itu membuatku sungguh merasa iri. Meski secara ekonomi kami tidak akan bermasalah.

Bapakku memiliki kebun apel yang cukup subur dan mampu membuat kami hidup layak. Tapi aku memilih jalanku sendiri dengan bekerja di Bank. Sudah ada Mas Aris yang membantu bapak mengelola kebun apelnya. Dan dua adik perempuanku yang masih duduk di bangku SMP dan PTS.

"Ndak tahu mas, kok tiba-tiba perasaanku ndak enak yo?"

"Mungkin karena kamu tegang aja dek, nggak sabar ya...mau mas lamar?" godanya. Aku melirik wajah nakalnya dengan sebal, orang lagi benar-benar gundah malah di becandain. Tapi sepertinya ia segera mengerti kekesalanku.  

"Maaf, guyon dek... guyon!"

Sesampainya di halaman rumah aku merasa heran karena ada pak Lurah dan dua orang berseragam polisi yang salah satunya aku kenal, ia komandan di polres di desaku. Mereka sempat memperhatikan mobil yang ku tumpangi, lebih tepatnya mengarah ke wajahku. Aku semakin cemas, ada apa gerangan?

Setelah mereka pergi aku baru turun dari mobil di ikuti Mas Lukman, kami langsung berhambur ke dalam rumah, "assalamu alaikum...!" sapaku.

"Waaliakum salam..., kok baru pulang nduk!" sahut ibu, aku menyalami mereka, begitupun Mas Lukman. Orangtuaku bersikap tenang-tenang saja, tapi mereka menatap iba terhadapku. Membuatmu kian penasaran saja.

"Pak, kok itu ada pak Lurah sama Komandan Wahyu dari sini?"

"Ayo, duduk dulu nak Lukman!" bapak mempersilahkan Mas Lukman duduk, kami pun duduk di ruang tamu yang di mejanya masih ada bekas minuman tamu tadi, ibu segera membereskannya dna membawanya masuk. Selama ibu di dapur bapak hanya memandangiku bergantian ke Mas Lukman, lalu ibu muncul dengan membawa secangkir teh hangat untuk mas Lukman.

"Di minum dulu tehnya nak Lukman!" suruh ibu mempersilahkan, aku sudah tak sabar rasanya, "pak, ada apa to?" tanyaku mendesak.

"Begini nak Lukman!" kata bapak membuka kata, dan memang pandangannya tertuju ke arah Mas Lukman, "sepertinya hubungan nak Lukman dengan anak kami Rizka, tidak dapat di lanjut lagi!"

Telingaku bagai di sambar petir, hingga jantungku hampir berhenti berdetak. Aku termangu menatap bapak dengan tatapan tak percaya, beliau tahu aku sangat mencintai Mas Lukman, begitupun Mas Lukman yang sangat mengasihiku. Dia adalah lelaki pertama yang menjadi kekasihku sekaligus yang pernah ku bawa pulang untuk ku kenalkan pada orangtuaku. Dia adalah cinta pertamaku, dan ku yakini akan menjadi cinta terakhirku pula. Tapi detik ini...

"Maksud..., maksud bapak apa ya?" tanya mas Lukman, "apakah saya melakukan kesalahan pak, kalau begitu tolong kasih tahu biar saya coba memperbaikinya pak?"

"Pak, kok...bapak bicara seperti itu?" tanyaku masih tak mengerti, bapak masih menatap wajah mas Lukman, "nak Lukman ndak melakukan kesalahan apa-apa, tapi hubungan nak Lukman dengan anak kami...ndak seharusnya terjadi!" jelas bapak. Ku gelengkan kepalaku perlahan dengan mata yang memanas.

Bisa ku rasakan mas Lukman juga menampakan ekspresi yang sama denganku, tak mengerti dengan semua ini. Kami sedang berada di tangga menuju puncak kebahagiaan, bahkan beberapa saat lalu kami masih bisa merasakan butir-butir rasa bahagia itu, tapi kini..., rasanya kami baru saja di hempaskan ke lubang yang dalam dan gelap tanpa sebab yang pasti.

"Kenapa pak?" tanyaku lagi, sebutir airmata menggelinding di pipiku. Hangat ku rasakan, "kenapa-begitu. Apakah ada yang salah, bukankah selama ini...bapak dan ibu setuju dengan hubungan kami?"

"Maafkan bapak nduk, tapi ini yang terbaik untuk kalian. Terutama kamu, sebelum semuanya kian jauh!"

"Tapi Rizka ndak ngerti pak, kenapa tiba-tiba bapak...!"

"Pernikahan kalian ndak akan di setujui oleh keluarga nak Lukman, juga oleh negara!"

Aku kian tercekat dengan pernyataan bapak, apa maksud semua perkataannya? Dan dadaku mulai bergemuruh, seolah sesuatu yang buruk memang benar adanya.

"Pak, saya benar-benar ndak ngerti pak. Apa maksud bapak?" tanya mas Lukman.

Bapak menoleh ibu sejenak, lalu memutar pandangannya ke arahku dan berakhir di wajah mas Lukman, tatapannya sungguh tak aku mengerti.

"Nak Lukman___!" nada suara bapak cukup berat, "saya harap nak Lukman ndak benci sama Rizka, jika tahu hal ini!" kata bapak penuh harap, membuat kami semakin penasaran...gerangan apa sebenarnya? Bapak kembali menatapku,

"Nduk, apa benar kamu pernah bertemu seseorang dan membicarakan hal yang rahasia?"

"Maksud bapak apa?" tanyaku heran, "pak, apakah..., ini ada hubungannya dengan kedatangan Komandan Wahyu ke rumah?" sambungku,

"Kata Komandan Wahyu, orang yang kamu temui itu di curigai sebagai seorang aktifis komunis yang tengah mengibarkan kembali bendera partai terlarang itu!"

"Ap-apa pak____" mulutku bergerak-gerak terbata, "mak-maksud bapak P-PKI, itu...itu ndak mungkin pak!" ku toleh mas Lukman yang juga menolehku perlahan, lalu pandanganku kembali ku putar ke wajah bapak, "pak..., jadi...maksudnya...Rizka di curigai terlibat dengan mereka, ngoten pak?"

"Iyo nduk, sejauh ini...Komandan Wahyu masih percaya kalau kamu mungkin belum tahu apa-apa. Tapi__!" bapak diam sejenak, "foto-fotomu bersama orang itu sudah menyebar di internet nduk, wajahmu jelas terlihat!"

"Tapi pak...Rizka bahkan ndak tahu apapun tentang hal itu pak. Bahkan dengar isunya pun endak!" tangisku mulai menderai, ini sungguh mengejutkanku. Bagaimana mungkin aku bisa di sangkut-pautkan dengan partai komunis? Ku toleh lagi mas Lukman yang sedikit menurunkan pandangannya ke meja, ku rengkuh lengannya, "mas..., mas Lukman percaya kan sama Rizka. Rizka ndak terlibat dengan mereka mas, waktu itu...Rizka memang bertemu seseorang. Tapi orang itu hanya menawarkan Rizka untuk ikut komunitas sosialnya saja mas, dia bahkan ndak menyinggung apapun soal komunis, dan Rizka juga belum menyetujuinya mas!"

"Bapak tahu kamu ndak salah nduk, tapi akan sulit mengembalikan kepercayakan masyarakat!" sela bapak, aku kembali menolehnya karena tidak mendapat tanggapan dari mas Lukman.

"Tapi..., tapi kenapa Rizka pak. Kenapa mereka memilih Rizka?"

"Karena mungkin mereka mencari tahu silsilah keluarga kita!"

"Maksudnya pak?"

"Karena mbahmu..., adalah seorang komunis!" tegas bapak.

Tubuhku membatu seketika, isakku buyar. Tapi sebutir airmata kembali menggelinding dan tak mampu ku bendung, tanganku yang masih merengkuh lengan mas Lukman melemas begitu saja. Meluncur darinya. Seperti ada aliran listrik bertegangan tinggi yang menyengat tubuhku, apakah aku tidak salah dengar?

Sepertinya bapak baru saja mengatakan kalau mbah adalah seorang komunis.

"Maafkan bapak nduk, bapak juga baru mengetahui kalau seorang abdi negara seperti nak Lukman..., ndak akan di perbolehkan menikahi seseorang yang masih memiliki hubungan dengan seorang komunis!" jelas bapak lagi. Pipiku kian basah, aku tak mampu berucap apapun lagi.

Waktu kecil, sering sekali aku menonton film tentang "G-30 S PKI" , sering ngeri sendiri ketika menyaksikan adegan penyiksaannya terhadap para perwira tinggi negara. Bahkan aku ikut mengecam hal biadab itu, tapi kini...

Aku justru mendengar kenyataan yang sungguh menghancurkan hatiku, bahwa mbah..., dulu adalah seorang komunis. Selama ini yang aku tahu, mbah kakung dan mbah putri meninggal karena kebakaran waktu bapak masih sangat kecil. Tapi aku tak pernah di beritahu apa sebabnya.

"Bapak..., boh-hong kan?" desisku lirih, tapi tatapan yang bapak berikan menyatakan bahwa semua itu benar. Bahwa mbah memang seorang komunis,

"Maafkan bapak nduk!"

Ku toleh ibu yang juga menunduk terisak, selama ini ibu adalah tempat curhatku. Termasuk saat pertama kali aku bertemu dengan mas Lukman, aku tak malu curhat ke ibu, bahwa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Polantas tampan itu, yang menilangku karena terpaksa harus melawan arus mencari jalan tercepat ke kantor saat telat karena bangun kesiangan. Setiap detail pertemuanku dengan mas Lukman ku beberkan pada ibu, tentu saja ibu paling tahu betapa aku mencintai mas Lukman. Dan kini cinta kami berada di ujung tanduk.

Aku tak mampu herucap lagi. Langsung ku hamburkan diriku ke kamar, membanting tubuhku ke kasur dan menangis sejadi-jadinya. Entah apalagi yang bapak bicarakan dengan mas Lukman, karena mungkin lebih dari limabelas menit setelah aku masuk kamar suara mobil mas Lukman meninggalkan halaman rumahku.

Aku terlonjak ketika kurasakan tangan lembut ibu menyentuh rambutku, ibu duduk di tepi kasur. Aku langsung bangkit dan memeluknya bertabur airmata.

"Yang iklas nduk, mungkin nak Lukman memang belum jodohmu!" hibur ibu. Tapi aku hanya bisa menangis, karena hanya itu yang bisa ku lakukan sekarang.

* * *

Karena isu yang beredar itu, aku tak lagi bebas pergi kemana ku suka seperti dulu. Teman-teman kantor mulai menjauh, bahkan aku di berhentikan dari bank. Atasanku bilang, ia tak mau menanggung resiko jika terus mempekerjakanku di sana. Foto-fotoku saat menemui lelaki yang memakai masker itu terlanjur menyebar luas, apalagi di sertai artikel bahwa kami tengah berunding untuk mengibarkan kembali bendera Partai Terlarang itu. Entah siapa yang menciptakan foto itu dan mengunggahnya. Tapi bapak benar, tidak mudah mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Karena hal itu juga, mbok de Santi datang berkunjung. Mbok de Santi adalah kakak tertua bapak, sementara bapak adalah anak bungsu. Dari mbok de pula, aku tahu semua masalalu keluargaku. Beliau menceritakan semuanya padaku,

Waktu itu, ketika partai komunis tengah tegap di jamannya. Desa kami adalah salah satu desa tempat komunis mulai berkembang, keluarga mbah adalah salah satu dari sebagian warga miskin yang ada. Bantuan dari pemerintah tak dapat memasuki desa karena terjadi pemboikotan oleh para komunis, para warga miskin di tawari untuk menjadi anggota dan imbalannya, mereka akan mendapatkan sembako. Dan tidak akan kesulitan lagi mencari bahan pangan, karena bisa keluar masuk desa dengan leluasa. Sementara yang tetap teguh membela pemerintahan yang ada akan tetap kelaparan, kecuali yang memang memiliki harta benda.

Awalnya, mbah menolak dengan tawaran itu. Tapi suatu hari anak kelimanya sakit keras, butuh obat dan makanan. Anak-anaknya yang lain juga sudah mengeluh sakit perut karena kekurangan makan. Akhirnya mbah mendatangi markas mereka dan bersedia menjadi anggota, bahkan kalau perlu ia rela merekrut anggota lain sebanyak-banyaknya asalkan ia bisa mendapatkan obat untuk anaknya. Sejak itulah kiprah mbah di mulai, ia menjadi salah satu anggota yang aktif. Hingga terjadi kerusuhan itu, dimana para komunis di berantas habis pasca insiden yang menimpa para Perwira Tinggi Negara di Lubang Buaya. 

Desa kami menyala, bukan hanya harta benda yang habis terbakar. Tapi mbah kakung dan mbah putri adalah salah satu yang ikut meregang nyawa dalam peristiwa itu. Meninggalkan 8 anak-anaknya menjadi yatim piatu. Saat itu bapakku baru berusia 3 tahun. Belum bisa mengingat apapun selain kobaran api yang sering melintas sekilas di memorinya. Mbok de Santi, sebagai anak tertua yang saat itu sudah 16 tahun harus berjuang untuk menghidupi adik-adiknya pasca insiden itu.

Ketika bapak menikah dengan ibu, bapak memutuskan untuk tinggal di desa ibu. Mencoba menjauhkan anak-anaknya kelak dari memori kelam yang mungkin akan menghantui suatu saat nanti. Tapi tetap saja, buktinya semua itu terjadi padaku. Mbahku, dulu adalah anggota yang aktif di partai. Itulah sebabnya aku menjadi incaran untuk di hasut secara halus oleh beberapa oknum para komunis di daerah sekitar kami.

Mengetahui itu, entah aku harus bersikap bagaimana sekarang terhadap almarhum mbah yang selama ini ku segani meski aku tak pernah bertemu dengannya. Beliau rela mengotorkan dirinya hanya agar anak-anaknya tidak mati kelaparan, hingga aku bisa terlahir. Aku tidak tahu apakah aku harus berterima kasih atas hal itu. Atau aku harus membencinya, karena beliau seorang komunis. Yang membuatku kini harus ikut terlempar bau tak sedapnya. Bahkan harus kehilangan mas Lukman.

* * *

"Dek!" suara mas Lukman bergetar, kami sudah duduk berjam-jam di selimuti keheningan di bangku sebuah taman kota. Aku tahu mas Lukman akan mengutarakan sesuatu yang tak aku inginkan.

"Katakan saja mas, ndak apa-apa kok!" suaraku mulai parau. Sejujurnya aku tidak siap mendengar apapun yang akan membuatku sakit dari mulut mas Lukman yang selama ini meneduhkanku.

"Maafkan mas ya, tapi bapak benar..., kita harus berpisah!" ungkapnya. Ku pejamkan mata untuk meredam rasa sakit, tapi tetap saja sebutir bulir bening jatuh menggelinding. Membasah saat ku buka kelopak mataku,

"Apa mas benci sama Rizka?" suaraku sedikit bergetar, "apa mas..., mempercayai semua itu?"

"Mas percaya, kamu ndak tahu apa-apa. Tapi kita tetep ndak bisa bersama dek, mas justru kuatir...kalau mas memaksakan hubungan kita, itu akan berdampak buruk buatmu!"

"Tapi bagaimana aku bisa hidup tanpa mas Lukman, sehari aja ndak denger suara mas..., rasanya...seperti neraka mas!" tangisku pecah, menoleh padanya dengan wajah basah. Mas Lukman juga menoleh padaku, membalas tatapanku.

"Jangan bicara seperti itu dek, mas yakin..., kamu akan bertemu dengan lelaki yang jauh lebih baik dari mas. Yang ndak akan menempatkanmu dalam masalah seperti ini!"

"Ini ndak adil mas, ini ndak adil...!" isakku sesenggukan. Ku rasakan tangan kekar mas Lukman menangkup wajahku yang banjir, "terkadang..., apa yang kita pikir adil buat kita, belum tentu itu terbaik buat kita. Kita harus iklas!" hiburnya lirih. Ku raba tangannya di pipiku,

"Tapi aku bukan seorang komunis mas, bapak dan ibu juga bukan!" kataku terbata,

"Mas tahu, tapi kita juga tahu___kita, ndak bisa mengubah jejak yang sudah mbah kamu tinggalkan!" ucapnya. Itu benar, meski ingin sekali aku menjerit dan mengatakan tidak. Mas Lukman merengguhku dalam dekapannya, aku membalas pelukan itu dengan erat untuk merasakan cintanya. Karena aku tahu, aku tak akan pernah bisa merasakannya lagi. Itu akan menjadi pelukan terakhir kami. Aku menangis tersedu-sedu membasahi seragamnya.

Mas Lukman benar, aku tidak akan bisa mengubah jejak yang sudah mbah tinggalkan. Bagaimanapun, mbah adalah seorang komunis. Tapi aku bukan, aku bukan seorang komunis. Dan tidak akan pernah menjadi seorang komunis.

Jadi, jangan sebut aku Komunis!

 

__________o0o__________

 

©Yalia Airy | Jakarta, 15 Mei 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun